Tuesday, July 29, 2014

Ada Sastra, Pasca-Pramoedya, Pasca-Hamka

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK
“Wahai, manusia
mengapakah kamu katakan
sesuatu yang kamu tidak lakukan
?” (HR Bandaharo, 1975)

“Setan takkan pernah membawa surga dengan berkendaraan kata-kata”, petikan itu saya dapatkan ketika membaca tulisan Martin Aleida yang berjudul Ada Racun dalam Lirik Puisi Mutakhir Taufik. Martin Aleida, tentu saja merujuk kepada seorang sastrawan besar Indonesia, Taufik Ismail. Kutipan yang saya letakkan pada awal tulisan itu berasal dari Hamsad Rangkuti, seorang sastrawan, pernah bekerja di Horison. Sekitar tahun 2008 saya pernah bertemu dengan Hamsad Rangkuti di gedung Balai Bahasa di kampung halaman saya, Sulawesi Utara. Waktu itu, sekolah saya, SMA Muhammadiyah Manado diundang untuk turut serta ikut workshop sastra sekolah, dan Hamsad Rangkuti datang dari Jakarta untuk memotivasi para siswa menulis.

Saat itu, di sela-sela waktu istirahat, saya bertanya kepada Hamsad Rangkuti tentang hal suatu hal yang anehnya baru saya ingat ketika membaca kutipan kata-katanya yang ditulis Martin Aleida. Saya perhatikan raut wajahnya yang terlihat letih tetapi dengan nanar mata seorang empatik. “Mengapa kita harus menulis sastra?”, tanya saya. “Bangsa Indonesia akan maju dengan siswa yang rajin membaca dan menulis”, jawab Hamsad Rangkuti, dia sebenarnya menjawab dengan panjang lebar, tetapi sayangnya hanya kalimat pendek itu yang cukup kuat menempel.

Nampaknya, dari kutipan tersebut, meskipun sudah mencoba untuk menggunakan pendekatan tafsir being ala Heidegger, terasa sulit. Akhirnya saya hanya bisa memperlakukan kutipan tersebut dengan bermain hermeneutika di batas antara Husserl dan Heidegger, atau mungkin sedikit cita rasa Ponty. Bagi saya, perkataan Hamsad Rangkuti (kutipannya) merangkul sebuah totalitas dari sastra. Perlu saya jelaskan konteksnya. Martin Aleida, dalam Ada Racun... tersebut sedang menceritakan “pertemuan”, kalau bukan asal muasal konfliknya dengan Taufik Ismail. Saya tidak akan masuk ke dalam hal-hal subtil tentang siapa sebenarnya yang memulai, itu sebuah analisis yang kalau tidak kita ikhtiarkan kepada sejarah hanya akan menghabiskan energi saja.

Taufik Ismail menolak acara bedah buku Asep Sambodja yang pada akhirnya tetap dapat dilakukan di PDS HB Jassin, oleh mejabudaya. Penolakan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Taufik melalui sebuah pesan kepada Ajib Rosidi, Husseyn Umar, Rini dan Edo, ketua dan staf Yayasan PDS HB Jassin. “...Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas” tulis Taufik Ismail. Teguran Taufik Ismail melalui sebuah pesan itu membuat Ajib Rosidi, yang pada saat itu Ketua Dewan Pembina PDS HB Jassin, mendatangi rumah Martin Aleida dan menganjurkan dengan keras untuk menghentikan rencana diskusi dan bedah buku tersebut. Tetapi seperti kita ketahui dari cerita Martin Aleida, diskusi dan bedah buku berjalan sampai selesai. Rupa-rupanya, kekhawatiran tetap ada pada penyelenggara, karena Taufik Ismail juga menjanjikan akan membawa ‘pasukan’ pembubaran diskusi dan bedah buku tersebut.

Martin Aleida tentu saja kecewa dan marah. Mengapa karya sastra disangkut-pautkan secara tidak adil dengan pecah-pecah sejarah Indonesia?. Kenyataan pahit Indonesia pada 1950-1965, dan kekerasan budaya setelah 1965 tidak dapat didudukkan dengan semestinya. Tuduhan-tuduhan miring terhadap sastra dengan aliran realisme-sosialis__untuk merangkum secara general mahzab sastra masih dapat kita rasakan hingga sekarang. Menjamurnya sastra-selangkangan (istilah Taufik Ismail) sebenarnya tidak distigmakan sama dengan realisme-sosialis. Sastra yang mewakilkan dirinya sebagai media bagi kepentingan klas tertindas harusnya ramai membanjiri pasar-pasar perbukuan. Bagaimana sudah kita lihat, tema-tema karya sastra(?) pasca-Pramoedya menumpuk pada tema-tema tentang kedalaman ontologis individualis. Teks-teks setiap sastrawan adalah anak rohani, istilah Pramoedya. Teks-teks mungkin terikat dengan ideologi penulis, tetapi itu tidak penting. Martin Aleida, menemukan ketidakadilan Taufik Ismail pada tataran itu.

Pasca-Pasca

Tema-tema sastra yang bergerak dari individualisme ke sikap egoisme terhadap realitas tanpa maksud yang jelas. Dalam hal ini, kita mempertanyakan apakah hal tersebut dapat dinamakan sastra?. Bukankah sastra adalah bentuk ekspresi yang menjadi jembatan bagi manusia?. Tetapi sastra akhirnya menjadi produk kekerasan karena memuat tentang surga-surga klas kapitalis. Sastra kita juga tampak membudak kembali karena penulisnya tidak percaya diri menggunakan nama berbau Indonesia. Bukan soal yang besar, cuma harus saya ungkapkan. Apalagi kemudian memposisiskan klas bawah sebagai orang-orang yang juga memimpi mimpi surga klas kapitalis. Dan kita dibuat untuk prestisius atas apa yang tidak kita butuhkan.

Sastra relijius pasca-Hamka juga tidak menunjukkan perbaikan yang mencerahkan. Hanya menampilkan kisah cinta kronik yang terlalu kaya dengan eksploitasi nilai-nilai profetik. Sedangkan tema-tema nir-kekerasan hanya sekedar pemuas nafsu individualisme yang sama dengan anti-realisme-sosial. Karya sastra, khususnya novel pasca-Hamka jarang yang memiliki kekuatan nilai budaya, sama seperti yang terjadi pada novel dengan aliran lain pasca-Pramoedya. Karya-karya sastra pasca-Pramoedya dan pasca-Hamka memuat kecenderungan pembentukan nilai-nilai borjuis. Konsumerisme pun juga semakin dikekalkan oleh dalih-dalih sastra liberal yang menjadi cerita lain dalam dunia kesusastraan kita.
 
Saya ingat kritik seorang teman terhadap peminat sastra. Dia berkata bahwa membaca karya sastra tidak membawa pencerahan apapun. Saya jelaskan duduk perkara dengan bertanya, “karya sastra seperti apa yang kamu maksud?”. Dia menyebut deretan sejumlah novel, pasca-Pramoedya (saya setuju bahwa deretan novel tersebut tidak banyak berguna). Saya katakan kepada dia bahwa sastra adalah bagian dari khasanah manusia. Seorang Bung Hatta saja pernah mengarang Soneta yang berjudul Beranta Indera, yang dimuat di Jong Sumatra. Bung Hatta selalu menyempatkan membaca karya-karya sastra, salah-satunya syair Heine yang dipinjamnya dari keluarga sahabat Siegfried Le Febvre, dan mengaku bahwa sastra mempengaruhi dirinya. Saya jelaskan kepadanya tentang jenis-jenis sastra.

Tampaknya, sastra kian hari, menyusul pasca-Pramoedya dan pasca-Hamka  tidak dianggap lebih daripada permainan kata-kata. Kalaupun sastra dibaca, tentu saja, karya-karya yang sebenarnya hanya cukup mengenyangkan hiburan semata. Kita tidak berharap semua orang akan membaca karya Goethe atau Gorky, tapi sastra yang baik harusnya digunakan untuk kepentingan kolektif-sosial. Sastra harus membawa inspirasi bagi kenyataan hidup yang timpang, kesenjangan sosial yang kian jadi kelaziman. Apakah kita sudah terlanjur jadi Syshipus?, yang bersabar, dan terus bersabar dengan ketimpangan hidup?. Sudah saatnya sastra jadi media perlawanan terhadap kekerasan, konsumerisme dan individualisme.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK