Tuesday, April 16, 2013

Bermain Dari Pinggir

Oleh : Saroni Asikin

Minat baca kita menurun. Begitu sebagian orang mengungkapkan opini. Khususnya di media massa. Benarkah? Saa akan menyangsikan hal itu bila pergi ke toko buku atau pameran buku.

Di toko buku satu lapak saja dikeremuni orang yang tengah memilih-milih buku. Buku yang digelar pun begitu beragam; satu lapak saja berisi ratusan buku baru dari pelbagai penerbit. Itu bisa jadi indikator: dunia penerbitan buku masih sangat eksis.

Pada suatu pameran buku, orang datang dan pergi. Tak ada stan yang tak pernah disambangi pengunjung. Tempat parkir pun selalu penuh. Hal itu bisa dijadikan tenggara antusiasme orang datang ke pameran buku. Entah membeli atau tidak, juga sebagai indikator minat baca. Kalau mereka hanya membeli untuk menumpuk, mengoleksi atau hanya gengsi-gengsian, itu perkara lain. Namanya juga indikator, kevaliditannya baru bisa dibuktikan lewat penelitian terpercaya.

Namun indikator yang saya paparkan pun bisa dibantah. Lebih-lebih bila bantahan itu disertai premis bahwa buku mahal, maka hanya yang berdaya beli yang mampu membeli. Dan berdaya beli bisa jadi tak sebanyak yang tak berdaya beli.

Pengusung opini kemenurunan minat baca barangkali menyodorkan kenyataan bahwa kita, juga anak-anak kita, lebih suka memelototi televisi atau bermain-main gadget ketimbang membaca huruf-huruf di atas lembaran kitab. Oke, kita bisa berdalih; ini zaman internet, dan bacaan tak selalu berasal dari buku. Kita bisa mencari informasi, pengetahuan atau bahan bacaan kajian secara daring. Saya tak membantah itu sebab lewat internet, hampir selalu bisa kita temukan versi digital dari buku yang tercetak.

Namun apa yang kita lakukan saat berinternet?, facebook-an, twitter-an, atau blog-walking. Meski memiliki manfaat, saya tetap menyangsikan aktifitas itu secara langsung berkait dengan minat baca.

Ya, bisa jadi internet dan televisi memiliki andil terhadap kemenurunan minat baca kita. Itu pula yang menjadi dasar gerakan literasi atau kemelekhurufan selama beberapa tahun ini. Nama Gola Gong pantas disebut sebab bersama beberapa orang dia melahirkan gerakan “Gempa Literasi” yang intinya berkeinginan meningkatkan minat baca masyarakat.

Selanjutnya muncul taman bacaan masyarakat (TBM) di banyak tempat. Yang menarik, penggagas atau pendiri TBM adalah perseorangan atau kelompok. Ada upaya mandiri merangsang (kembali) minat baca masyarakat.

Tapi ada dua hal yang patut dicermati: TBM umumnya bukan di tengah perkotaan, melainkan di pinggiran. Sebut beberapa contoh: TBM warung pasinaon di Bergas Lor (Kabupaten Semarang), Pondok Maos Guyub di Boja (Kabupaten Kendal), atau Pondok Baca Uplik yang nylempit di tempat tinggi di Dusun Resowinangun, Desa pledokan, Kecamatan Sumowono (Kabupaten Semarang).

Bisa jadi itu menegaskan fakta, di perkotaan orang sudah berdaya beli buku sehingga tidak membutuhkan TBM. Tapi sebuah gerakan betapapun awalnya hanya berpusar-pusar di pinggiran, bila dilakukan terus-menerus, akan bergerak ke “Episentrum” agar “Gempa Literasi” meledak dahsyat.

_____________________________________
Sumber : Suara Merdeka, 14 April 2013

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK