Sunday, July 6, 2014

Mengapa Muncul Partisipan Politik Radikal?

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa pilpres 2014 menimbulkan antusiasme yang luar biasa tinggi dari masyarakat. pendapat ini harus dilihat dengan tiga pertanyaan kritis. Pertama, kelompok masyarakat mana yang terlihat antusias tersebut. kedua, bagaimana peran media sosial terhadap peningkatan rasa antusias masyarakat terhadap isu-isu politik menjelang pilpres 2014 (penulis juga memperhatikan kaitan peningkatan antusiasme tersebut berdasarkan pada tayangan debat capres di TV). Ketiga, bagaimana peningkatan ini jika dilihat dari masa/periode tertentu, misalnya dari Januari hingga April dan Mei hingga Juni.

Penulis mengikuti sekitar 1.000 akun aktif dari 3.000 akun pertemanan penulis di facebook. Rata-rata jumlah postingan jika dihitung dari tiap akun minimal berjumlah 2 postingan sebanyak 60%, 3-5 postingan sejumlah 10%, 6-7 postingan sebanyak 25%, sisanya hanya melakukan kegiatan menjalankan akun seperti memberi apresiasi terhadap postingan, hingga komentar pro-kontra terhadap postingan. Prosentase ini tidak mewakili fluktuasi angka akun aktif tiap hari, akan tetapi mengambil jumlah rata-rata pada bulan Juni. Variabel usia akun pertemanan tersebut, yakni usia 15-20 tahun sebanyak 17%, usia 21-25 tahun sebanyak 45%, 25-30 tahun sebanyak 30%, 30 tahun ke atas sebanyak 5%, sisanya akun yang tidak mencantumkan variabel usia.

Penulis akan fokus pada postingan yang membicarakan tentang isu-isu politik terkait dengan dua kandidat presiden. Kandidat pertama, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Kandidat kedua adalah Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Penting untuk diingat bahwa isu-isu politik apa saja yang muncul menyangkut dua kandidat ini dalam postingan FB, tidak dapat dipisahkan dari klasifikasi kelompok masyarakat yang memiliki hubungan pertemanan FB dengan penulis. Maka analisis tersebut akan mengikuti pada prinsip dasar ini tentang level supra-struktur dari kelompok masyarkakat yang secara representasi diwakili oleh akun-akun FB tersebut. meskipun tentu saja sangat sulit untuk memberikan klasifikasi tersebut sesuai dengan indikator yang cermat, namun memperhatikan dan mempertimbangkannya sebagai kelompok masyarakat yang mewakili “kesadaran” tertentu yang direkonstruksi secara sosial dan budaya akan meminimalisir kemungkinan bias dalam analisis ini.

Partisipan Politik

Penulis mendefinisikan “partisipan politik” dengan merujuk pada individu yang memiliki preferensi terhadap salah-satu kandidat pilpres dan juga yang tidak memiliki preferensi tetapi ikut serta dalam membicarakan isu-isu politik yang beredari di media sosial. Partisipan politik juga tidak akan penulis batasi secara ketat dengan mengelompokkan mereka ke dalam kategori “partisipan politik aktif” (mengikuti partai atau tim sukses) atau sebagai “massa mengambang” (belum menentukan pilihan terhadap kandidat), atau sebagai “pengamat amatir” yakni yang mengamati isu-isu politik dengan memanfaatkan perspektif berdasarkan pada latar belakang akademis, profesi, dan lain sebagainya. Namun akan diperhatikan sebagai klasifikasi sementara terhadap apa yang dimaksud sebagai partisipan politik.

Isu-Isu Politik

Penulis menyadari bahwa isu-isu politik yang berkembang di media massa harus didefinisikan secara cermat dan hati-hati. Tetapi tujuan utama tulisan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana antusiasme pengguna FB terhadap perkembangan politik di Indonesia melalui pilpres ini terjadi. Alasan utama adalah bahwa isu-isu politik ini tidak dikemas dalam bentuk yang kaku, tetapi juga memanfaatkan joke-joke politik yang cenderung sarkastik. Isu-isu politik yang dibahas secara serius melalui akun FB jumlahnya tidak menyentuh angka 25%, yang hanya terdiri dari 7% dari keseluruhan jumlah pengguna akun FB. Namun angka-angka tersebut tidak menunjukkan kualitas yang rendah. Isu-isu politik itu dibuat oleh aktifis dan akademisi-akademisi yang memiliki latar belakang sebagai pengamat politik nasional, penulis buku, aktifis nasional dan internasional, hingga timses masing-masing kandidat lingkar 1 dan lingkar 2. Dengan kompleksitas tersebut, penulis tentu harus membuat keputusan bahwa isu-isu politik yang diposting oleh semua akun FB tersebut dapat disentuh menggunakan polarisasi terhadap tema-tema dan kemudian mengklasifikasikannya ke dalam jenis pengemasan isu.
1.    Kapasitas Kepemimpinan

Kapasitas kepemimpinan menyangkut hal-hal yang dipersepsikan oleh publik sebagai kemampuan bertanggungjawab, sikap simpatik-empatik, kemampuan diplomasi, kecakapan adminstratif. Dalam beragam kosakata yang umum tersebut, kedua kandidat pilpres dianalisis, diklasifikasikan dan diinterpretasi menjadi nasionalis, relijius, komunis, demokrat, visioner, berwibawa, hingga persoalan etika kepemimpinan. Kapasitas kepemimpinan ini juga turut serta diukur melalui kemampuan kandidat capres mengelola koalisis dengan partai-partai lain.  

2.    Suku-Agama-Ras (SARA)

Isu-isu politik tentu saja menyangkut dengan upaya melekatkan masing-masing kandidat dengan latar belakang personal, yang menyangkut suku, agama dan ras. Sentimentil terhadap latar belakang suku-ras terlihat dengan munculnya kata-kata “chino”, “wong chino”. Atau “wong solo”. Persoalan agama juga menjadi hal yang ramai,  misalnya dengan perbincangan mengenai kemampuan membaca al-Qur’an, kemampuan melakukan ibadah sholat, dan sensitivitas keberagamaan.

3.    Visi-Misi

Persoalan visi-misi dibahas terkait dengan program-program yang ditawarkan kedua kandidat pilpres. Meskipun demikian, dari banyak isu-isu politik yang muncul, visi-misi merupakan tema pembicaraan yang paling rendah prosentasenya dari segi analisis ekonomi-politik, ekologi-politik, . Prosentase tinggi untuk visi-misi dibicarakan antara lain melalui terma-terma umum seperti “pendidikan gratis”, “jaminan kesehatan”, “gaji”, “perbaikan infrastruktur”.

4.    Persepsi Publik & Retorika Politik

Tema isu-isu politik yang dibahas di dalam bagian ini berkisar antara kekuatan dukungan massa terhadap dua kandidat capres. Termasuk juga seberapa banyak jumlah alat peraga kampanye yang digunakan di ruang-ruang publik. Sedangkan retorika politik masing menyangkut pembicaraan terhadap kemampuan retoris dua kandidat dalam menggunakan bahasa yang tepat di media. Joke-joke isu-isu politik juga menjadi demikian massif terkait dengan kemampuan retorika politik di ruang public oleh masing-masing kandidat.

5.    Nostalgia Figur

Nostalgia figur sangat erat kaitannya dengan pendekatan analisis behaviorisme terhadap elit yang sampai pada hari ini masih menjadi pilihan utama. penilaian ini berkaitan dengan pelekatan ciri-ciri tertentu seperti gesture, atribut-atribut personal yang secara sengaja dihubungkan dengan tokoh-tokoh politik yang memiliki massa fanatik seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jendral Soedirman.

6.    Masa depan politik Indonesia

Perbincangan mengenai masa depan politik Indonesia juga termasuk tema populer di kalangan aktifis, peneliti, dan pengamat sosial. Perbincangan ini mengenai masa depan hegemoni politik di Indonesia, termasuk siapa aktor-aktor yang akan memegang dominasi pada sektor-sektor penting dari hulu hingga hilir di Indonesia. Perbincangan demikian berasal dari banyak hal, seperti koalisi partai yang lekat dengan kepentingan kelompok tertentu yang berpotensi merugikan masyarakat.

Partisipan Politik Radikal

Partisipan politik radikal adalah objek utama mengapa tulisan ini dibuat. Penulis sudah memaparkan secara singkat mengenai definisi partisipan politik pada bagian awal tulisan ini dengan tujuan untuk membagi definisi tersebut sambil menunggu ketepatan definisi yang cukup baik bagi analisis ini. Akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk membawa definisi tersebut ke dalam konteks peningkatan antusiasme yang cenderung radikal hingga yang menggambarkan bentuk-bentuk anarkisme verbal. Persoalan apakah antusiasme itu berkaitan dengan institusinalisasi ideologi partai yang telah mencapai tahap sosialisasi kepada masyarakat atau pendidikan politik yang sudah demikian massif terkait dengan pembangunan kesadaran terhadap demokrasi tidak akan banyak disinggung.

Partisipan politik radikal adalah individu yang terlibat aktif atau tidak di dalam struktur kelompok politik salah-satu dari dua kandidat pilpres yang menggunakan FB untuk memperbincangkan isu-isu politik. Bentuk-bentuk pengemasan isu-isu politik tersebut dapat berupa postingan status, postingan note, postingan komentar, dan postingan berbentuk video, gambar atau foto.

Apakah terdapat pertentangan ideologi dan kepentingan antara kelas menengah dan kelas intelektual kiri di dalam isu-isu dan perbincangan yang beredar di masyakarakat?. Sepertinya cukup sulit untuk mengatakan ada kebangkitan perebutan opini publik antara kelas menengah (sebagai pemilik hegemoni opini publik) dan intelektual kiri yang melihat momen pasca reformasi yang kian membuka ruang-ruang publik meluas. Isu-isu politik yang diperbincangkan dapat dilihat sebagai bagian dari perbicangan global tentang bagaimana peran kapitalis dalam negara dan bagaimana negara menciptakan kesejahteraan sosial. Maksud-maksud tertentu juga dikandung di dalam isu-isu tersebut, seperti anti-feodalisme dan anti-oligarki politik. Antusiasme partisipan politik radikal ini memang menyisakan ruang paradoks dengan keberadaan kelompok muda yang apatis terhadap  isu-isu politik. Analisis terhadap apatisme kelompok muda yang mencapai angka 60% yang tidak terlibat di dalam organisasi sosial-politik pada tahun 1991 oleh majalah Editor tentu sudah mengalami dinamisasi terkait dengan perkembangan teknologi yang membuat frasa “partisipasi politik” berubah. Ruang publik yang tidak lagi terbatas pada pertemuan-pertemuan fisik, tetapi juga bertemu secara imajiner melalui sistem simbol yang ada di media sosial harus diperhatikan semakin memperkecil signifikansi ruang pertemuan fisik menurut efektifitas sosialisasi-sosialisasi. Dengan demikian, pertemuan ruang fisik mengambil peran yang lain, yakni sebagai penguat dan tindakan afirmasi dari sosialisasi gagasan melalui media massa. Khusus untuk kasus ini, FB berperan tiga kali lebih cepat dalam hal penyebaran gagasan dan informasi daripada media massa konvensional seperti koran cetak atau TV. FB memperbesar kemungkinan gagasan-gagasan atau isu-isu politik jadi demikian variatif tanpa terhalang oleh ketersediaan akses seperti halnya media massa konvensional. Ketersediaan akses FB yang demikian mudah membuka ruang pendapat terhadap isu-isu politik dalam konteks individu tapi berkekuatan terhadap publik. Tentu saja, resistensi dan apresiasi terhadap postingan-postingan di FB membuat partisipan politik semakin menjadi semakin massif, walaupun ekses dan tantangan utamanya adalah soal anarkisme verbal yang tidak pernah selesai.

Salah-satu hal yang membuat penulis melekatkan term “radikal” terhadap frasa “partisipan politik” adalah justru bersumber dari kecenderungan anarkisme verbal. Partisipan politik radikal dengan demikian justru menjadi istimewa disebabkan oleh anarkisme verbal. Partisipan politik radikal itu juga muncul dengan postingan yang secara afirmatif berisi kecenderungan persuasif terhadap salah-satu calon presiden. Partisipan politik radikal membuat isu-isu politik menjadi sangat sederhana melalui gambar-gambar joke, dan membuatnya menjadi jenis gambar propaganda yang populer. Partisipan politik radikal juga memiliki kemampuan asosiatif terhadap berbagai macam perbincangan media menjadi berkaitan secara langsung dengan perkembangan pilpres. Bahan-bahan konsumsi publik juga dengan otomatis dapat diasosikan dengan perkembangan pilpres.

Kata “kemunculan” yang digunakan penulis sebagai proses membendakan kata dari “muncul”, menunjukkan sebuah proses dari “ketiadaan” menjadi “ada”. Apakah dengan demikian, partisipan politik radikal mendapatkan eksistensi dari pilpres 2014?. Nampaknya, dari jumlah, peningkatan partisipan politik radikal mengikuti peningkatan jumlah pemilih sejak tahun 1999. Setiap pilpres dari tahun 1999, 2004 dan 2009 mengalami peningkatan kuantitatif. Pada tahun 2009, daftar pemilih berada pada angka 170.022.239. selain karena konstetasi politik tahun 2009 yang membuka ruang lebih luas bagi partisipan dari berbagai elemen masyarakat (misalnya individu dengan stigmatisasi PKI). Maka kata “kemunculan” tidak berarti spontanitas proses, tetapi lebih kepada keterbukaan kesempatan politik yang kian membaik dari penyelenggaran pemilu di Indonesia. Dengan demikian, keterbukaan kesempatan politik ini juga dapat diinterpretasikan sebagai keterbukaan kesempatan berpendapat politik bagi masyarakat. keberhasilan reformasi yang membuka kebebasan berpendapat di ruang publik akhirnya menunjukkan akumulasi keberhasilannya yang tidak hanya dinikmati oleh beberapa pihak seperti pengamat-akademisi atau jurnalis, tetapi juga masyarakat dari elemen apapun untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

REFERENSI
Afan Gaffar, Javanese Voters; a Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta: UGM Press, 1992.
Chris Verdiansyah,  Politik Kota dan Hak Warga Kota, Jakarta: Kompas, 2006
Edward Aspinall, Indonesia on the Knife’s Edge, http://inside.org.au/indonesia-on-the-knifes-edge/ (akses 1 Juli 2014)
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta: Granit, 2004
Marcus Mietzner, Money, Power and Ideology; Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia, Singapore: NUS Press, 2013
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: JIP UGM, 2009

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK