Monday, April 22, 2013

Gama Triono : RBK jangan jadi Menara Gading

(RBK News, 22/04/2013) Launching RBK pada 21 April 2013 menuntun banyak komitmen dari setiap kalangan untuk memperjuangkan gerakan literasi.

Gama Triono, Narasumber kegiatan Launching RBK, mengungkapkan bahwa RBK jangan terjebak pada persepsi penyediaan fasilitas membaca saja. RBK perlu memikirkan strategi lain.

“RBK tidak boleh bergerak dengan sifat ‘memaksa’, setiap orang berbeda-beda. Bagi yang tidak terlalu minat dalam membaca atau menulis, bisa dicari alternatif media audio atau visual lain yang membantu mereka untuk ‘membaca’.”

“selain itu, RBK juga jangan jadi seperti menara gading yang menyimpan koleksi buku agar dimakan rayap dan tertutup debu.  Cukuplah perpustakaan-perpustakaan kampus yang begitu, RBK jangan sampai” jelas Gama, yang juga dikenal sebagai Aktifis PKBI

RBK : Fokus kami kaum 'marginal'


(RBK News, 22/04/2013) 8 maret yang lalu Rumah Baca Komunitas (RBK) berpindah kantor di Jl Parangritis. Setelah itu RBK banyak melakukan perubahan dalam strategi gerakan. 

Perubahan tersebut membawa RBK pada komitmen yang baru. Strategi yang lebih efektif dan efisien mutlak harus disosialisasikan.

21 April 2013, RBK Re-Launching program hibah buku dengan tema “Membangun Semangat Berbagi Melalui Gerakan Komunitas untuk Semua sehingga terwujudnya: Habis gelap terbitlah terang”.  Launching RBK mengangkat fokus hibah bagi kaum marginal.

Acara launching RBK turut mengundang “Solidaritas Perempuan Yogya”, “PKBI DIY”, “Ibukudotcom”, “Mantra Merah Putih” dan sejumlah organisasi Pemuda dan Pelajar serta komunitas marginal.

“komunitas marginal perlu mendapatkan hak mereka. Gerakan advokatif literasi bagi kaum marginal tidak begitu banyak digarap oleh berbagai pihak karena banyak alasan yang super sensitif. RBK tentu berfokus pada mereka sebagai bentuk kesadaran kita bahwa tidak harus selalu gerakan membaca diperuntukkan bagi anak-anak”. Ujar Direktur RBK, Ahmad Sarkawi.

Menurut Sarkawi hibah buku bagi kelompok marginal murni sebagai bagian dari rencana strategi (renstra) RBK.

“dan launching menjadi penjelas betapa kami (RBK) hanya bertindak sebagai gerakan advokatif literasi, bukan yang lain, karena membaca adalah hak siapa saja.” 

Saturday, April 20, 2013

Jadikan Riset sebagai Basis Gerakan!


(RBK News, 21/04/2013) Ada problem dalam setiap gerakan sosial. Problem tersebut berangkat dari bagaimana cara gerakan sosial merumuskan hingga menganalisis keadaan sosial.

Riset adalah basis dasar yang harusnya dimiliki oleh gerakan sosial. Riset akan membantu gerakan sosial bergerak secara efektif dan efisien karena menyediakan landasan bagi perumusan strategi dan teknik setiap gerakan sosial.

Pada Jum’at (19/04) Rumah Baca Komunitas (RBK) mengadakan diskusi dengan tajuk “Riset sebagai basis Gerakan Membaca” dengan menghadirkan pembicara Kasman, M.Pd.

Diskusi dihadiri sejumlah mahasiswa dari UGM, UNY, UIN dan UMY.

Menurut Kasman, dalam melakukan riset diperlukan tingkatan pemahaman dan sensitiftas yang harus terus diasah.

“kalau ingin melakukan penelitian yang baik kebiasaan membaca dan menulis harus dibudayakan”

“setiap gerakan sebenarnya membutuhkan riset entah itu dalam arti yang sempit atau luas. Itu jika ingin tepat sasaran membuat program. jangan sampai kita banyak menguras tenaga pada program yang sebenarnya justru tidak memiliki fokus yang jelas karena tidak ada dasar riset yang baik.” Ungkap Kasman.

Tuesday, April 16, 2013

Bermain Dari Pinggir

Oleh : Saroni Asikin

Minat baca kita menurun. Begitu sebagian orang mengungkapkan opini. Khususnya di media massa. Benarkah? Saa akan menyangsikan hal itu bila pergi ke toko buku atau pameran buku.

Di toko buku satu lapak saja dikeremuni orang yang tengah memilih-milih buku. Buku yang digelar pun begitu beragam; satu lapak saja berisi ratusan buku baru dari pelbagai penerbit. Itu bisa jadi indikator: dunia penerbitan buku masih sangat eksis.

Pada suatu pameran buku, orang datang dan pergi. Tak ada stan yang tak pernah disambangi pengunjung. Tempat parkir pun selalu penuh. Hal itu bisa dijadikan tenggara antusiasme orang datang ke pameran buku. Entah membeli atau tidak, juga sebagai indikator minat baca. Kalau mereka hanya membeli untuk menumpuk, mengoleksi atau hanya gengsi-gengsian, itu perkara lain. Namanya juga indikator, kevaliditannya baru bisa dibuktikan lewat penelitian terpercaya.

Namun indikator yang saya paparkan pun bisa dibantah. Lebih-lebih bila bantahan itu disertai premis bahwa buku mahal, maka hanya yang berdaya beli yang mampu membeli. Dan berdaya beli bisa jadi tak sebanyak yang tak berdaya beli.

Pengusung opini kemenurunan minat baca barangkali menyodorkan kenyataan bahwa kita, juga anak-anak kita, lebih suka memelototi televisi atau bermain-main gadget ketimbang membaca huruf-huruf di atas lembaran kitab. Oke, kita bisa berdalih; ini zaman internet, dan bacaan tak selalu berasal dari buku. Kita bisa mencari informasi, pengetahuan atau bahan bacaan kajian secara daring. Saya tak membantah itu sebab lewat internet, hampir selalu bisa kita temukan versi digital dari buku yang tercetak.

Namun apa yang kita lakukan saat berinternet?, facebook-an, twitter-an, atau blog-walking. Meski memiliki manfaat, saya tetap menyangsikan aktifitas itu secara langsung berkait dengan minat baca.

Ya, bisa jadi internet dan televisi memiliki andil terhadap kemenurunan minat baca kita. Itu pula yang menjadi dasar gerakan literasi atau kemelekhurufan selama beberapa tahun ini. Nama Gola Gong pantas disebut sebab bersama beberapa orang dia melahirkan gerakan “Gempa Literasi” yang intinya berkeinginan meningkatkan minat baca masyarakat.

Selanjutnya muncul taman bacaan masyarakat (TBM) di banyak tempat. Yang menarik, penggagas atau pendiri TBM adalah perseorangan atau kelompok. Ada upaya mandiri merangsang (kembali) minat baca masyarakat.

Tapi ada dua hal yang patut dicermati: TBM umumnya bukan di tengah perkotaan, melainkan di pinggiran. Sebut beberapa contoh: TBM warung pasinaon di Bergas Lor (Kabupaten Semarang), Pondok Maos Guyub di Boja (Kabupaten Kendal), atau Pondok Baca Uplik yang nylempit di tempat tinggi di Dusun Resowinangun, Desa pledokan, Kecamatan Sumowono (Kabupaten Semarang).

Bisa jadi itu menegaskan fakta, di perkotaan orang sudah berdaya beli buku sehingga tidak membutuhkan TBM. Tapi sebuah gerakan betapapun awalnya hanya berpusar-pusar di pinggiran, bila dilakukan terus-menerus, akan bergerak ke “Episentrum” agar “Gempa Literasi” meledak dahsyat.

_____________________________________
Sumber : Suara Merdeka, 14 April 2013

Friday, April 12, 2013

Peneliti Asal Bogor Mampir ke RBK


(RBK News, 12/04/2013) Gerakan literasi yang inklusif, melibatkan seluruh elemen dari masyarakat. Merumuskan langkah yang tepat untuk melakukan itu semua diperlukan pengkajian dan implementasi yang kokoh.

Kamis, 11 April 2013, Herni Ramdlaningrum, Aktifis Isu Anak dan Gender asal Bogor tersebut menyambangi Kantor Rumah Baca Komunitas (RBK) di sela-sela waktunya yang padat.

Dalam diskusi sore yang cukup singkat, Teh Herni, Panggilan akrab Herni Ramdlaningrum menuturkan pengalamannya mengawal isu Perlindungan Anak pada Konferensi di Bali (High Level Panel).

“isu yang kami angkat kemarin di konferensi adalah mengenai betapa pentingnya keluarga bagi setiap anak”.
Menurut Teh Herni, anak-anak lebih cenderung mengalami beberapa hambatan saat berada pada posisi yang jauh dari kehangatan sebuah keluarga.

“Anak di Panti Asuhan perlu diperhatikan kebutuhan psikisnya”

Teh Herni menuturkan pada beberapa Negara, peran Panti Asuhan kembali dialihkan kepada Orang Tua.

“di Brasil Panti Asuhan dalam tiga tahun sudah tidak difungsikan lagi. karena pemerintah di sana melihat, anak yang berada dalam asuh orang tua_keluarga (dalam arti yang sebenarnya maupun tersirat) lebih utama.”

“bagaimanapun juga keberadaan keluarga adalah sangat penting bagi setiap anak”

Perpustakaan dan Sadar Dokumentasi


Oleh: Helmi Mustofa,  Staf pada Progress Jogja, Sekretariat dan Manajemen Emha Ainun Nadjib serta Kiai Kanjeng


Sungguh menyedihkan bila melihat koleksi buku atau dokumentasi fisik akhirnya rusak termakan rayap atau terbuang akibat minimnya kepedulian orang-orang sekitar atau generasi sesudah. Padahal buku-buku itu boleh jadi sangat bernilai. Buku-buku itu mungkin adalah karya para pemikir terkemuka yang turut mewarnai semesta peradaban umat manusia. Pun dokumentasi itu sebenarnya menyimpan catatan atas pelbagai peristiwa yang dapat menyelamatkan kita dari lupa. Masih beruntung jika buku atau dokumentasi itu jatuh di tangan orang yang peduli akan aset intelektual dan budaya. Tetapi jika tidak?

Itulah salah satu alasan di balik lontaran ide Kelik M. Nugroho (Selanjutnya disebut Kelik) tentang perlunya taman bacaan koleksi tokoh (Koran Tempo, Minggu dalam rubrik Ide, 24 Maret 2013). Dalam tulisan bertajuk “Taman Bacaan Koleksi Tokoh” itu, Kelik M. Nugroho juga menyinggung tentang nasib koleksi sastrawan-dokumentator Ragil Swarna Pragolapati (selanjutnya disebut Ragil), seangakatan dengan budayawan Emha Ainun Nadjib (Selanjutnya disebut Emha, atau EAN), yang hilang misterius di pantai selatan Parangtritis Bantul. Sejak “hilang”, koleksi Ragil berupa buku, majalah, jurnal, lampiran, kliping atau bundel dokumentasi lainya tidak jelas nasibnya.

Kesadaran mendokumentasi dan menyelamatkan buku atau dokumentasi memang harus terus digemakan. Di komunitas Emha Ainun Nadjib pun hal serupa telah lama disadari, terlebih dengan kini telah dibuka Perpustakaan EAN di Jalan Barokah 287 Kadipiro Yogyakarta. Isi pertama dan utamanya adalah koleksi buku milik Emha. Misalnya, buku yang dibawa sepulang dari menjadi tamu negara saat mengikuti International Writing Program di Iowa City pada 1981, serta sepulang mengembara di Eropa. Dari koleksi itu, kebanyakan bertema sastra dan kebudayaan, terdapat buku berkualitas seperti The Rebel-nya Albert Camus,  An Autobiography: The Story of My Experiments with Truth-nya Mohandas K. Gandhi, Beyond Welfare State-nya Gunnar Myrdal, dan The Nature of Mass Society-nya John Kenneth Galbraith.

Biasanya, setiap kali mendapatkan buku dari panitia acara, kolega, atau penulisnya sendiri, Emha segera menyerahkannya ke Perpustakaan EAN untuk disimpan dan dirawat. Dan manakala diperlukan, baru dipinjamnya. Cara ini membuat buku tersebut yang sebenarnya merupakan koleksi pribadi langsung “disosialkan”, sebab buku ini kemudian akan dibaca oleh siapa saja yang berkunjung ke sekretariat atau ke Perpustakaan EAN.

Selain buku, baik yang merupakan koleksi lawas maupun baru yang datang kemudian, di Perpustakaan EAN ini juga tersimpan lebih dari 1300-an judul kliping media massa yang berisikan berita terkait kegiatan Emha, resensi buku atas karya Emha, wawancara media dengan Emha, dan lain-lain. Belum termasuk dokumentasi tulisan Emha sendiri di pelbagai media massa. Sementara itu, dokumentasi audio visual jumlahnya terus bertambah. Kaset pita yang merekam ceramah Emha berkisar 1400-an. Sementara jumlah kaset video acara Emha-KiaiKanjeng dalam maupun luar negeri mencapai 1261 kaset. Belum lagi foto digital yang sudah mencapai 74.667 file.

Dalam konteks komunitas, perpustakaan EAN ini merupakan salah satu unit di antara unit-unit yang ada di Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib. Rumah Budaya EAN sendiri dikonsep untuk menampung dan merealisasi gagasan-gagasan di bidang kesenian, kesusastraan, dan kebudayaan. Selain itu, ia juga diniatkan untuk memperkaya titik-titik kreatif di lingkungan Yogyakarta khususnya. Pertengahan bulan lalu, di Rumah Budaya EAN digelar reuni dan ulang tahun Persada Studi Klub yang diasuh Umbu Landu Paranggi di Malioboro pada 1970-an.

Sebelum dibuka untuk umum, Perpustakaan EAN telah melayani para peneliti yang sedang meneliti karya, pemikiran, dan kiprah Emha Ainun Nadjib. Karenanya, salah satu koleksi Perpustakaan EAN adalah karya-karya ilmiah seputar Emha dari para peneliti tersebut.

Koleksi Ragil

Seperti dikatakan Kelik ihwal nasib koleksi buku dan dokumentasi Ragil, tampaknya perlu disyukuri tak semua koleksi tersebut lenyap. Di Perpustakaan EAN sebagian (besar) koleksi itu tersimpan dengan baik, meskipun beberapa telah tergerus rayap, robek, atau lepas sampulnya. Ceritanya, kira-kira pada 2009 lalu, Bu Menik, istri Ragil, menyerahkan dan mempercayakan dokumentasi sang suami kepada Emha Ainun Nadjib untuk dirawat dan dimanfaatkan. Kini, koleksi tersebut telah menempati salah satu sisi di ruangan perpustakaan EAN.

Ratusan jilid tebal dokumentasi kegiatan sastra pada tahun 70-80-an tertata rapi. Di dalamnya ada surat-menyurat Ragil kepada para kolega, surat kepada redaktur media massa, dokumentasi suatu acara semisal temu sastra, dokumentasi perdebatan, lembaran publikasi acara kesenian, lembar keputusan dewan juri lomba menulis puisi, undangan dari pelbagai pihak, puisi atau karya sastra yang dikirimkan oleh penulisnya kepada Ragil. Menariknya, undangan resepsi pernikahan hingga amplop surat bertempel perangko juga masih tersimpan. Dan yang pasti koleksi karya-karya Ragil sendiri dalam bentuk ketikan manual meliputi cerpen, puisi, dan artikel beragam tema, maupun karyanya yang telah diterbitkan, misal oleh penerbit Pustaka Jaya, berjudul Melawan Hantu dan Hikayat Sidharta Gautama. Karyanya yang lain adalah Serial Joko Thole berjudul Kuda Garang di Bumi Gersang terbitan Puspa Rinonce pada 1976. Di samping itu, terdapat pula jilidan majalah, jurnal, bulletin, dan koran pada masa itu.

Barangkali sulit diketahui persis jumlah koleksi dan dokumentasi Ragil, tetapi setidaknya yang masih ada dapat diselamatkan, dan selanjutnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Dokumentasi Ragil tersebut sesungguhnya berbicara banyak tentang episode sejarah dan tradisi intelektual yang selayaknya diketahui generasi saat ini. Betapapun generasi sekarang memiliki zamannya sendiri, tetapi kesadaran akan kesinambungan sejarah tetap perlu dijaga, dan perpustakaan dapat menjadi salah satu sarananya.

Alangkah asik bila generasi sekarang dapat membaca dan bersentuhan dengan buah karya lama itu, karya orang yang sangat setia dan total terhadap dunia yang digelutinya. Mereka akan mendapatkan pengalaman yang, meminjam ungkapan Kelik, tak sekadar bersifat transformasi tekstual. Andai mereka membaca surat-surat Ragil kepada koleganya, mereka bakal takjub menyimak retorika bahasa tulisnya yang sangat puitis, mayoritas ditulis tangan atau mesin ketik manual. Bukan saja keindahan yang diperoleh, melainkan kesaksian bahwa yang dilakukan Ragil rupanya bukan hanya mendokumentasikan kegiatan kesusastraan, tetapi “mendokumentasikan” suatu pergaulan yang indah, pergaulan yang hidup.

*Dimuat di Kolom IDE, Koran Tempo Minggu 7 April 2013
sumber : http://www.facebook.com/notes/buletin-mocopat-syafaat/perpustakaan-dan-sadar-dokumentasi/10151313453571739

Monday, April 8, 2013

Strategi Kultural Menumbuhkan Budaya Baca; Perspektif Sosiologi

Oleh : Dr. Al-Zastrouw
Ketua Lesbumi PBNU

Data-data survey menunjukkan, masyarakat Indonesia menempati posisi terendah di Asia dalam budaya memebaca. Rendahnya budaya baca ini tidak hanya terjadi di kalalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, bahkan dosen dan akademisi yang mestinya dekat dengan aktivitas membaca. Kebiasaan membaca mereka rata-rata kurang dari satu jam perhari. Kalau komunitas akademik hanya memiliki kebiasaan membaca kurang dari satu jam per hari, maka berapa menit  masyarakat umum memiliki kebiasaan waktu membaca (Baidhowi; 2010).

Data ini perkuat oleh laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong  (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga menyebutkan (UNDP) dalam Human Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat umunya sudah mencapai 99,0 persen (Ben S. Galus; 2011).

Rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia ini bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun. Kesenjangan budaya baca ini akan semikin terlihat kalau dibandingkan dengan Jepang. Menurut kalangan pers Jepang, tiras koran yang beredar setiap hari mencapai 60 juta. Padahal penduduk Jepang hanya 125,6 juta. Di Jepang rata-rata pembaca koran 1:2 sampai 1:3. Artinya, tiap dua atau tiga penduduk, satu diantaranya baca koran. Mungkin tiap rumah di Jepang berlangganan satau sampai dua Koran, sehingga tidak heran banyak mempengaruhi hidup mereka dalam banyak aspek, seperti cultural, ilmiah, sosial, ekonomis, demokratis, dan kreativitas individu.

Selain dari jumlah penerbitan buku, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap tempat, mulai café, halte bus, stasiun kereta, bandara, taman dan area bublik lainnya kita jarang sekali melihat ada orang yang membaca, mereka lebih banyak ngobrol, main HP atau bengong sambil melamun. Kondisi ini sangat berbeda dengan masyarakat Jepang, yang budaya membacanya sudah tinggi. Di  Jepang kita akan mudah melihat dan menemukan orang membaca di Stasion Kreta Api, terminal bus atau antrean calon penumpang taksi. Bahkan tidak sedikit yang tetap membaca sambil berjalan dengan langkah-langkah cepat.

Paparan di atas menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih dekat dengan  budaya tutur (oral tradition) daripada budaya baca. Di tengah kuatnya tarikan budaya tutur, tiba-tiba datang tehnologi audio visual yang menyajikan berbagai macam hiburan yang tidak saja dapat didengar tetapi juga dapat dilihat. Kondisi ini makin menjauhkan masyarakat terhadap budaya baca, karena budaya menonton dan mendengar jauh lebih mudah dan lebih menyenangkan dari pada

budya baca, Terjadinya lompatan budaya menonton dari budaya tutur tidak saja bisa melemahkan budaya baca tetapi juga menghilangkan sensitifitas masyarakat terhadap bacaan dan ini sama artinya dengan terjadinya stagnasi budaya yang menjebak masayrakat Indonesia dalam budaya tutur.   

Dalam perspektif sosiologis, budaya oral menunjukkan posisi awal (rendah) dalam perkembangan perdaban manusia. Sebagaimana dijelaskan Auguste Comte bahwa  masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama, yang masing-masing tahap ditentukan menurut cara berpikir dominan; teologis, metafisik dan positif .[1] Fase teologis yang terbagi dalam tiga fase; fetisisme, politeisme dan moniteisme, kebudayaan didominasi oleh bentuk pikiran thayyul dan mitos sebagaimana tercermin dalam masyarakat primitive. Pada fase metafisik ditandai dengan kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat diterima akal budi. Fase Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan (Doyle Paul Johnson; 86). Dalam tiga fase ini ini, budaya lisan berada pada fase pertama dan permulaana fase kedua. Ini artinya budaya membaca suatu masayarakat menjadi ukuran kemajauan peradaban. Dengan kata lain semakin tinggi budaya membaca maka semakin tinggi taraf peradaban masyarakat tersebut, demikian sebaliknya. Jika perspektif Comte ini kita gunakan untuk melihat masyarakat Indonesia saat ini, maka jelas terlihat bahwa sebenarnya masyarakat Indodnesia masih berada dalam fase teologis dan metafisik sekalipun hidup dalam perdaban modern, dibuktikan dengan rendahnya budaya baca dan tingginya budaya tutur.

Melihat kenyataan yang ada, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mentransformasikan budaya tutur yang metafisis menjadi budaya baca yang positifistik. Dengan kata lain bagaimana memodernisasikan masyarakat Indonesia melalui pengingkatan budaya?

 Kebudayaan dan Habitus Masyarakat Indonesia

Sebelum mebahas upaya meningkatkan budaya baca di kalangan masyarakat, ada baiknya kami memaparkan soal kebudayaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik mengenai kebudayaan yang terkait dengan upaya penumbuhan minat baca di kalangan masyarakat, menginat begitu luasnya definisi mengenai kebudayaan.

Krober dan Kluckhon sebagaimana dikutip Sutrisno dan Putranto (2009;5) merumuskan kebudayaan dalam enam pengertian: Pertama, kebudayaan sebagai hasil yang total dan komprehensif dimana kehidupan sosial masyarakat terstruktur secara simetris dan diametral. Dalam hal ini budaya hendak ditempatkan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain budaya adalah system dalam masyarakat; kedua, budaya sebagai warisan leluhur yang berisi kaidah-kaidah/norma-norma kehidupan dimana generasi selanjutnya wajib menerima dan menjaga untuk diteruskan pada generasi berikutnya; ketiga, budaya adalah setumpuk aturan yang membentuk pola perilaku seseorang ataupun masyarakat; keempat, budaya adalah piranti atau perangkat lunak yang memiliki kemampuan memecahkan masalah; kelima, budaya adalah bagian organis dari seluruh kehidupan masyarakat  yang mengkatagorikan dan mengabstraksikan segala bentuk perilaku kongkrit manusia yang berbeda satu sama lain; 

keenam, budaya dapat dilihat suatu nilai yang keberadaanya tetap selama manusia itu ada di atas bumi. 
Menurut Koentjaraningrat (1974;80) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”.  Dari sini Koentjaraningrat melihat budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”

Dari difinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah segala hasil cipta karsa manusia baik yang berbentuk materi maupun non materi sebagai sarana mengaktuali-sasikan diri sebagai manusia dan sebagai sarana perekat social baik dengan sesama manusia maupun dengan alam.

Ada tiga hal yang terkait dengan kebudayaan; pertama adalah manusia. Kebudayaan adalah produk manusia  yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Kedua, kebudayaan bukan sesuatu yang berada di ruang hampa atau ada secara spontan, tetapi kebudayaan ada dan terbentuk melalui proses yang lama, ketiga hubungan antara manusia dan kebudayaan adalah timbale balik (reversible). Pada kondisi dan titik tertentu manusia dibentuk oleh kebudayaan yang melingkupinya, namun pada kondisi dan titik tertentu manusia bisa menjadi agen yang merubah budaya yang ada dalam suatu masyarakat[2].

Secara historis, kita bisa melihat, konstruksi sosial masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang memiliki budaya baca. Transfer nilai dan kebudayaan dilakukan melalui budaya lisan (tutur); tembang, dongeng dan kidung dan sejenisnya. Memang banyak prasasti dan kitab yang ditulis oleh para Empu, seperti kitab Pararaton, Serat Centhini, Serat Kalatidha, Negarakertagama dan sebagainya (Agus Sunyoto; 2012). Namun kitab-kitab tersebut secara praktis tidak untuk dibaca, tetapi disampaikan melalui tembang, terbukti dengan susunan bahasa dan kalimatnya yang harus sesuai dengan ritme tembang-tembang jawa (guru lagu dan guru wilangan). Selain itu ajaran etik dan moral lebih banyak disampaikan melalui dongeng, ceritera tutur dan nasehat-nasehat langsung dari para sesepuh, bukan dalam bentuk kodivikasi etik yang tertulis. Semua ini menunjukkan bahwa transfer kebudayaan masyarakat Indonesia lebih banyak dilakukan melalui budaya lisan. Inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia tidak memiliki habitus membaca.

Melihat konstruksi sosiologis dan akar cultural masyarakat Indonesia, perlu ada strategi kultural yang efektif untuk melakukan transformasi dari budaya lisan/tutur ke dalam budaya baca. Agar proses transformasi ini bisa berjalan dengan baik dan cepat, maka kita perlu mencermati hal-hal yang bisa mendorong terjadinya transformasi tersebut. Artinya upaya meningkatkan budaya baca merupakan bagian dari proses transformasi kebudayaan masyarakat Indonesia, oleh karenanya dia menjadi sesuatu yang vital dan penting yang harus dilakaukan 

secara serius dan sunggung-sung karena terkait dengan masa depan dan eksistensi peradaban bangsa Indonesia.

Transformasi Menuju Budaya Baca

Koentjoroningrat membedakan 7 (tujuh) unsur kebudayaan, atau yang disebut sebagai faset-faset kebudayaan atau “mata bajak” kebudayaan, yakni: (1) sistem kepercayaan; (2) sistem kekerabatan dan organisasi sosial; (3) sistem mata pencarian hidup atau ekonomi; (4) bahasa; (5) sistem ilmu pengetahuan; (6) kesenian, dan (7) peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi) (Koentjaraningrat, 1974).

Selanjutnya Koentjoroningkat menjelaskan bahwa urutan unsur budaya tersebut juga menunjukkan urutan kesulitan dalam perubahan budaya. Unsur budaya yang pertama, yakni ’sistem kepercayaan’, adalah yang paling sulit berubah, sedang unsur yang ketujuh, yakni ’peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)’ adalah yang paling mudah. Terkait dengan ketujuh unsur atau faset kebudayaan tersebut, budaya baca lebih dekat dengan unsur ’bahasa’ atau ’sistem ilmu pengetahuan’, karena membaca merupakan prasyarat penting yang diperlukan dalam sistem ilmu pengetahuan (Suparlan;2009).

Dengan merujuk pada ketujuh faset kebudayaan Koentjoroningkat kita bisa membangun strategi kebudayaan untuk menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat. Dari ketujuh faset kebudayaan Koentjoroningrat,   dapat dibagi ke dalam dua lapis kebudayaan; pertama kebudayaan halus dalam hal ini kami menyebut dengan soft cultur (budaya lembut) yaitu kebudayaan tak berbentuk yang terkait dengan pemikiran, norma, nilai, ajaran, sistem keyakinan dan sebagainya yang dapat mempengaruhi perilaku dan cara hidup manusia. Kedua kebudayaan material, berbentuk dan dapat dilihat yang kami sebut dengan hard cultur, seperti produk tehnologi, benda-benda seni atau peralatan yang menjadi penopang kehidupan.

Berpijak dari dua model kebudayaan ini, bisa dibuat suatu strategi budaya menumbuhkan budaya membaca di kalangan masyarakat. Pada sisi soft cultur penumbuhan budaya baca bisa dilakukan dengan cara merubah habitus masyarakat melalui transformasi kesadaran. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengembangkan dan mengeksplorasi berbagai ajaran dan nilai-nilai agama, adat, petuah dan tradisi yang bisa mendorong tumbuhnya budaya baca. Hal ini penting dilakukan, karena secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religious, tetapi regiusitas masyarakat ini sifatnya masih simbolik formal sehingga belum bisa menyerap dan mengamalkan ajaran-ajaran yang sifatnya substansial secara maksimal.

Salah satu contoh yang bisa diambil di sini adalah ajaran Islam soal membaca. Jelas ditegaskan dalam Islam bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca. Artinya Islam sangat concern dalam membangun budaya baca. Agar ajaran Islam mengenai pentingnya budaya membaca ini bisa menjadi kesadaran kolektif masyarakat, maka perlu ada pemahaman yang bisa mempengaruhi kesadaran masyarakat bahwa membaca adalah bagian dari tugas ummat beragama, membaca adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh ummat beragama, selain kewajiban formal (mahdlah) yang telah ditentukan oleh agama. Pendeknya, pada taraf ini perlu dieksplorasi secara mendalam berbagai nilai, norma, ajaran dan pemikiran yang bisa mendorong tumbuhnya budaya baca untuk dijadikana sebagai capital social dan capital cultural dalam membanagun strategi kebudayaan menumbuhkan budaya baca.

Agar proses transformasi habitus melalui penyebaran kesadaran bisa berjalan maka perlu disediakan ranah tempat pertarungan untuk membentuk produksi cultural. Sebagaimana dijelaskan Bourdieu di dalam ranah inilah agen-agen akan menempati berbagai posisi yang ada dan mereka akan terlibat dalam berbagai kompetisi untuk memperebutkan kepentingan dalam ranah tersebut. Pendeknya, perlu menjadikan ranah politik, ranah ekonomi, ranah pendidikan, ranah cultural dan ranah agama  sebagai sarana para agen melakukan pertarungan untuk mentransfornasikan habitus membentuk produksi cultural budaya baca.

Secara tehnis, untuk menciptakan pertarungan antar agen, perlu dilakukan berbagai kompetisi dalam setiap ranah yang bisa mendorong setiap agen memanfaatkan berbagai capital yang mereka miliki; capital social, cultural dan simbolik. Dengan cara ini upaya mebangun kesadaran membaca yang bisa menumbuhkan budaya baca akan terwujud, karena membaca akan menjadi kebutuhan bagi setiap agen yang sedang melakukan pertarungan dalam berbagai ranah yang ada.

Selain pada tataran soft cultur, perlu juga dilakukan penanganan pada tataran hard cultur. Pada tataran ini srtategi cultural menumbuhkan budaya baca bisa dilakaukan dengan penyediaan berbagai fasilitas yang bisa mendorong tumbuhnya minat baca di kalangan masyarakat. Misalnya penyediaan buku-buku bacaan yang mudah diakses oleh masyrakat, perpustakaan yang nyaman dan menarik dengan pelayanan yang mudah dan menyenangkan sehingga orang merasa nyaman berada diperpustakaan.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah menciptakan berbagai event yang memiliki keterkaitan dengan membaca, misalnya lomba resensi buku, lomba menulis, kompetisi penelitian, forum debat dan diskusi dan sejenisnya. Semua event ini akan mendorong masyarakat untuk membaca. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus, maka akan tumbuh perasaan gemar membaca. Jika perasaan ini dipelihara akan muncul kebiasaan membaca yang bisa melahirkan tradisi membaca di kalangan masyarakat. Dari tradisi membaca inilah akan lahir budaya membaca.

Selain sarana dan prasarana yang sifatnya material, instirusi social juga menjadi sesuatu yang penting diperhatikan untuk mempercepat tumbuhnya budaya baca. Institusi social terpenting dan srategis adalah keluarga, karena bagaimanapun keluarga adalah lingkungan paling dekat dengan kehidupan seseorang. Selain itu keluarga adalah lingkungan pertama tempat terbentuknya habitus seseorang. Setelah itu adalah lingkungan pendidikan formal; sekolah, universitas, pesantren dan sejenisnya. Jika lingkungan seperti ini bisa menyediakan berbagai perangkat yang bisa merangsang tumbuhnya minat baca, maka upaya menciptakan budaya baca di kalanagan masyarakat akan lebih cepat terwujud.

Harus diakui tidak mudah membangun budaya baca di kalangan masyarakat, karena hal ini berkaitan dengan habitus masyarakat. Perubahan budaya lisan menjadi budaya baca memang akan lebih sulit dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada unsur ’peralatan dan peralatan hidup (teknologi). Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat bahwa mengubah cara menulis menggunakan pensil menjadi laptop atau komputer lebih mudah dibandingkan dengan mengubah budaya ’ngrumpi’ menjadi budaya baca. Perlu kesabaran, keuletan, ketekunan, komitmen dan konsistensi tinggi untuk melakukan perubahan budaya. Tetapi saya yakin, dengan strategi yang benar, cara yang efektif dan dibantu oleh kecanggihan tehnologi sebagai sarana dan prasarana transformasi budaya untuk membangun budaya membaca di kalangan masyarakat akan bisa berjalan lebih cepat.



[1] Mengenai dialektika antara agen dan struktur dalam kebudayaan, lihat Bourdieu. Melalui konsep“habitus” dan “ranah”, Bourdieu menjembati dialektika agen dan struktur. Menurut Bourdieu,habitus merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai sejak masa kanak-kanan yang kemudian menjadi semcam penginderaan kedua atau hakekat alamiah kedua. Habitus merepresentasikan disposisi-disposisi sebagai berikut; ‘tahan lama’ dalam artian bertahan disepanjang rentang waktu tertentu dalam kehidupan seorang agen; ‘bisa dipindahkan’ dalam arti sanggup melahirkan praktik-praktik di berbagai ranah aktivitas yang beragam; ketiga merupakan ‘struktur yang distrukturkan’ dalam arti mengikut sertakan kondisi-kondisi social obyektif pembentukannya; keempat, merupakan ‘struktur-struktur yang menstrukturkan’ artinya mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai dengan situasi-situasi khusus dan terentu. Ranah adalah ruang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kuasanya sendiri. Ranah merupakan konsep yanag dinamis yang strukturnya mengalami perubahan karena adanya perubahan posisi agen dalam suatu ranah (Pierre Bourdieu, 2010; xv dan xvii).  


[2] Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab terakhir (asal dan tujuan) dari segala akibat –singkatnya pengetahuan absolute- mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Dalam fase metafisik, yang sebenarnya merupakan bentuk lain dari yang pertama, akal budi tidak lagi mengandalikan hal yang supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasi) dan yang mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase positif akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala dan memuaskan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya –yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan digabungkan secara tepat sehingga menjadi sarana pengetahuan. (Comte dalam Doyle Paul Johnson; 1986, 85)

_________________________________________________________

Reading, Writing and Video Games


By : Pamela Paul 
Features editor and children’s books editor at The New York Times Book Review.

WHEN I was a child, I liked to play video games. On my brother’s Atari, I played Night Driver. On his Apple II, I played Microwave, Aztec and Taipan! When I got to go to the arcade, I played Asteroidsand Space Invaders.

Here’s what I learned: At a certain level on Microwave, the music from the bar scene in Star Wars comes on. If I am at the front line when aliens descend to Earth, we’ll all be in trouble. Also, dealing opium in the South China Sea is more lucrative than trading in commodities.

In short, I didn’t learn much of anything. My parents didn’t expect me to. I just had fun.

Today, educational technology boosters believe computer games (the classroom euphemism for video games) should be part of classroom lessons at increasingly early ages. The optimistic theory is that students wearied by the old pencil-and-paper routine will become newly enchanted with phonemic awareness when letters dressed as farm animals dance on a screen.

Last week, GlassLab (Games, Learning and Assessment Lab) unveiled an online resource for teachers based on the role-playing game SimCity, and this fall it plans to release a version of the game specifically for classrooms. According to its Web site, GlassLab’s mission, in part, is to show that “digital games with a strong simulation component may be effective learning environments.” At the new PlayMaker school in Los Angeles, financed in part by the Gates Foundation, a gaming curriculum includes adventure questsand other educational game apps. A 2012 report by the New Media Consortium identified “game-based learning” as one of the major trends affecting education in the next five years.

Meanwhile, many parents believe that games children play on home computers should edify children, improve their hand-eye coordination and inculcate higher math skills. The most popular apps in the Apple store for toddlers and preschoolers are educational. Even parents who scoff at the idea of toddlers learning from Dora gleefully boast about their 2-year-olds’ having mastered basic math on Mommy’s phone.

The concepts of work and play have become farcically reversed: schoolwork is meant to be superfun; play, like homework, is meant to teach. There’s an underlying fear that if we don’t add interactive elements to lower school curriculums, children won’t be able to handle fractions or develop scientific hypotheses — concepts children learned quite well in school before television.

In a 2012 survey of elementary and middle school teachers by Common Sense Media, 71 percent of teachers say entertainment media use has hurt students’ attention spans “a lot” or “somewhat.” The findings have had no apparent effect on palpable enthusiasm for interactive teaching. When experienced teachers express skepticism about the value of computer games in school, they’re often viewed as foot-draggers or change-resistant Luddites. A 2012 Project Tomorrow report (paid for in part by the technology industry), found that only 17 percent of current teachers believe technology helps students deeply explore their own ideas.

Technology firms are understandably eager to enter the lucrative school market and acquire customers at the earliest age. News Corporation plans to introduce in schools anew tablet computer that directs a child’s wandering gaze with the on-screen message: “Eyes on teacher.” Perhaps the child would have done just that had he not had a colorful screen blinking in front of his face. Take-home games for the device include one in which Tom Sawyer fights the Brontës. (Lest children avert their attention to the actual books.)

Alarmists warn that schoolchildren won’t excel in the i-economy if they aren’t steeped in technology. Many schools boast of their iPad-to-kindergartner ratio on the theory that children should learn early on how to use a touch pad. Really? Any parent with an iPhone can tell you how long it takes a small child to master the swipe.
OBVIOUSLY there is a place for technology in the classroom. For students of a foreign language, interaction with a native speaker is invaluable. Distance learning can connect a talented inner-city child with a math professor at M.I.T. Schools that cannot manage an incubator in the classroom will benefit from observing an egg crack open on-screen. High school students can study programming, and yes, even learn to design games.

In classrooms, apps may supplement traditional lessons in handwriting, letter recognition and math drills. Digital puzzle games offer none of the tactile effort involved in turning a shape and trying — and trying again — to get it to fit. Multiple studies show that skills learned on-screen don’t always transfer to real life. Is it really advantageous forGarageBand to replace school orchestras?

Many of the games marketed as educational aren’t as much fun as video games children would play if left to their own devices. But the added bells and whistles still make it harder for them to focus on plain old boring work sheets and exams. Imagine how flat a work sheet would seem after a boisterous round of Zap the Math From Outer Space.

Technologists aim for educational games that are “immersive” and “relevant,” “experiential” and “authentic,” “collaborative” and “fulfilling” — adjectives that could easily apply to constructing an art project out of found objects. It’s easy to foresee a future in which teachers try to unpeel children from their screens in order to bring them back to such hands-on, “real world” experiences. To renew their “focus.” “Imagine if kids poured their time and passion into a video game that taught them math concepts while they barely noticed, because it was so enjoyable,” Bill Gates said last year. Do we want children to “barely notice” when they develop valuable skills? Not to learn that hard work plays a role in that acquisition? It’s important to realize early on that mastery often requires persevering through tedious, repetitive tasks and hard-to-grasp subject matter.

How’s this for a radical alternative? Let children play games that are not educational in their free time. Personally, I’d rather my children played Cookie Doodle or Cut the Ropeon my iPhone while waiting for the subway to school than do multiplication tables to a beep-driven soundtrack. Then, once they’re in the classroom, they can challenge themselves. Deliberate practice of less-than-exhilarating rote work isn’t necessarily fun but they need to get used to it — and learn to derive from it meaningful reward, a pleasure far greater than the record high score.

 ______________________________________________

PP IPM : RBK adalah Gerakan Solutif!


(RBK News, 08/04/2013) Tahun 2002, Presiden Meksiko, Vicente Fox, mengatakan “buku-buku di perpustakaan hanya menunggu debu.” Membaca adalah salah-satu kemampuan yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan manusia di Dunia. melek huruf membantu masyarakat untuk menyadari perkembangan lokal hingga global.

Indonesia sebagai Negara yang akan menyambut jalinan kerja sama internasional selalu dilihat dan diatasi dengan pemberdayaan gerakan ekonomi. solusi ini tentu tidak akan terlalu baik bagi perkembangan manusia Indonesia. Dibutuhkan satu space bagi gerakan literasi untuk menyelamatkan wawasan intelektual kaum papah daripada sekedar menjadikan manusia indonesia sebagai objek dari kebijakan internasional.

Dukungan pemerintah tahun 2012 yang secara simbolik melalui gerakan membaca 10 menit sebenarnya sudah cukup baik. Akan tetapi perjuangan literasi tidak dapat berhenti disitu karena tetap dibutuhkan dukungan dari setiap unsur masyarakat yang berfungsi untuk menopang spirit gerakan membaca, termasuk didalamnya gerakan-gerakan yang memiliki ikatan spirit membaca seperti IPM.  

Kunjungan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM )pada 8 April 2013 di kantor Rumah Baca Komunitas (RBK) memberikan warna tersendiri. Organisasi yang berbasis pelajar tersebut memang dalam beberapa dasawarsa sempat menggelorakan budaya membaca melalui gerakan Iqro.

Imam Ahmad Amin AR, Ketua PP IPM mengatakan “RBK sangat baik untuk membangkitkan budaya membaca di kalangan pelajar.  remaja atau kaum muda pada umumnya memiliki energi yang perlu diakomodir.”

“RBK sebenarnya adalah gerakan solutif bagi penyelesaian masalah kaum muda yang selama ini selalu berbau anarkisme.”

“RBK adalah bukti eksistensi simbolik Kota Jogja sebagai Kota Buku”

“dengan begini Rbk perlu membuat program membaca secara inovatif, membumi dan inklusif.” Tutupnya.

Ketua Umum PP IPM, Fida Afif yang juga turut mengunjungi RBK berharap semoga RBK dapat terus berkontribusi bagi masyarkat luas.

The Country That Stopped Reading


By : David Toscana 
Author of the novel “The Last Reader.” 

EARLIER this week, I spotted, among the job listings in the newspaper Reforma, an ad from a restaurant in Mexico City looking to hire dishwashers. The requirement: a secondary school diploma.

Years ago, school was not for everyone. Classrooms were places for discipline, study. Teachers were respected figures. Parents actually gave them permission to punish their children by slapping them or tugging their ears. But at least in those days, schools aimed to offer a more dignified life.

Nowadays more children attend school than ever before, but they learn much less. They learn almost nothing. The proportion of the Mexican population that is literate is going up, but in absolute numbers, there are more illiterate people in Mexico now than there were 12 years ago. Even if baseline literacy, the ability to read a street sign or news bulletin, is rising, the practice of reading an actual book is not. Once a reasonably well-educated country, Mexico took the penultimate spot, out of 108 countries, in a Unesco assessment of reading habits a few years ago.

One cannot help but ask the Mexican educational system, “How is it possible that I hand over a child for six hours every day, five days a week, and you give me back someone who is basically illiterate?”

Despite recent gains in industrial development and increasing numbers of engineering graduates, Mexico is floundering socially, politically and economically because so many of its citizens do not read. Upon taking office in December, our new president, Enrique Peña Nieto, immediately announced a program to improve education. This is typical. All presidents do this upon taking office.

The first step in his plan to improve education? Put the leader of the teachers’ union, Elba Esther Gordillo, in jail — which he did last week. Ms. Gordillo, who has led the 1.5 million-member union for 23 years, is suspected of embezzling about $200 million.

She ought to be behind bars, but education reform with a focus on teachers instead of students is nothing new. For many years now, the job of the education secretary has been not to educate Mexicans but to deal with the teachers and their labor issues. Nobody in Mexico organizes as many strikes as the teachers’ union. And, sadly, many teachers, who often buy or inherit their jobs, are lacking in education themselves.

During a strike in 2008 in Oaxaca, I remember walking through the temporary campground in search of a teacher reading a book. Among tens of thousands, I found not one. I did find people listening to disco-decibel music, watching television, playing cards or dominoes, vegetating. I saw some gossip magazines, too.

So I shouldn’t have been surprised by the response when I spoke at a recent event for promoting reading for an audience of 300 or so 14- and 15-year-olds. “Who likes to read?” I asked. Only one hand went up in the auditorium. I picked out five of the ignorant majority and asked them to tell me why they didn’t like reading. The result was predictable: they stuttered, grumbled, grew impatient. None was able to articulate a sentence, express an idea.

Frustrated, I told the audience to just leave the auditorium and go look for a book to read. One of their teachers walked up to me, very concerned. “We still have 40 minutes left,” he said. He asked the kids to sit down again, and began to tell them a fable about a plant that couldn’t decide if it wanted to be a flower or a head of cabbage.

“Sir,” I whispered, “that story is for kindergartners.”

In 2002, President Vicente Fox began a national reading plan; he chose as a spokesman Jorge Campos, a popular soccer player, ordered millions of books printed and built an immense library. Unfortunately, teachers were not properly trained and children were not given time for reading in school. The plan focused on the book instead of the reader. I have seen warehouses filled with hundreds of thousands of forgotten books, intended for schools and libraries, simply waiting for the dust and humidity to render them garbage.

A few years back, I spoke with the education secretary of my home state, Nuevo León, about reading in schools. He looked at me, not understanding what I wanted. “In school, children are taught to read,” he said. “Yes,” I replied, “but they don’t read.” I explained the difference between knowing how to read and actually reading, between deciphering street signs and accessing the literary canon. He wondered what the point of the students’ reading “Don Quixote” was. He said we needed to teach them to read the newspaper.

When my daughter was 15, her literature teacher banished all fiction from her classroom. “We’re going to read history and biology textbooks,” she said, “because that way you’ll read and learn at the same time.” In our schools, children are being taught what is easy to teach rather than what they need to learn. It is for this reason that in Mexico — and many other countries — the humanities have been pushed aside.

We have turned schools into factories that churn out employees. With no intellectual challenges, students can advance from one level to the next as long as they attend class and surrender to their teachers. In this light it is natural that in secondary school we are training chauffeurs, waiters and dishwashers.

This is not just about better funding. Mexico spends more than 5 percent of its gross domestic product on education — about the same percentage as the United States. And it’s not about pedagogical theories and new techniques that look for shortcuts. The educational machine does not need fine-tuning; it needs a complete change of direction. It needs to make students read, read and read.

But perhaps the Mexican government is not ready for its people to be truly educated. We know that books give people ambitions, expectations, a sense of dignity. If tomorrow we were to wake up as educated as the Finnish people, the streets would be filled with indignant citizens and our frightened government would be asking itself where these people got more than a dishwasher’s training.

__________________________________________________
*This essay was translated by Kristina Cordero from the Spanish and has published, 5 March 2013. RBK has taken 8 April 2013 from :http://www.nytimes.com/2013/03/06/opinion/the-country-that-stopped-reading.html?pagewanted=all

Friday, April 5, 2013

Belajar Membangun Budaya Membaca Dalam Keluarga


Oleh : Dra. Trias Setiawati, M.Si
Dosen UII, Peneliti

Ada banyak sudut kehidupan masyarakat kita di berbagai penjuru tanah air yang masih perlu dibangun tumbuhkan agar kualitas manusianya makin meningkat dan kelak menjadi bangsa yang maju dan bermartabat. Meningkatkan kemajuan masyarakat bisa dimulai dengan beberapa pilihan, ada yang mengutamakan sarana dan prasarana fisik dan kemudian membangun sisi lainnya seperti sosial-budaya-politik dan banyak lagi sisi lainnya, ataupun pilihan yang sebaliknya mulai membangun dari dalam kemudian ke fisiknya. Semua pilihan tersebut ada dan terjadi karena adanya keterbatasan sumber daya dan cara berpikir pemimpin negara dan para pemimpin lainnya yang menentukan prioritasnya.

Jika kita ingin maju sebagai bangsa di tengah percaturan dunia maka cobalah kita melihat ke sekeliling dunia, betapa peradaban bangsa-bangsa lain dalam belajar dan membangun tempat pendidikan sudah sekian ratus bahkan lebih satu abad mulainya. Jika kita meihat film-film Eropa kuno tahun 1400 an maka biasanya rumah-rumah mereka begitu diketuk pintunya dan dibuka akan terlihatlah ruang keluarga, sekaligus ruang baca dan perpustakaan yang merupakan home schooling semua anggota keluarganya. Bahkan kampus Oxford di Inggris konon sudah mulai aktifitas belajarnya sejak tahun 1200 an menurut salah satu sumber. Sementara kampus lainnya seperti di Leipzig Jerman sudah berumur 600 tahunan lebih. Sementara kampus tertua asli didirikan bangsa Indonesia yakni oleh Prof Abdul Kahar Mudzakkir bersama Mochammad Hatta dan tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya yakni Universitas Islam Indonesia (dulu Sekolah Tinggi Islam) baru mulai pada Tanggal 8 Juli 1945. Tentu hal ini menimbulkan pemikiran dan kesadaran betapa muda dan singkatnya kita sebagai bangsa membangun budaya belajar dan dunia pendidikannya.

Belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mendengar, bertanya, berdiskusi, melihat dan membaca. JIkalah membaca kita sebut sebagai jendela dunia maka perlu tekad dan kesungguhan yang kuat agar kita semua pun perlu untuk siap membangun budaya membaca dengan mulai dari diri dan keluarga kita masing-masing. Sebagai contoh jika kita melihat bangsa Jepang dimana minat bacanya sangat tinggi maka perbandingan orang membaca koranya adalah setiap koran dibaca oleh 2 orang, sementara di Indonesia satu koran dibaca oleh 60 orang. Di Jepang tempat dimana-mana orang memanfaatkan waktu luang dengan membaca secara seksama. Jika kita secara cermat mempelajari mengapa kita semua diminta dan diperintahkan untuk membaca agar dapat menjadi pemimpin dunia yang berjaya? Sungguh membaca dapat membuat seseorang pergi mengembara tanpa batas jarak dan waktu, ia dapat pergi ke jaman purba, pergi ke berbagai benua serta berjumpa dengan berbagai tokoh dunia yang ternama. Dengan membaca maka dunia seseorang menjadi luas dan lebar tak hanya sempit memikirkan diri sendiri, menjadi egois dan tak peduli pada orang lain bahkan membawa kerugian pada banyak manusia lainnya.

Andailah soal membaca dalam anggapan kita merupakan barang mewah dan mahal, maka ada banyak pilihan yang bisa kita lakukan. Ada fasilitas perpustakaan dan fasilitas membaca umum, ada buku bekas tetapi yang jauh lebih penting adalah cara berpikir kita dalam membuat prioritasnya. Kebutuhan makan dan kebutuhan fisik dan lainnya pun bisa kita kelola misalnya dengan cara berpuasa agar makin cerdas jiwa, hanya makan jika terasa lapar, hanya makan yang membangun kesehatan dan banyak lagi pilihan lainnya. Namun jika berpikir bahwa manusia yang beriman dan berilmu lebih tinggi derajadnya karena ia dapat mengurus dirinya sendiri dan bahkan dapat memberi manfaat pada manusia lainnya maka mengapa kita belum menempatkan kegiatan membaca, rung baca, anggaran bacaan menjadi urutan yang utama? Mari dicari jawabannya dalam relung hati kita yang dalam apakah kita sudah berusaha menjadi insan utama?

Jika tampilan kita sebagai bangsa dapat dianggap sangat maju karena mobil-mobil keren dan mewah banyak hilir mudik di jalan raya, alat-alat komunikasi gadget di genggam dan dipakai anak-anak muda dan orang tua begitu beraneka dan gaya, baju-baju dan pelengkap fashionnya yang trendy dan mengikuti gaya terkini maka sulit mengatakan bahwa kita adalah bangsa yang kurang maju. Namun kemajuan bukan hanya soal tampilan luar atau "Cover" saja, kemajuan adalah juga soal isi atau "Content" dalam diri manusianya. Cover yang canggih dan keren tak selalu sejalan dengan Contentnya, seseorang bisa tampil dengan cover seperti bintang fim hollywood yang terkenal tetapi dalam pikirannya atau contentnya_maaf_ mungkin hanya seperti salah satu tokoh legenda hollywoodnya yakni Tarzan Afrika yang tak bisa bicara apa-apa kecuali dengan dunia hutannya.

Jika kita ingin memiliki lompatan besar sebagai bangsa maka tekad kita untuk memulai membangun contentnya salah satunya adalah dengan membaca yakni agar supaya content nya pun "super" seperti "super" nya cover yang ditampilkannya. Setiap orang silahkan bisa memulai dengan memiliki agenda berapa lama membaca setiap harinya? ada berapa buku yang harus dibaca setiap bulannya? adakah ruang ternyaman di rumah adalah ruang membaca? ada perpustakaan keluarga? atau kita mau berbagi membuat rumah baca untuk masyarakat sekitar, bahu membahu membangun budaya membaca? Keluarga adalah pilar utama peradaban bangsa maka Bapak Ibu dan semua anggota keluarga perlu membangun tekad kuat yang bulat untuk menjadi keluarga yang sehat fisik juga batinnya sehingga menjadi tempat tumbuhnya sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki pemikiran maju menjulang ke depan ke dunia internasional agar duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain yang telah lama memulai peradabannya. Kita semua memiliki energi yang luar biasa yang dapat kita lepaskan menjadi kumpulan energi sinergis bersama keluarga dan masyarakat untuk melahirkan gelombang kemajuan dan kemuliaan bangsa.

Salam sehat semangat dan kuat penuh tekad membangun budaya membaca mulai dari diri, keluarga dan lingkungan sekitar kita!

________________________________________

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK