Friday, May 13, 2016

Pengalaman Mengelola Komunitas Literasi[1]


Oleh : Fauzan Anwar Sandiah[2]

Membicarakan pengalaman mengelola komunitas literasi terikat dengan beberapa hal penting. Pertama, setiap pengalaman mengelola komunitas merupakan sebuah eksperimentasi baru mengenai peran partisipatif setiap orang di dalam kehidupan sosial. Kedua, pengalaman mengelola komunitas berkaitan dengan cara-cara praktis yang meskipun tidak selalu baru, seringkali ditujukan bagi tantangan-tantangan yang jamak ditemukan. Ketiga, pengalaman mengelola komunitas bersumber dari berbagai hal yang berkelindan antara tiga hal penting yakni; pengalaman, refleksi, dan tindakan. Tiga hal inilah yang menjadi siklus belajar pengalaman mengelola komunitas literasi.
Istilah komunitas sebagai bagian dari social movement  di dalam literatur mengacu kepada bentuk organisasi lokal yang digerakkan berdasarkan pada proses apresiasi kultural. Komunitas dengan demikian bermakna sekumpulan orang yang terhubung secara fisik ataupun tidak, yang menetap atau terikat, di mana terjadi proses berbagi nilai, budaya, dan simbol (Cnaan, Milofsky, Hunter, 2006). Komunitas sebagai organisasi pada umumnya ditandai dengan beberapa hal, yakni; (1) melibatkan voluntir dalam menggerakkan atau mengembangkan komunitas dengan jenis partisipasi yang berbeda; (2) budget yang minim; (3) pengelolaan yang bebas dan mandiri.
Menurut Albert Hunter, komunitas terdiri atas tiga dimensi. Pertama adalah apa yang disebut Hunter dengan shared ecology, yakni bahwa setiap orang dalam komunitas terlibat dalam proses berbagi ruang fisik. Artinya setiap pihak berbagi lokalitas (tingkat spasialitas dan keistimewaan lokasi) atau tempat hidup keseharian tanpa batas ruang (space-bound). Kedua, karakter jaringan di dalam komunitas berbentuk organisasi sosial, di mana terjadi interaksi antar tiap orang di dalam komunitas untuk membahas berbagai hal secara kolektif. ketiga, kebersamaan dalam memaknai kebudayaan beserta simbol di dalam komunitas. Melalui proses memaknai secara bersama-sama nilai-nilai budaya dan simbol-simbolnya, setiap orang di dalam komunitas mampu mengembang jenis inisiatif sekaligus juga membentuk identitas diri personal.

Nilai Dasar Mengelola Komunitas

Rumah Baca Komunitas (RBK) berdiri pada tanggal 2 Mei 2012 di Onggobayan, Kasihan, Bantul. RBK sebagai komunitas literasi berproses dari bentuk awalnya sebagai “rumah belajar” menjadi “komunitas literasi yang berpihak” pada tahun 2013 sewaktu pindah ke Jl. Parangtritis, yang berlanjut hingga RBK pindah ke Kalibedog pada tahun 2014. Meskipun demikian, RBK dibangun dengan proses belajar atas niat-niat literasi semacam maringi (berbagi). Niat literasi semacam itu menjadi penuntun cara-cara para pegiat RBK mengambil inisiatif dalam mengelola komunitas. Beberapa di antaranya ialah mengelola komunitas literasi 24 Jam setiap hari. Konsep pengelolaan ini kemudian menjadi dasar bagi program perpustakaan komunitas 24 Jam. Sejak tahun 2012, RBK membuka ruang baca yang dapat diakses 24 Jam. Niat literasi semacam maringi juga merupakan salah-satu nilai dasar yang dipelajari oleh pegiat RBK. Melalui nilai dasar ini, para pegiat memiliki kebebasan untuk memilih jenis partisipasi yang diinginkannya. Pegiat RBK ataupun voluntir di RBK tidak pernah diarahkan secara mutlak untuk mengikuti model-model aktivitas yang direncanakan setiap tahun, tetapi mengikuti dinamika dan keinginan belajar yang terus tumbuh di kalangan pegiat ataupun voluntir.
Maringi tidak saja menjadi nilai dasar yang dipegang oleh pegiat dan voluntir, melainkan juga titik tolak dari segala aktivitas atau program RBK. Dari maringi beberapa program dikembangkan, misalnya program perpustakaan jalanan mingguan di alun-alun kidul yang diberi istilah RBK On the Street (ROTS), hibah buku bagi komunitas marjinal seperti Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis, atau program penitipan buku di angkringan-angkringan sekitar RBK. Program yang bersifat sharing tersebut dilakukan berdasarkan pada rasa saling percaya. Membagi bahan bacaan kepada pihak lain adalah tantangan tersendiri. Tetapi komunitas literasi memiliki kekuatan lebih dalam hal ini.
Pengelolaan komunitas pada umumnya sebagaimana diungkap oleh para ahli dilakukan melalui proses komitmen terhadap nilai-nilai kultural. Komitmen terhadap nilai-nilai menjadi arah bagi pengembangan komunitas, termasuk di dalamnya bagaimana interaksi antar setiap pegiat, bagaimana mengelola sumber-sumber operasional program literasi, hingga bagaimana membentuk jaringan dengan komunitas lainnya.

Melibatkan Voluntir

Voluntir (volunteer) merupakan subjek penting dalam pengelolaan komunitas. Komunitas literasi semacam RBK, konsep antara voluntir dan pegiat dari aspek kapasitas partisipasi tidak memiliki perbedaan yang jelas. Voluntir berarti subjek yang melakukan tindakan atau aktivitas secara non-profit. Bagi seorang voluntir, segala aktivitas yang dikerjakannya merupakan bagian dari tanggungjawab individualnya terhadap persoalan sosial. Oleh karena itu, tak jarang konsep voluntir melekat dengan tindakan altruistik. Voluntir merupakan sebuah istilah yang berkembang untuk menyebut subjek-subjek yang melakukan tindakan kesukarelaan. Sebenarnya konsep voluntir bukan merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat, sebab konsep ini berhubungan dengan model pembagian kerja secara sosial yang dilakukan oleh banyak masyarakat pra ekonomi industri. Transisi ekonomi yang menyebabkan transformasi besar (great transformation) telah memindahkan pembagian kerja sosial ini bagi masyarakat urban menjadi pembagian kerja yang profesional dengan kapital sebagai motif utama.
Pengelolaan relasi antara komunitas dan voluntir merupakan hal penting. Syarat utama pengembangan komunitas sebenarnya terletak pada daya yang dihasilkan oleh voluntir. Spirit kesukarelawanan menjadi hal yang pokok bagi kemunculan inisiasi-inisiasi kreatif yang dinamis. Beberapa komunitas yang gagal membangun relasi dengan voluntir akan mengalami persoalan regenerasi. Persoalan utamanya adalah bahwa komunitas yang mapan cenderung untuk mempertahankan relasi antara pengurus komunitas dan voluntir semakin berjarak. Padahal sangat penting bagi komunitas untuk menjadikan voluntir sebagai bagian integral dari kepengurusan komunitas. Termasuk membolehkan voluntir untuk ikut mengambil keputusan komunitas.
Pengelolaan voluntir di RBK dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan apresiatif. Setiap voluntir di RBK diberi kesempatan untuk menentukan jenis program yang ingin dikelola. Perlu dijelaskan juga, voluntir yang bergabung ke RBK pada umumnya berdasarkan pada testimoni. Model perekrutan juga pernah dilakukan RBK di universitas-universitas. Tetapi, partisipasi voluntir lebih kuat dilakukan berdasarkan testimoni para pegiat atau orang-orang yang pernah berkunjung ke RBK. Oleh karena itu, voluntir di RBK pada umumnya merupakan jejaring pertemanan di antara para pegiat atau voluntir. Dengan demikian penting sekali menjaga lingkungan komunitas yang tetap manusiawi.

Pengelolaan Biaya

Biaya (budget) pada umumnya dipahami sebagai ekspresi kuantitatif berupa kapital (uang) dalam proses operasionalisasi perencanaan program. Selain voluntir, bagi sebagian besar komunitas ataupun bentuk pengorganisasi massa lainnya, pembiayaan merupakan hal yang krusial. Beberapa lembaga bahkan mengembangkan bentuk-bentuk pengelolaan dana melalui koperasi atau amal usaha untuk menjaga kestabilan sumber pembiayaan. Komunitas literasi juga tidak pernah lepas dari pembahasan mengenai pengelolaan biaya. Hanya saja, bagi komunitas literasi, pembiayaan yang tak kalah penting adalah partisipasi sukarela. Hal ini disebabkan karena komunitas pada dasarnya menjalankan program-program alternatif. Sehingga keterlibatan partisipan yang didasarkan pada uang, di satu sisi justru akan menjadi penghambat kreatifitas.
Pengelolaan dana bagi komunitas didasarkan pada kebutuhan. Komunitas mengelola dana untuk kepentingan yang tidak dapat dihindari seperti perawatan kantor, dan beberapa biaya administratif. Pengelolaan dana untuk agenda rutin komunitas pada umumnya diserahkan pada bentuk partisipasi kreatif voluntir atau pegiat di komunitas. Setiap voluntir ataupun pegiat berlatih untuk bertindak sukarela untuk menyelenggarakan agenda rutin komunitas. Hal ini dimungkinkan karena agenda rutin komunitas seringkali tidak membutuhkan biaya lebih untuk konsumsi, penyewaan tempat, atau untuk membayar narasumber. Komunitas pada umumnya menyelenggarakan agenda rutin dengan bersandar pada inisiatif pegiat atau voluntir.
Sumber penggalangan dana (fundrising) berasal dari infaq jejaring komunitas. Teknologi informasi mempermudah akses setiap orang untuk ikut berinfaq bagi komunitas. Dana itu dikelola untuk kepentingan komunitas dan masyarakat lokal. Selain infaq, model fundrising lainnya ialah melalui strategi kreatif lainnya, selama tidak bersifat terikat. Prinsip dalam penggalangan dana pada dasarnya jangan sampai membuat komunitas menjadi sangat tergantung. Program dan misi literasi harus digerakkan sekreatif mungkin.

Bebas dan Mandiri

Mengelola komunitas berarti membangun kehidupan secara kolektif dan organik dengan lebih bermakna. Berbeda dengan LSM, komunitas pada dasarnya dikelola sebagaimana tata cara hidup kolektif yang jamak ditemukan pada masyarakat-masyarakat lokal. Komunitas dapat berkembang dengan baik hanya jika kesadaran terhadap otonominya begitu kuat. Artinya, komunitas sebagai bentuk kolektif masyarakat dalam mendorong inisiasi bagi kepentingannya, sedapat mungkin merencanakan program-programnnya secara bebas dan mandiri. Makanya komunitas tidak pernah merumuskan program berbasiskan pada ketersediaan funding. Hal ini tidak berarti komunitas menghindari bantuan, melainkan menjaga prinsip dalam penerimaan dana yang dapat mencerabut nilai-nilai lokal komunitas.
Pengelolaan komunitas yang bebas dan mandiri dilakukan dari hulu hingga hilir dan memastikannya sebagai cara mengembangkan komunitas. Setiap komunitas harus mampu menjaga kebebasan atau otonominya sehingga mampu menentukan jalan komunitas berdasarkan pada kehendak masyarakat. Kebebasan komunitas dalam menetukan pengembangannya akan menjadi jalan bagi kemandirian komunitas yang sebenarnya.



Lampiran I
Profil Rumah Baca Komunitas
Inspirasi
Tan Malaka menceritakan dalam Madilog bahwa Leon Trotzky membawa berpeti-peti buku menuju tempat pembuangannya begitu juga Sukarno dan Hatta atau Pramoedya Ananta Toer. Kegilaan terhadap buku telah membesarkan para pemimpin rakyat dan penulis besar. Situasi ini harus diperangi semampu kita dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti budaya, agama, dan politik sekalipun. Membaca harus menjadi semangat baru bahwa membaca adalah bagian dari iman dan sebagai manifestasi sosial harus ada terobosan baru untuk menyulap perpustakaan pribadi menjadi perpustakaan komunitas. Kehadiran rumah baca ini juga diharapkan mampu mempromosikan nilai-nilai perdamaian melalui ragam buku bacaan dan karya tulis lainnya.
Nama
Komunitas ini bernama Rumah Baca Komunitas yang kemudian disingkat dengan RBK.
Genealogi Komunitas
Embrio awal komunitas ini adalah dengan berdirinya Kantor jejaring antar beberapa komunitas di Bantul, Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 2012. Rumah Baca Komunitas merupakan salah-satu komunitas yang memanfaatkan kantor jejaring tersebut. Komunitas ini awalnya beralamat di Jl. Pak Rebo No.119 RT 03, Onggobayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, D.I Yogyakarta. Bulan Februari tahun 2013, Rumah Baca Komunitas berdiri kembali dan pindah ke alamat Jl. Parangtritis KM 3.5, No.192, Sewon, Bantul, DIY. Bulan Februari tahun 2014, Rumah Baca Komunitas pindah ke Sidorejo, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, RT 08.
Logo/simbol
Logo berbentuk buku yang menaungi nama komunitas dengan arti bahwa buku dapat mempersatukan dan menjadi payung untuk semua golongan.


Sifat Komunitas
Komunitas ini bersifat independen, non-profit, dan tidak terikat oleh organisasi, ideologi, dan kepentingan politik tertentu.
Prinsip dan Nilai-Nilai
1.       Keadilan dan Emansipasi
2.       Anti-Diskriminasi
3.       Nir-Kekerasan
4.       Pemberdayaan Diri
5.       Volunterisme dan Gerakan Mikroba
6.       Kepercayaan
7.       Apresiasi

Visi dan Misi Komunitas
Komunitas ini mempunyai visi yaitu menggerakkan aras perjuangan literasi melalui komunitas terwujudnya manusia berdaya emansipatif dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
Misi Komunitas ini adalah sebagai berikut:
1.       Menyediakan ruang literasi sebagai ruang hidup
2.       Mempromosikan nilai-nilai yang emansipatif bagi pembentukan komunitas yang lebih manusiawi melalui spirit literasi
3.       Memperkuat kehidupan komunitas melalui paradigma organik

Kepengurusan (Pegiat dan Voluntir)
1.       Siapa saja dapat mengajukan diri sebagai pengurus.
2.       Pegiat dan voluntir komunitas dapat berasal dari latarbelakang etnik, agama, keperayaan, dan aliran manapun. selama setuju dengan spirit literasi Rumah Baca Komunitas.
3.       Otoritas kebijakan mengenai pegiat dan voluntir diatur dalam asas kekeluargaan dan kebersamaan.
4.       Masing-masing pegiat atau voluntir diperbolehkan menggunakan kesempatan di Rumah Baca Komunitas sebagai proses belajar kolektif, dan dua arah.
5.       Setiap Pegiat atau voluntir dilindungi hak-haknya untuk memperoleh perlakuan yang setara, aman, bebas dari kekerasan, tindakan diskriminatif, pelecehan, pemerasan, penindasan, dan bullying,
6.       Kepengurusan baik pegiat atau voluntir dapat berakhir atas keinginan sendiri dengan mengundurkan diri, dan atau meninggal dunia. 
7.       Kepengurusan dapat dibuktikan dengan keterlibatan yang manusiawi di dalam komunitas.
4.       Kepengurusaan akan diperbaharui sesuai dengan kebutuhan.
5.       Setiap pengurus berhak menentukan jenis partisipasinya dalam upaya membangun kemanusiaan dan berhak menyampaikan ide/gagasan serta dilindungi dari segala kekerasan.

Pendanaan
Komunitas ini bersifat independen maka pendanaan berasal dari swadaya, bantuan masyarakat dan iuran anggota. Berikut adalah beberapa nilai yang mengatur pendanaan komunitas:
1.       Komunitas menerima bantuan pendanaan dari pihak-pihak yang mendukung proses pembentukan komunitas yang manusiawi
2.       Komunitas terbuka menerima pendanaan dari pihak manapun selama yang bersangkutan (bisa dalam bentuk lembaga atau individu) tidak terlibat dalam kasus-kasus kekerasan, kerusakan ekologi, pelanggaran HAM, pembakaran buku, pelarangan buku, lembaga yang mengesahkan  UU yang tidak manusiawi.
3.       Komunitas menerima pendanaan selama tidak bersifat mengikat
4.       Penerimaan pendanaan dari pihak manapun harus dilaporkan kepada pengelola keuangan yakni bendahara. Penerimaan di atas Rp. 50.000, 00 wajib disampaikan dalam forum rapat.
5.       Penerimaan pendanaan hanya diizinkan melalui jalur bendahara, tidak diperbolehkan melalui rekening pribadi.
Inventaris
1.       Inventaris komunitas sepenuhnya dimiliki oleh komunitas. Penggunaan nama komunitas untuk mendapatkan inventaris pribadi tidak diperbolehkan.
2.       Penggunaan inventaris komunitas untuk kepentingan pribadi tidak diperbolehkan. Kerusakan inventaris oleh penggunaan pribadi harus diatasi oleh yang bersangkutan.
Kode Etik
1.       Setiap pegiat dan voluntir harus belajar dalam proses yang manusiawi dan apresiatif.
2.       Tidak dibenarkan salah-satu pihak yang terlibat relasi dalam komunitas untuk melakukan diskriminasi, kekerasan, bullying, pelecehan, pemerasan, pemaksaan, dan segala bentuk penindasan.



[1] Disampaikan dalam Rakernas Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah, 6 Mei 2016 di Universitas Ahmad Dahlan.
[2] Pegiat Rumah Baca Komunitas, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. fauzansandiah@gmail.com

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK