Monday, February 29, 2016

Mencari Kelas Menengah

Dua kutipan yang sangat mengundang perhatian saya di buku Gerry:

“kekuasan Negara berakar, sebagian, dalam politik mikro di tingkat lokal.” (Boone 1998:25)

“kelompok-kelompok kepentingan yang mengincar anggaran pengeluaran pemerintah yang besar dan longgar sudah berurat berakar dalam system politik.” (Mackie 1971: 62) 

#
Saya membaca buku yang paling meyakinkan soal kelas menengah waktu kuliah sarjana di Ilmu Pemerintahan UGM. Buku tersebut berjudul “Politik kelas Menengah Indonesia” yang diterbitkan oleh LP3ES dan diedit oleh Tanter dan Young (buku ini terbit tahun 1996). Buku kumpulan tulisan dari akademisi dan intelektual dari berbaai Negara dan universitas ternama dapat dikatakan juga sedahyat perdebatan kumpulan tulisan dalam buku In search of middle Indonesia yang sedang saya bicarakan. Buku politik kelas menengah ini meyakinkan pembaca bahwa keberadaan kelas menengah (ada) dan jelas punya kontribusi terhadap proses politik di Indonesia—baik atau buruk kontribusinya dapat dikaji, namun ada upaya pembelaan akan adanya eksistensi ini sebagai pendorong kekuatan pro-demokratisasi? Sebagaimana kata Bottomore, no bourgeoisie no democracy!? Ini dua tantangan besar untuk meng-iya-kan lantaran ada psimisme public juga bahwa kelas menengah di Indonesia hanyalah kelas menengah semu. Jumlahnya membesar karena peran Negara, jumlahnya membesar juga bisa karena ada di ranah life style (perilaku borjuasi).

Lama sekali, perdebatan kelas menengan dan politik berubah menjadi perdebatan soal rent seeker, soal local dinasti yang merusak, soal kekuatan oligarki nasional, typan media, dan sebagainya yang tidak dihubungkan secara kuat dengan teori-teori kelas menengah. Nyaris, orang lupa soal kelas menengah dalam politik. Kabar, meningkatnya jumlah kelas menengah, tidak lantaran dikaji sebagai potensi dan musabab akan mahalnya biaya politik dalam proses electoral sepuluh tahun terakhir ini, misalnya. Memisahkan kelas menengah dari persoalan politik adalah satu tindakan ‘vandal’ dalam kajian dinamika politik local maupun nasional.

Terbitnya dua buku berharga oleh YOI dua tahun berturut-turut yiatu The making of middle Insonesia (2015) karya Gerry van Klinken dan In search of middle Indonesia (2016) berisi kumpulan tulisan peneliti yang diedit oleh Klinken dan Berenschot membawa angina segar bagi kajian baru (research insight) di Indonesia, khususnya dalam kontek lokalisme. Lokalisme yang mengandung kompleksitas yang tidak sederhana. Karena, menurut Klinken, perlu mengajak lebih banyak peneliti untuk menelisik transformasi sosial yang terjadi di area yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai area “in-Between”. Buku ini jelas, memberikan nafas energy baru untuk berselancar menuju kota kota menengah dengan spesifikasi kajian yang diagendakan. Saya gembira, ajakan penelitian Klinken ini bukan semata-mata ke kota di propinsi nan jauh terpencil untuk melakukan penelitian etnhnografi, tetapi mengajak menelisik praktik kekuasaan (hal.viii). Termasuk karakter dan metode elitenya di dalam mempertahankan kuasanya. Karenanya, dalam beberapa informasi saya kepada mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah politik dan dinamika pemerintahan lokal dan juga mata kuliah yang berurusan dengan birokrasi di daerah (EKOP), saya berikan beberapa keywords penting kepada mereka: desentarlisasi, demokrasi, birokrat lokal, dinamika ekonomi politik-lokal, local elites, etc,, agar mereka tak salah pikir atau sejenis gagal paham (Bahasa kekinian) kalau kuliah umum dengan Pak Gerry ini adalah kuliah sejarah atau kuliah dinamika ekonomi an sich di regional/kota-kota menengah. Ini kuliah umum yang menghubungkan masa lalu “kita” dengan masa kini dan masa depan negara, serta ihwal keyakinan apakah kita ini (masih) berada di negara yang sama bernama Indonesia. Imajinasi kelas menengah bagaimana? Jangan-jangan kita benar berada di suatu Bangsa yang dibayangkan,

Judul kuliah umum, “Mencari kelas menengah di kota-kota menengah di Indonesia” seolah taka da kaitan dengan politik padahal sangat kuat ikatannya. Klnken memberikan penjelasan bahwa yang disebut dengan “Indonesia Menengah” (Middle Indonesia) mengacu pada peran-peran mediasi yang dimainkan oleh kelas menengah di kota-kota propinsi di Indonesia. Indonesia menengah sebagai area in between yang mencakup dimensi antara ruang geografi (urban/rural); ruang sosial, ruang ekonomi, ruang politik, antara formal dan informal, …yang memberikan ilustrasi dimensi abu-abu yang tak kentara. Ruang-ruang yang ada perkotaan tapi tidak industrial city, atau juga tidak kekeh dan fanatik akan tradisi, tapi mereka cukup punya banyak informasi akan berbagai urusan politik dan peluang/praktik bisnis. Dalam beberapa aspek, mereka juga mengalami pembaratan (istilah Denys Lombard), misalnya dalam bagaimana manusia di kelas menengah ini punya cara makan yang berbeda dengan yang bukan kelas menengah. Ke-abu-abu-an lainnya adalah ihwal, mereka bisa menjadi kelas menengah relative—di level nasional atau kota besar bisa saja seseorang tidak tergolong kaya atau bahkan kelas menengah, tetapi di kota-kota kecil seorang camat atau birokrat kelurahan dapat menjadi seorang kelas menengah atau “orang kaya” dengan karakter khas : jamuan makan (hal.184/Lay), berpakaian, social media, tetapi diingat juga, dengan hadiranya media sosial yang murah dan terjangkau, siapa saja bisa menjadi cosmopolitan (karakter kelas menengah). Jadi lagi-lagi kita dihadapkan pada situasi abu-abu.

Ada beberapa kota di Indonesia, hidup dan matinya mengandalkan uang Negara. Bagaimana manusia di kota ini sebenarnya membangun karakter lokal? Ada juga istilah ‘bergaya di kota konflik’, apa pula ini sebagai keadaan terkini kota di bagian timur Indonesia? Ada juga karakter kelas menengah yang terbiasa menggunakan kekerasan dalam interaksi politik dan ekonomi, dan masih banyak lagi isu-isu yang belum disebutkan yang dapat kita diskusikan.

Siapakah mereka yang disebut kelas menengah? Bagaimana kepentingan mereka berkelindan dengan urusan politik? Kosmopolitanisme islam, orang orang bangsawan lama, birokrat, orang biasa jadi anggota dewan atau pejabat publik punya cerita tentang ini semua.

Banyak bahan harus di baca tentu saja untuk memperkuat pehamanan kita mengenai satu jenis banyak karakter (kelas menengah) ini, setidaknya membaca buku Gerry akan membawa kita pada upaya pencarian apakah kota-kota di indoensia dan manusia kelas menengannya ini sedang mengalami involusi, atau progresif menuju transformasi penting?

Dan saya kira, nanti pasti diberitahu oleh Gerry dan kita juga akan diajak untuk mencari secara sunggguh-sungguh bagaimana middle Indonesia bekerja dan bagaimana kita memprediksi apakah negara ini tetap terikat sebagai suatu nation-state lantaran kekuatan kelas menengah, atau bubar tergadaikan karena lemahnya ikatan kelas menengah yang berpihak pada kepentingan nasional?

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK