Thursday, July 31, 2014

Kalau Mengajak Nietzsche dan Arendt Nonton Film

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Kadang-kadang, kita, penonton, butuh ending. Kita butuh yang meneguhkan kegelisahan setelah dua jam memperhatikan, mencerna, dan menyimpulkan alur film. Begitu yang saya pikirkan saat mengetahui akhir dari film yang saya tonton hanya menyatakan tentang keberlanjutan dari perjalanan tragis manusia. Film itu mengisahkan tentang nasib anak-anak di Jepang, yang tumbuh di luar hukum. Mereka adalah anak-anak hasil hubungan seksual di luar pernikahan, yang akhirnya harus bersembunyi dari dunia sosial, dari masa-masa yang harusnya mereka maknai. Anak-anak tersebut terdiri dari empat orang kakak-beradik beda ayah. Yang tertua (usia 12 tahun, lelaki) adalah anak hasil hubungan si ibu dengan seorang pekerja di Bandara, anak kedua (usia sekitar 11 tahun, perempuan), adalah anak hasil hubungan dengan seorang manajer studio rekaman, anak ketiga (usia sekitar 6 tahun, lelaki) dan keempat (usia sekitar 4 atau 5 tahun, perempuan) tidak dijelaskan. Seperti ciri khas film drama Jepang pada umumnya, atau lebih spesifik lagi yang mulai berkembang setelah tahun 90-an, mencoba menunjukkan hidup secara eksistensialis. Kekuatan filsafat yang secara pribadi saya rasa lebih kuat ke arah Baudelaire daripada Sartre.

Film ini diawali dengan sebuah tawaran bagi penonton. Tawaran itu, adalah bersikap bertanya-tanya. Mengapa film diawali oleh sebuah teks tentang kenyataan si empat bersaudara harus berpindah-pindah tempat tinggal bersama sang Ibu?. Dan mengapa di antara keempat anak tersebut, hanya si sulung yang diperkenalkan oleh sang Ibu sebagai anak kepada pemilik losmen? Mungkin bagi mata sosial, hal itu penting, saya menafsirkan demikian. Anak ketiga dan anak keempat disembunyikan dalam tas koper besar, sedangkan anak kedua menunggu di pusat kota. Intinya, ketiga anak-anak tersebut tidak berada dalam radar sosial pemilik apartemen sebagai anak sang Ibu. Dan pemilik apartemen tidak tahu soal mereka. Hanya pada bagian pertengahan cerita saja, ketika ketiga anak tersebut ketahuan berada di dalam apartemen, memperkenalkan diri sebagai sepupu si anak sulung.

Kembali ke soal ending film. Saya sebagai penonton dibuat membimbang bahkan sampai beberapa saat setelah film tersebut selesai. Konon, cerita tersebut bersumber pada kisah nyata. Kalau menilik kehidupan masyarakat Jepang, hal tersebut memang sukar dibantah. Dan di Indonesia kenyataan demikian dapat juga terjadi, tentu dengan bumbu yang berlainan. Soal ending film, sang Ibu meninggalkan keempat anak tersebut terlunta. Saya bisa menerima ending demikian, sudah hal biasa dalam drama manapun. Tetapi dramatisasi terjadi saat anak keempat meninggal. Setelah dikuburkan di sebuah tanah lapang dekat Bandara, si sulung berkata sambil tertunduk dengan tangis yang ditahan. Dia berkata; “pagi itu, saat saya memegang tangannya yang dingin, beku, kaku. Saya tahu itu sangat mengerikan...”.

Penonton membutuhkan ending film yang melegakan dan menyenangkan bukan karena ingin agar realitas dunia dalam film terlihat baik-baik. Tetapi ini soal kebutuhan untuk percaya. Sama seperti kenapa kita membutuhkan Tuhan dalam penjelasan Nietzsche. Kita menemukan bahwa realitas tidak sepenuhnya terdiri dari sungai firdaus, kadang ada yang menyakitkan, seolah neraka menempati dunia. Dengan realitas yang begitu, kenapa ada yang tetap mempercayai Tuhan?. Hal itu, menurut Nietzsche karena manusia membutuhkan sesuatu yang meneguhkan dirinya, tidak sekedar karena pada diri-Nya terdapat Kebenaran, tetapi karena pada diri yang Ilahi tersebut kita selama ini merawati dan mewaraskan diri. Pada Tuhan kita selama ini mempercayakan kehidupan. Dan Tuhan, kata Nietzsche telah melindungi diri kita selama ini. Dalam karya magnum opus-nya, Zarathustra, pada kisah orang gila, Nietzsche menggambarkan penjelasan itu dengan cara yang bagus. Tuhan bukan soal apakah sebagai yang Ilahi terinderai oleh objektivitas atau validitas kebenaran, tetapi karena kita sendiri sebenarnya adalah manifestasi keberadaan dari yang Kuasa tersebut.

Mengapa kita butuh ending baik-baik dan menyenangkan pada sebuah film?. Karena kita, manusia memang membutuhkannya dan karena sebab utama kita sendiri dalam realitas yang sebenarnya membutuhkan-Nya. Itukah alasan kenapa ada surga dan neraka?.

Kalau Arendt Ikut Berkomentar

Mereka adalah, kata Hannah Arendt sebagai manusia pada umumnya. Kalau kita mencari apakah yang dimaksud oleh paham liberal tentang bentuk kebebasan humanisme yang konkrit, kata Arendt, temui komunitas-komunitas yang ada di kamp Nazi, temui imigran tanpa Negara, atau manusia tanpa ikatan dengan suku apapun, dalam film ini temui keempat bersaudara tersebut. Mereka adalah, manusia pada umumnya. Sebuah komunitas yang bebas secara universal tetapi tidak secara hukum. Dalam konteks ini, Arendt hendak menjelaskan tentang paradoksnya kebebasan universal. Sebuah konsep, yang menurut Arendt tidak dapat ditemukan pada manusia.

Kita, manusia bukan bebas secara universal. Dan kita tidak dapat bebas sepenuhnya menurut definisi tersebut. Kebebasan adalah kepatuhan terhadap hal-hal yang membatasi keinsanan manusia.

Demikian komentar dua filsuf tersebut. Dalam mata yang menghadap TV biasanya komentar-komentar tidak dapat kita tahan.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK