Friday, May 13, 2016

NKRI [Bukan] Harga Mati


Oleh Wilson Bhara Watu, Tinggal di Jakarta

Beberapa waktu lalu beberapa media nasional memberitakan peristiwa diresmikannya kantor “United Liberation Movement for West Papua” (ULMWP) yang berlangsung di Wamena 15 Februari 2016 lalu. Pihak pemerintah Indonesia melihat peristiwa ini sebagai sebuah bentuk gerakan separatis yang merusak kesatuan bangsa dan harus segera diredahkan. Sejauh ini pihak kepolisian setempat sudah mamanggil beberapa saksi terkait peristiwa tersebut termasuk melayangkan surat panggilan pemeriksaan terhadap seorang imam yang bertugas di Wamena, Pater John Djonga, yang juga hadir dan memimpin ibadat peresmian tempat tersebut.
Walaupun kejadian itu dilihat sebagai bentuk aksi separatis (versi Indonesia), toh hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Dalam wawancara TEMPO akhir tahun 2015 lalu, Pater John Djonga membeberkan beberapa situasi yang cukup memprihatinkan yang dilakukan negara pada warga lokal. Beliau menjelaskan bahwa masyarakat kerap mengalami perlakuan berlebihan oleh pihak polisi yang sering kali curiga tanpa alasan dan mengambil tindakan penahanan tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu beberapa kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pada warga setempat seolah didiamkan oleh negara. Mereka juga masih jauh tertinggal dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan sosial. Selain itu, menurut beliau ada upaya militerisasi yang cukup kuat yang terjadi di sana. Tekanan terhadap gerakan-gerakan itu dilakukan dengan militerisasi. Beliau juga memperingatkan bahwa hal serupa (militerisasi) juga terjadi saat Timor Timur masih menjadi bagian dari NKRI dan akibat yang muncul kemudian adalah pemisahan dari NKRI. Situasi serupa, menurutnya, bisa terjadi di Papua kalau seandainya tekanan militer semakin kuat dan massif.

Negara, Untuk Siapa?
Sebelum lebih jauh menilai peristiwa tersebut dari kaca mata filsafat politik, saya hendak terlebih dahulu mengangkat salah aspek teoretis terbentuknya negara yaitu paradigma kontrak sosial. Menurut paradigma kontrak sosial Thomas Hobbes, negara hadir sebagai sebuah upaya gencatan egoisme demi sebuah tujuan survival. Itu berarti, tanpa negara, kita hanya hidup dalam perang egoisme satu dengan yang lain karena setiap manusia mencoba mengafirmasi kepentingannya masing-masing (yang mungkin saja tak terbatas) atau dalam istilah Hobbes disebut sebagai situasi “bellum omnia contra omnes”, perang semua melawan semua. Sebab itu, tuntutan logis mengatakan bahwa kondisi ini hanya bisa diatasi jika setiap individu rela tunduk di bawah aturan-aturan yang membatasi kebebasan dan mengkoordinasi perilaku manusia (Otto Gusti Madung, 2013:38).
Menurut Hobbes tuntutan logis ini bisa terjadi jika “Setiap orang  secara sukarela menanggalkan haknya atas semua (ius omnium in omnia), dengan syarat bahwa yang lain juga bersedia bekerja sama, sejauh hal itu dipandang penting demi menciptakan perdamaian serta tujuan survival; ia harus menciptakan ruang bebas untuk orang lain sebagaimana orang lain memungkinkan kebebasan untuknya”(Otto Gusti Madung, 2013:40). Menurut garis pemikiran Hobbes ini, keberadaan negara merupakan sebuah hasil pertimbangan rasional untuk menghindari perang kepentingan tapi dengan menaati kewajiban-kewajiban kontrak dan saling menghormati hidup dan hak milik. Sebab itu bagi Hobbes, “Kontrak yang sudah dibuat wajib ditaati”, (pacta sunt servanda).
Kita dapat melihat ada beberapa tekanan yang diberikan dalam mekanisme kontrak sosial ini antara lain adalah politik pengakuan timbal balik antar warga, pengakuan akan otonomi individu, serta keuntungan bagi semua yang terlibat dalam kontrak sosial tersebut. Jadi bisa kita katakan bahwa keberadaan dan tujuan negara seturut pandangan teori kontrak sosial adalah untuk menjamin kebebasan setiap individu atas hak-hak dasar yang melekat padanya. Dalam konteks ini, invidu atau bangsa yang tergabung dalam kesepakatan membentuk atau bergabung dalam sebuah negara tidak hanya menuntut haknya tetapi juga memenuhi kewajiban-kewajiban dasar yang telah disepakati. Singkatnya, atas alasan terjaminnya hak-hak dasar dan ruang kebebasannya, seorang individu atau sebuah bangsa memutuskan untuk melucuti egoismenya dan bergabung dalam sebuah negara!

Hak Warga, Harga Mati
Munculnya gerakan-gerakan di Papua Barat yang berciri separatis bukanlah sebuah fakta baru tanpa sebab. Boleh dikatakan ini merupakan kepingan dari sejarah kontrak sosial “yang tidak sempurna” yang terjadi sejak tahun 1969 ketika rakyat Papua Barat diberi kesempatan untuk menentukan pilihan mereka sendiri. Penelitian Historis yang cukup menyeluruh yang dibuat oleh sejarahwan Belanda P.J. Drooglever menunjukkan adanya ‘noda hitam’ dalam proses integrasi Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Indonesia. Saat itu seharusnya diadakan referendum penuh. Namun kemudian hal itu tidak dilaksanakan dan oleh Indonesia diganti dengan sistem musyawarah mufakat dalam proses penentuan pilihan untuk memilih bergabung dengan Indonesia atau tidak. Pilihan kemudian jatuh pada integrasi ke dalam NKRI (yang mana menurut temuan Drooglever sarat dengan tekanan dari pihak Indonesia). Sebelum masuk pada proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), Papua Barat sendiri sebenarnya sudah mempunyai impian untuk menentukan nasibnya sendiri dan bebas dari jajahan bangsa lain. Mereka mau agar hak-hak dan kebebasan mereka sebagai sebuah bangsa mendapat ruang yang tidak diganggu seperti ketika mereka dijajah.
Sekarang sudah hampir 50 tahun Papua Barat bergabung dengan Indonesia dan menjadi bagian dari NKRI. Seharusnya dalam kurun waktu yang cukup lama ini hak-hak dasar mereka sebagai warga negara yang setara sudah dijamin secara utuh. Gerakan-gerakan yang berciri separatis tidak akan pernah hilang selama hak-hak dasar mereka tidak dipenuhi. Merujuk pada mekanisme kontrak sosial, keberadaan negara justru akan tergerus saat hak dan kebebasan warganya tidak dijamin secara utuh.
Sebagai sebuah negara dengan bangsa yang plural, kita mungkin tidak dipersatukan oleh kesamaan budaya. Kita mungkin menganggap konsep rasa senasib dan sepenanggungan sebagai cikal bakal persatuan kita sebagai sebuah negara. Namun, rasa senasib dan sepenanggungan saja sangat tidak cukup. Kita bersatu sebagai sebuah bangsa karena harapan akan adanya jaminan akan hak dan kebebasan kita. Tidak ada bangsa yang mau bergabung ke dalam sebuah negara jika mereka tahu kalau hak-hak dasar mereka tidak akan dipenuhi kendati pun mereka memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan dengan bangsa lain dalam negara tersebut. Dengan kata lain, tak mungkin sebuah kontrak sosial terjadi (atau kalau sudah terjadi kemudian akan bertahan) jika salah satu pihak yang ada di dalamnya diabaikan dan merasa rugi.

Selain itu, ada hal lain yang juga mesti dipertimbangkan. Negara bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Negara merupakan sebuah bentukan manusia yang secara rasional yakin bahwa hak-hak mereka dapat dipenuhi dalam sebuah komunitas politik dengan otoritas tertentu. Sebab itu, konsep bahwa NKRI merupakan sebuah harga mati sebenarnya bersifat relatif. NKRI bukan harga mati. Hak warga lah yang merupakan harga mati. Adalah sebuah kebohongan jika negara terus memperjuangkan kesatuan sebagai sebuah negara di satu sisi namun mengabaikan hak-hak dasar warga negaranya di sisi lainnya. Hemat saya, negara akan bertahan sejauh hak-hak dasar warganya dijamin!

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK