Monday, October 8, 2012

50 Tahun IPM: Pelopor Gerakan Iqro’ Untuk Visi Pembebasan

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas, dan Mantan Ketua Bidang PIP Pimpinan Pusat IPM


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masysrakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadaian.” –Pramoedya Ananta Toer”

Tidak bisa dipungkiri bahwa visi kebangsaan IPM sudah termanifestasikan dalam berbagai ranah aktifisme sejarahnya semenjak kelahiran di tahun 1961. Bulan ini genap setengah abad berdiri dengan segala kelebihan dan pekerjaan yang masih menumpuk di depan mata kita. Ke depan visi kebangsaan ini juga diperkuat dengan visualisasi gerakan untuk menopang terwujudnya peradaban yang tercerahkan sebagaimana visi-misi Muhammadiyah. Ini adalah PR bersama kita tentu saja kita secara individual bisa menyamai sendiri-sendiri dan dengan berbagai inovasi dan keterlibatan alumni IPM di berbagai lembaga dan komunitas diharapkan mempercepat (akselerasi) pertumbuhan anak bangsa yang berdaulat dan transformatif. Bagi kita, refleksi 50 tahun IPM-IRM bergerak adalah satu momentum untuk kembali memperkuat barisan IPM, alumni IPM dalam memperkokoh visi kebangsaan, keummatan, dan pengamban misi peradaban.

Sering muncul kebangaan korp ketika usia 50 tahun IPM bergerak, telah memberikan kosntribusi besar pada perjuangan mengawal reformasi dan pembentukan pemeirntahn bersaih yang digambarkan oleh kader-kader IPM yang bergerak di ranah politik dan pemerintahan taruhlah contoh ada Busro Muqodas (Ketua KPK), Hajriyanto T (Wakil Ketua MPR), dan sebagainya. Di bidang pendidikan, alumni IPM yang menerkuni sebagai guru, dosen, dan aktifis di berbagai NGO, pusat kajian, lembaga penerbitan, enterprenurship, dan berbagai komunitas sudah memberikan warna tersendiri bagi Indonesia. kemenangan-kemenangan kecil itu sudah didepan mata kita semua. Di sisi lain terhampar PR yang tidak sedikit yang akan menggelisahkan kita sepanjang usia di mana bangsa ini masih rendah jumlah bacaannya, penindasan dan kebijakan yang tidak manusiawi, melawan ras akeadilan, juga korupsi dan praktik anti-agama lainnya. Kita kadang merasa, 10 tahun terakhir ini bangsa kita involusi, mungkin kita dan IPM sendiri absen dalam progress dan inovasi yang bisa dianggap ‘luar biasa’. Kebaranian melawan arus itu masih samar-samar di lingkungan kita.

Banyak engle yang kita bisa mulai untuk membincang masa depan “IPM yang Berjaya” tanpa mengurangi ruh gerakan. Dalam kesempatan ini penulis hendak memberikan urun rembug mengenai bagaimana IPM memberikan konstribusi secara signifikan dalam pencerdasan bangsa melalai implementasi visi kelimuwan IPM yang dimanifestasikan dalam “gerakan iqro” atau gerakan membaca yang sampai hari ini belum menjadi meanstream di tubuh gerakan ini baik secara individual maupun organisasi. Hal itu membuat penulis ingin mempertajam diskusi mengenai bagaimana IPM ke depan betul-betul berada di garis terdepan dalam gerakan membaca. Ada adapun landasan pikir dan dampak akan penulis diskusikan di bagian selanjutnya.
Visi Kebangsaan Gerakan Iqro’

Sebagai orang yang pernah aktif di IRM, saya membaca visi baik IRM atau IPM melalaui rangkain kalimat yang berbeda tanpa mengurangi maksud yang termaktub dalam berbagai keputusan organisasi (Muktamar) yang setiap dua tahun diselenggarakan dengan menelan biaya ratusan juta setiap event. Setidaknya ada tiga target utama dalam menekuni IPM sebagai gerakan pelajar. Pertama, visi pembebasan manusia. Kedua, visi perwujudan generasi Ilmu. Dan terakhir, adalah visi sebagai bangsa unggul. 

Pertama, untuk memperjuangkan visi pembebasan IPM dan alumni memang harus bergumul dari mulai urusan pendidikan, social, budaya, dan politik. Karena keempat ranah itulah yang paling potensial untuk terjadinya dominasi, hegemoni dan mewabahkanya penindasan. IPM dan Muhammadiyah seharusnya berjalan seiring dan sejalan dalam konsep alternative untuk pembebasan manusia yang seringkali kita sebut sebagai teologi al-maun (teologi pembebesan Muhammadiyah). Implementasi dari teologi itu tidak boleh saling bertentangan. Taruhlah contoh, Muhammadiyah sebagaimana tuntutan sebagian aktifis IPM untuk keluar dari system pendidikan meanstream ala negara dimana segala sesuatu terpusat dan segala bentuk otoritas untuk mengatakan layak lulus dan tidak lulus dikuasai oleh negara (melalui Ujian Nasional (UN)/UNAS) maka Muhammadiyah seharusnya berada dipihak IPM dan bukan malah menghambat kritisisme yang berkembang di media. Sebagaimana Buya Syafii Maarif sering mengatakan bahwa gerakan Muhammadiyah masih sebatas sebagai gerakan pembantu karena di ranah pendidikan Muhammadiyah tidak ‘mampu’ berfikir alternative. Banyak contoh kasus yang ternyata bisa keluar dari dominasi negara seperti ponpes Gontor Jawa Timur tanpa Ujian Nasional tetapi ijazahnya bisa diakui oleh berbagai universitas dalam dan luar negeri. 

Kenapa UN ini terhubung kuat dengan visi pembebasan karena tidak bisa dipungkiri UN ini telah menjelma menjadi malapetaka bagi pelajar, orangtua, dan nilai-nilai luhur bangsa yang tercabik oleh berbagai bentuk angkara murka penipuan, korupsi, contek massal (baca: kasus Siami dan Alif di Jawa Timur), dan lalu munculnya fenomena yang disebut Dr. Haedar Nashir sebagai masyarakat yang sakit (Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 2011). Gerakan kritis menyoroti persoalan UN semakin kencang dilakukan IPM enam tahun terakhir ini namun Muhammadiyah dan diksdasmen Nampak belum bergeming. Dan ini telah menjadi hambatan serius bagi IPM untuk mengejawantahkan visi pembebasan (teologi al-maun yang perlu diperjuangkan IPM). Model-model alternative dalam dunia pendidikan sebetulnya sudah banyak dipelajari di berbagai lini perkederan IPM. Kader potensial sudah mafhum dengan pemikiran Kyai Dahlan, Paulo Freire, Ki Hajar Dewantoro, Marx, Dewey, dan sebagainya namun mereka masih bingung memahami para punggowo Muhammadiyah yang mendapat gelar sebagai “13 dewa” itu. Alternatif yang saya yakini sampai hari ini memang masih sama, bahwa kader dan alumni IPM harus menyuarakan jati diri sebagai pelajar melalui gerakan kesadaran membaca. Untuk apa? Untuk membangun kesadaran, menjaga kewarasan, membebaskan diri, dan tidak alergi terhadap apa yang disebut pemikiran ‘jalan lain’, ‘jalan ketiga’, alternative’, maupun gagasan-gagasan‘subaltern’. 

Visi kedua adalah perwujudan generasi ilmu yang akan memperkuat visi pembebasan. Semenjak tahun 2002 secara formal gerakan iqro’ (membaca) dilaunching namun secara cultural gerakan IPM semenjak kelahirannya memang dijiwai oleh semangat ‘pencari ilmu’ yaitu kaum terpelajar atau terdidik, atau meminjam bahasa Yudi Latief disebut kelompok intelegensia atau jika dirunut dalam khasanah ilmuwan Barat yaitu Antonio Gramsci menyebutnya sebagai “intelektual organik” (Gramsci, 1971) yang kemudian dibahasakan sebagai kelompok ilmuwan-aktifis untuk membedakan dengan kelompok ilmuwan ‘tradisional’, intelektual konvensional’ atau ‘official intelectual’ (label lainnya: ilmuwan menara gading, ilmuwan-pedagang, ilmuwan-pejabat dan sebagainya). Memang kita harus punya standing position dalam pemahaman terminology-terminologi kelompok intelektual yang semakin hari mengalami dinamika yang beragam setidaknya sampai hari ini kita sering dibingungkan ol;eh berbagai kategori academic seperti intelektual progresif, intelektual organic, intelektual-ulama, intelektual-liberal, dan seterusnya. Namun sebenarnya kepentingan kita adalah bagaimana kerja-kerja intelektual kita juga bisa membumi untuk kalangan pelajar kota dan desa teritama keberpihakan kita kepada pelajar marginal (marginalized community). Bagi aktifis IPM sendiri memang sering kali dianggap belum fokus gerakannya karena kecenderungan bermuka banyak wajah dalam gerakan IPM baik sebagai ortom, sebagai NGO/LSM, atau kelompok new social movement yang menyuarakan hak-hak minoritas/kaum marginal dikalangan remaja (IRM mengurusi kenakalan remaja dan sekitarnya).

Visi keilmuwan dikejawantakan salah satunya adalah gerakan membaca yang sangat membumi dalam tataran intelektualitas dan teoritis namun kering dalam praktik seharusnya tidak divonis gegal namun bisa dikatakan ‘belum berhasil’ sehingga perlu penguatan di berbagai struktur penopang, insfrastruktur, dan sebagainya termasuk bagaimana model-model perpustakaan alternative, sekolah ‘informal’ atau yang disebut Andreas Harefa sebagai “masyarakat pembelajar” dan sejenisnya untuk terus dikenbangkan sebagai model arus ‘utama’ dalam gerakan IPM. Kita tahu, beberapa alumni sudah memulai mendedikasikan diri dalam komunitas riil yang kita harus apresiasi. Kurang lebih 4 tahun lalu, ada jargon di lingkungan IPM: “Gerakan Iqro’ melawan kebodohan dan penindasan”. Ini juga menunjukkan bagaimana visi gerakan IPM melejit melampuai visi-visi gerakan kepelajaran lainnya.

Ketiga merupakan visi yang rada ‘developmentalism’ namun mempunyai manfaat untuk survive memenangkan globalisasi. Di zaman yang dilabeli sebagai ‘zaman akhir’ (ramalan Jawa) atau oleh pemikir futuristic Alvin Tofler sebagai zaman informasi, zaman tunggang langgang ( Antony Gidden), dan zaman bergerak (Takeshi Siraishi) keunggulan komparasi atau kecanggihan mengakses tekhnologi memang slaah satu senjeta pamungkas memenangkan pertempuran kapitalisme global. Satu petikan yang menarik adalah bahwa buta huruf di era sekarang ini bukan melulu sebagai ketidakmampuan (disability)membaca huruf dan angka namun lebih pada ketidakberdayaan memanfaatkan system tekhnologi dan informasi (Tofler, 2000). Maka dari inspirasi itu, IPM diharapkan, dalam usia 50 tahun ini mempunyai kemampuan menafsir tanda zaman dan menginterpretasi kembali pakem-pakem zaman dahulu untuk ditransformasikan secara lebih cerdas dan visioner.

Apa yang disebut visi pemberadaban ala IPM kemudian tidak melulu dianggap sebagai suatu yang jauh tidak tergapai namun lebih sebagai proses, keberanian melakukan perubahan (anti status que yang rasional). Pendek kata, kita berproses untuk membebaskan, mencerahkan peradaban namun prose situ harus terukur,m jelas di depan mata kepala kita dan akan kemana muara sebuah ikhtiar yang dimanifestasikan dari muktamar ke muktamar (mulai gerakan tiga “T”—tertib ibadah, organisasi, dan belajar, gerakan anti kekerasan, kritis transformatif, Pelajar berdaulat, visi gerakan pelajar baru, sampai yang terakhir gerakan komunitas kreatif) dan nanti apa lagi di masa yang akan datang. Pertanyaannya, benarkah kita telah merangkai dinamika itu dalam setiap muktamar mempunyai hubungan ideologis, epistemologi terkait sejarah apa yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan IPM. 

Pelopor Gerakan Membaca: Peran Strategis Gerakan Pelajar

Gerakan Iqro’ adalah branding aseli IPM yang secara luas diartikan sebagai manifestasi gerakan ilmu di tubuh IPM dengan dilandasi nalar kritis transformative. Adapun penjelasan gerakan ini meliputi aktifitas membaca dan menulis dengan ragam aktifitas kreatif di dalamnya mulai bedah buku, membuat media, milis, dan seterusnya (Baca Tanfidz Muktamar Medan 2006). Bahkan Quraish Shihab sendiri dalam tafsirnya menjelaskan kata iqro meliputi kegiatan membaca, memahami, meneliti baik naskah yang tertulis atau naskah yang tidak tertulis (Shihab dalam tafsir Al-Misbah, 2002). Seorang intelektual organik dari Amerika Latin pernah menyatakan ungkapan yang singkat dan tajam bahwa, “ jika semua rakyat berdaulat atas kata-kata (membaca), maka penguasa atau pendeta akan kehilangan sifat dominasi dan hegemoninya.” Pernyataan itu tidak berlebihan, dalam masyarakat yang mempunyai tingkat literasi tinggi maka kebebasan sipil tinggi lalu demokrasi berkembang dengan baik sebagaimana di beberapa negara barat walau dengan batasan tertentu (Amerika, Inggris, Perancis, dan Jerman). 

Tahun 2010 tercatat basis utama anggota dan simpatisan IPM seluruh Indonesia adalah tersebar sebanyak 1.188 Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah, 534 Mts, 515 SMA, 278 SMK, 172 MA (profil Muhammadiyah 2010), maka kerja-kerja pejuang IPM tidaklah ringan dan tentu saja penuh dengan tantangan. Tidak bisa diperdebatkan bahwa IPM mengambil peran kesejarahan dalam dinamika lokal dan nasioanl sebelukm dan pasca reformasi di bumi Nusantara ini. Peran gerakan pelajar ini yang menurut hemat penulis perlu diperkuat adalah meyakinkan bahwa gerakan membaca/iqro mampu mengantarkan anak bangsa ke gerbang masyarakat yang beradab dan adil. Dengan gerakan membaca orang pintar tidak hanya didominasi oleh jebolan sekolah tinggi dan luar negeri, anak borjuasi dan penguasa aristokrasi, namun dengan visi pembebasan melalui gerakan membaca diharapkan setiap anak bangsa bisa belajar, anak tidak terperosok sebagai kelompok remaja putus sekolah, dan anak jalanan tidak melulu mendapat stigma buruk karena seluruh bumi dan situasi ruang kita desain sebagai rumah belajar alternative, ruang membaca tanpa batas, dan ruang imaginasi untuk melakukan transformasi social (social engineering) yang sejatinya kita sudah memikirkannya hanya kapan kita harus memulainya. Ingat satu ungkapan inggris: if not us, who? If not now, when?

Penting direnungkan sbagaimana penggalan kalimat di atas yang ditulis oleh Pramudya betapa membaca dan menulis sebagai bagian penting dari bangsa beradab. Gerakan Iqro’ IPM sangatlah strategis yang sudah diusung sekian tahun dan dicoba diinstal dalam kehidupan sehari-hari kadernya hanya perlu revitalisasi mengikuti laju kencangnya arus perubahan sehingga harus ada upaya mengupdate strategi untuk mencapai target dimaksud. Taufiq Ismail (2002) lebih dramatis menyampaikan keprihatinannya pada minat baca anak bangsa sampai beliau mengungkapkan bahwa Indonesia sedang dilanda “Tragedy Nol Baca” yang entah sampai kapan akan berakhir. Gerakan membaca dan menulis adalah kembar siam yang tidak terpisahkan sehingga terus saja dipacu tanpa henti. Kontribusi IPM untuk memerangi bencana ini haruslah kongkrit diusia ke-50 tahun sebagai bagian integral dari visi pembebasan.

Secara pribadi, saya yakin tanpa kesadaran untuk mentradisikan membaca sangat mustahil lahir pada zaman itu sosok Syahrir, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Kyai Dahlan, Mahatmagandhi, Soe Hok Gie, dan seterusnya. Pribadi berkarakter kuat banyak dilahirkan oleh tradisi baca-tulis yang kuat pula. Hubungan ini hampir tidak diragukan, maka betapa stareteginya gerakan membaca ini menjadi peran strategis kebangsaan yang telah, sedang, dan akan terus diperjuangkan oleh kader persyarakitan baik structural maupun cultural, baik dilakaukan secara sembunyi atau terang-terangan, baik pribadi atau jamaah. Satu hal yang jelas, bahwa kesadaran membaca dan kewajiban baca-tulis bukanlah sesuatu hal yang bisa dihukumi ‘fardhu kifayah’ namun sebagai kewajiban utama dengan tumpuhan idelogis surat al-Alaq (ayat 1-5) dan surat al-Qalam.
Catatan Penutup

Gerakan apa pun namanya adalah sebuah proses dinamis diliputi oleh pro-kontra, pasang naik dan pasang surut dalam setiap langka perjuangannya. Bagi kita kaum terdidik, tentu menyuarakan dan menjaga idealism adalah pekerjaan yang tidak ringan ditambah beban sejarah untuk mengabdi sebagai barisan intelektual organic tentu tidaklah ringan. Konon, di negeri ini menjaga tetap waras saja susah apalagi berbuat baik dan menularkan kebaikan akal budi kita. Namun, stigma gagal, involusi, dan ‘degenerasi’ yang terus kita tancapkan kepada komunitas dan diri sendiri menjadi kabar buruk bagi bumi. Maka ikhtiar mencerahkan anak bangsa yang termarginalkan oleh pembangunan adalah kerja-kerja tidak ‘basah’ bahkan mengundang ‘sengsara’ sehingga teramat mulia untuk tidak diperjuangkan. Selamat milad IPM, selamat bergerak untuk aktifis dan alumni di mana saja berada karena hidup ini akan berhenti jika kita tidak bergerak. Dan gerakan cerdas, kritis, alternative, itu adalah lahir dari pribadi-pribadi merdeka yang lahir di setiap zamannya. 

Jika kita perhatikan sepintas, peta social dan politik serta budaya mengalami laju tunggang langgang terutama pasca reformasi dan perdagangan bebas sementara gerakan pelajar mengalami involusi artinya tidak menyesuaikan diri dengan zaman dengan inovasi dan progress maka kondisi ini sebenarnya kabar sangat buruk bagi kelangsungan IPM, Muhammadiyah dalam mengemban dakwah amar ma’ruf (humanism) dan nahi munkar (liberasi) untuk mewujudkan wajah masyarakat yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Pertanyaannya, tawaran progress dan inovasi apa yang diberikan IPM untuk ‘merayakan’ milad setengah abad? Ada secercah psimisme melanda jangan-jangan seremonial ini hanya sebuah festival yang akan segera dilupakan dan menjadi romantisme. Namun, ide member kado dalam bentuk tulisan adalah manifestasi kongkrit dari bentuk gerakan anti-kejumudan berfikir dan involusi laku.

Ke depan kaum pelajar yang tergabung dalam IPM perlu sedikit merevisi jargon idealis bahwa pelajar sebagai agen perubahan (agent of change) menjadi sedikit progresif yaitu agen perlawanan (agent of resistance) untuk men-counter budaya dominan baik dalam era kapitalisme global yang terus saja menggencet kita dari segala penjuruh mata angin kanan dan kiri, atas dan bawah yang berdampak pada meluasnya bentuk-bentuk ketidakadilan, dikatator, soft authoriatian, dan bentuk-bentuk kolonialisme dan imperaslisme gaya baru yang tercermin dalam berbagai praktik politik lokal dan nasional hari ini. Kita tahu kondisi “the silent majority” di masyarakat kita dalam berbagai peristiwa termasuk ujian nasional, pemberantasan korupsi dana pendidikan, dan sebagainya adalah isyarat buruk peradaban modern dewasa ini dan menjadikan subyek garapan IPM menjadi lebih kompleks.

Maka, jika bukan kaum pelajar yang menyuarakan perlawanan atas ketidakadilan dan system undemocratic yang anti kemanusiaan maka kita sejatinya memberikan konstribusinya atas jejaring projek maha besar yang bernama: DEHUMANISASI dan DELIBERALISASI. Kita bisa memulainya dengan membangun kesadaran baru bahwa gerakan membaca adalah konstribusi besar kita menyelematkan bangsa setidaknya adalah mengurangi dampak “silent society” yang menjadikan keadilan dan kebenaran terkubur semakin dalam. Akhirnya, selamat milad IPM semoga terus mendobrak kebobrokan berfikir dan tragesi nol baca untuk pembebasan manusia Indonesia.[]

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK