Monday, February 2, 2015

Catatan Bedah Film Belakang Hotel

Oleh: Lutfi Zanwar Kurniawan
Voluntir RBK

Beberapa hari terakhir Yogyakarta diguyur hujan. Sebagaimana yang terjadi malam itu, seperti sudah terjadwal, hujan mengguyur Yogyakarta. Menjelang Isya’ hujan masih menyisakan rintik-rintiknya sehingga hawa dingin pun terasa. Dinginnya udara Yogyakarta malam itu tidak lantas membuat suasana bedah film yang diadakan oleh Rumah Baca Komunitas sepi peserta. Suasana hangat tetap terasa diantara pesera bedah film. Apalagi saat satu per satu dari mereka menyampaikan tanggapannya setelah film selesai diputar.

Ya, malam itu Rumah Baca Komunitas menyelenggarakan kegiatan rutin yang dinamakan Reboan. Dengan mengadakan bedah Film berjudul Belakang Hotel, kali ini Reboan mengangkat tema seputar pembangunan hotel-hotel yang begitu marak terjadi di Yogyakarta. Dalam film yang berdurasi sekitar empat puluh menit itu kita menyaksikan bagaimana maraknya pembangunan hotel yang terjadi di Yogyakarta ternyata memberikan dampak negatif bagi warga sekitar lokasi hotel dibangun. 

Penyedotan air sumur dalam yang dilakukan oleh hotel menyebabkan  sumur-sumur warga asat (kering). Beberpa warga sekitar hotel mengaku bahwa berpuluh-puluh tahun sumur mereka tidak pernah asat. Semenjak hotel-hotel itu dibangun tidak lama kemudian sumur-sumur mereka asat.
Film ini merupakan wujud gerakan protes yang dilakukan oleh beberapa komunitas di Yogyakarta atas efek negatif pembangunan. Pembangunan yang seharusnya memberikan kesejahteraan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Keuntungan itu hanya menggumpal pada segelintir orang pemilik modal. Warga dirugikan atas ekes-ekses negatif pembangunan. Alih-alih ikut merasakan madu hasil pembangunan bahkan kecipratanpun tidak. Mereka hanya kebagian residunya, itupun residu negatif yang merugikan warga.

Semenjak sumur-sumur itu asat, mereka kesulitan untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sehingga dibutuhkan pengorbanan waktu dan biaya tak sedikit untuk mendapatkan air. Sebelum-sebelumnya mereka hanya perlu mengambil air dari sumur-sumur di sebelah rumahnya. Ketika sumber-sumber air di sumur-sumur itu mulai mengering mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan air. Salah satu warga bahkan sampai harus ke pasar untuk mandi itupun masih harus bayar. Ada pula kisah seorang ibu yang harus menimba sampai puluhan kali hanya untuk mengisi bak airnya. Padahal biasanya hanya butuh beberapa kali angkat ia sudah bisa memenuhi baknya.

Dalam film itu dipaparkan pula data kebutuhan satu kamar hotel/hari 380 liter sedangkan kebutuhan rumah tangga satu keluarga hanya 300 liter/hari. Alangkah gelapnya hati manusia. Orang-orang kecil hanya dijadikan selop atau alas kaki egois kesejahteraan pemilik modal yang rakus. Kesejahteraan selalu terserap ke atas, kemakmuran selalu menggumpal di atas. Walaupun begitu mereka masih bisa guyon, ngguya-ngguyu ketika gambarnya diambil dalam proses wawancara, senyum mereka masih mengembang. Mereka mampu mengolah dan memproses kebahagiaannya sendiri di tengah himpitan keterbatasan. Mereka seperti memiliki banyak pintu untuk mengundang kebahagiaan. Padahal di saat yang bersamaan kebutuhan vital mereka akan air terancam.

Ngguya-ngguyu-nya warga itu bukan berarti mereka tidak berbuat apa-apa. Diam saja melewatkannya sambil lalu kemudian melupakan apa yang terjadi. Tidak. Mereka tentu saja tidak tinggal diam. Mereka mengadakan perlawanan dengan meminta pertanggung-jawaban dari pihak hotel. Merasa protesnya dianggap angin lalu, mereka mengadakan aksi mandi debu di depan hotel. Debu itu menjadi simbol bahwa air mereka telah dirampas dan dikuasai oleh pihak hotel. Mereka menagih diterapkannya dengan konsisten undang-undang pasal 33 ayat 3 yang mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Membela Yang Lemah  

Seperti layaknya bedah film, setelah screening film selesai acara dilanjutkan dengan diskusi. Diskusi yang hangat adalah diskusi yang memunculkan beragam perspektif sehingga yang lahir bukan hanya penafsiran tunggal atas peristiwa. Itu juga yang terjadi dalam diskusi malam itu. Para peserta bergantian menyampaikan pandangan dan pendapatnya tentang film yang baru saja mereka tonton bersama.

Diskusi dibuka dengan pendapat dari salah satu peserta yang mempertanyakan bahwa kenapa isu ini perlu diangkat? Padahal kan yang mengalami masalah ini hanya segelintir saja, tidak semua warga yang tinggal di sekitar hotel mengalami kejadian yang sama. Kemudian lantas peristiwa ini memunculkan counter wacana bahwa Jogja Ora Asat. Karena toh kenyataannya kekeringan tidak terjadi di banyak tempat. Tentu saja counter wacana yang lahir akan mengurangi daya dobrak wacana Jogja Asat. Beberapa peserta diskusi menyayangkan munculnya counter wacana karena ini justru melemahkan dan merugikan warga Yogyakarta.

Counter wacana ini seharusnya tidak dilihat sebagai pelemahan terhadap wacana Jogja Asat yang coba digulirkan untuk menggugah kesadaran warga akan efek negatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan alam dan sosial. Counter Wacana Jogja Ora Asat kalau dilihat lebih dalam sebenarnya malah menguntungkan. Karena dengan adanya counter, di satu sisi ini menyebabkan wacana mampu menjangkau dalam jangkauan yang lebih luas. Wacana ini akan terus menerus bergulir dan terus hidup. Bayangkan jika wacana ini tidak ada yang menanggapi, mengkritik, atau meng-counter. Bisa jadi jangkauannya tak terlalu luas dan umurnya pendek. Seperti curhat Steven Levitt, Profesor di Chicago dan penulis buku Freakonomics dan Super Freakonomics dalam artikel yang ditulis oleh Pramudya A. Octavianda. Pernah suatu hari Levitt stress luar biasa karena seringkali dikritik orang gara-gara idenya yang dianggap kontroversial dan ia akhirnya meminta nasihat kepada Gary Becker. Saran Gary Becker sederhana: "bersyukurlah kamu karena ada yang mengkritik. Tahu yang lebih parah? Kamu dianggap angin lalu.”

Menjawab kegelisahan pertanyaan, kenapa isu ini perlu diangkat? Padahal kan yang mengalami masalah ini hanya segelintir saja, tidak semua warga yang tinggal di sekitar hotel mengalami kejadian yang sama. Salah seorang peserta memberikan perspektif yang cukup melebarkan cakrawala dalam memandang permasalahan. Biarpun ini permasalahan sebagian kecil orang, namun ini adalah permasalahan kemanusiaan. Isu ini diangkat tidak ditentukan oleh berapa besar dan berapa banyak orang yang mengalami ketertindasan. Bahkan hanya satupun, jika ada penindasan manusia atas manusia lain, maka perlu dibela. Kita tidak mungkin mengatakan, “lhoh kan itu hanya dialami segelintir orang”. Kemudian kita menutup mata atas tragedi itu.

Dalam beberapa bulan belakangan ini, maraknya pembangunan hotel dan obral izin pendirian hotel memang cukup meresahkan warga. Di beberapa lokasi hotel dibangun, warga melakukan demo untuk menentang pembangunan. Keresahan warga ini ternyata juga dirasakan oleh komunitas-komunitas yang memang banyak tumbuh di Yogyakarta. Topik tentang pembangunan hotel cukup mendominasi dan menjadi bahan perbincangan mereka yang tergabung dalam komunitas. Mereka merasa ada yang tidak benar atau setidaknya-tidaknya tidak tepat dengan maraknya pembangunan hotel tersebut.
Ada keinginan kuat diantara mereka yang tergabung di komunitas untuk turut terlibat dalam mewacanakan permasalahan ini. Diharapkan keterlibatan banyak pihak akan membuat permasalahan ini menjadi masalah lebih banyak masyarakat Yogyakarta. Pada ujungnya nanti warga memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemerintah maupun birokrasi. Memiliki daya tekan yang lebih kuat supaya pemerintah dan birokrasi segera terlibat untuk Turun Tangan menjawab permasalahan yang sedang dihadapi warga Yogyakarta. Tetapi sayangnya, banyak diantara komunitas-komunitas tadi yang tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup untuk terlibat. Hal ini menyebabkan mereka sampai sekarang kurang memiliki strategi yang tepat dan efektif untuk turut terlibat menjawab permasalahan yang sedang terjadi.

Ada pelajaran berharga dari pembuatan Film Belakang Hotel ini. Jika diperhatikan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film, wacana yang ingin mereka angkat fokus pada sasaran tertentu yang dirasa cukup efektif dan memiliki dimensi luas dan bisa dilihat secara langsung. Mereka mengangkat isu tentang keringnya sumur-sumur warga akibat berdirinya hotel yang menyedot air sumur dalam untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. fokus yang diangkat ini menarik karena langsung tertuju pada permasalahan yang bisa langsung dirasakan oleh warga. Walaupun sebenarnya ada dampak-dampak lain yang tidak terlihat dan dirasakan padahal itu menimbulkan kerugian yang besar. Tetapi penting untuk mengangkat wacana-wacana yang mudah dipahami oleh warga. Dan itu biasanya sesuatu mereka mampu lihat dan rasakan.

Problemnya di sini, komunitas-komunitas tadi tidak memiliki fokus sasaran yang jelas. Malahan yang berkembang selama ini adalah bagaimana menghentikan pembangunan hotel. Sebagai pihak yang berada di luar struktur kekuasan, pembuat kebijakan, walaupun itu mungkin namun sangat sulit. Seharusnya daripada wacananya difokuskan pada penghentian pembangunan hotel. Mereka bisa menembak hal-hal yang lebih strategis. Misal saja fokus pada apakah dalam pembangunan hotel mereka melibatkan warga sekitar yang berpotensi terdampak akibat pembangunan. Apakah ada MOU antara warga sekitar dengan pihak hotel jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang merugikan. Itu tadi hanya salah satu strategi alternative, sebab kekuatan komunitas-komunitas tadi belum cukup kuat untuk memaksa dihentikannya pembangunan-pembangunan hotel di Yogyakarta. Karena jangan sampai mentoknya wacana tadi menghentikan semangat komunitas-komunitas tadi untuk turut terlibat.

Diskusi Reboan malam itu ditutup dengan sebuah komentar. Seharusnya organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki puluhan juta anggota memiliki peran yang besar untuk juga terlibat dalam menyelesaikan permasalahan ini. Mereka jangan tutup mata terhadap permasalahan riil yang dihadapi oleh umat. Ekses negatif dari maraknya pembangunan hotel ini adalah masalah-masalah kongkret. Ekses-ekses itu tidak hanya bidang moral dan mental, melainkan gap perolehan ekonomi, ketercerabutan budaya.

Jangan sampai lembaga-lembaga keagamaan hanya sibuk menjadi biro fiqih yang kelak tak lagi dilirik orang dan tak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tiap hari kerjaannya main semprit menuduh ini salah, itu haram, itu offside, itu handsball. Seperti yang dikatakan oleh Emha Ainun Nadjib, seharusnya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan ialah bagaimana menguasai lapangan sepak bola sejarah. Bagaimana melatih pemain-pemain yang antisipatif dan determinative terhadap pola permainan lain. bagaimana memilih siapa bek-nya, siapa libero-nya, siapa playmaker, siapa winger dan striker-nya

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK