Friday, October 5, 2012

Membaca: Strategi Tepat Guna Melawan Konservatisme

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Dalam pemahaman sederhana saya, melek huruf tidak berarti melek baca. Artinya kemampuan  membaca dan  menulis tidak serta merta diikuti dengan semangat membaca dan menelaah berbagai materi bacaan (buku, majalah, Koran, dan sebagainya). Jadi, jangan bersenang-senang dulu jika kita berhasil menurunkan angka buta huruf di Indonesia kemudian kita merasa puas. Pembangunan manusia tidak selesai dengan memberantas buta huruf.

Fakta membuktikan bahwa tradisi emembaca cukup mewarnai tokoh-tokoh revolusi baik di Indonesia maupun di luar negeri.

 Sukarno, Bung Hatta, dan Tan Malaka adalah sedikit dari manusia Indonesia yang menginplementasikan hasil pembacaan (text-kontext) dalam melawan balik kolonialisme. Konsep-konsep barat didekuntruksi dan dikawinkan dengan aspek dan nilai-nilai lokalitas untuk memperkuat bangunan pengetahuan dan militansi manusia Indonesia. Lalu, Sukarno memunculkan gagasan Trisakti yaitu pentingnya kepribadian, kemandirian, dan kedaulatan negara.

Membaca dan anti-konservatisme.
Banyak fakta memberikan ilustrasi bahwa kekurangan membaca menjadikan daya kritisi tumpul, pemikiran buntu (jumud) dan menjadikan seseorang tertutup atas kebenaran lain (closed minded) sehingga seringkali menolak dialog menegasikan kemungkinan alternative. Ujung  dari persoalan ini kemudian memantik kekerasan dalam berbagai situasi SARA. Dr. Zaenal Abidin Bagir mengatakan bahwa satu-satunya cara menjadikan kita kritis terhadap situasi adalah dengan membaca. Bekerja keras membaca adalah salah satu strategi ampuh menggempur kejumudan berfikir.

Hal ini sudah diajarkan oleh Aristotele dengan terus bertanya atas situasi yang ada. Bagi dia tidak ada kebenaran final yang diciptakan manusia sebab kebenaran itu sendiri dinamis. Kebenaran itu tidak lain dan tidak bukan adalah kekeliruan yang belum teruji. Jika kita memegang teguh kebenaran semu maka tentu akan mengalami kemandegan intelektual.

 Taruhlah contoh, Peter Berger membuat thesis tentang masyarakat sekuler dimana pengaruh agama-agama di masa depan akan semakin melemah diruang publik. Situasi justru mengatakan sebaliknya dan dia pun tidak keberana untuk mengatakan bahwa teorinya sudah using (out of date). Dari sini kita memahami bahwa di kalangan intelektual Barat mempunyai tradisi self-critique yang cukup kuat sehingga ilmu pengetahuan menjadi dinamis.

Namun demikian, bisa jadi banyak orang membaca  tetapi cukup eklusif yaitu emmbaca materi-materi yang hanya sepaham dan seideologi sehingga menjadi seperti ‘katak dalam tempurung’ sehingga hasanah pengetahuan lain tercampakkan karena ego keyakinan sesaat. Keyakinan ideologis memang terus diperdebatkan terkait penerimaan kelompok agama tertentu terhadap pengetahuan yang berasal dari dunia lain (contoh: budaya asing, westernisasi). Hal ini memang masih menjangkiti sebagian komunitas sehingga upaya untuk mendamaikan ilmu barat dan timur menjadi keniscayaan. Tuhan saja, menurut penganut islam tidak berada di Barat atau Timur, utara atau selatan tetapi meliputi dan eksis di segala penjuru sehingga ilmu pun demikian, tidak bisa didikotomikan sebagai ilmu agama dan ilmu umum/sekuler atau ilmu islam dan non-islam. Ini adalah pendangkalan ilmu secara berlebihan. 

Pertanyaan kemudian adalah bagaimana tradisi membaca dapat mendobrak kejumudan pikiran masyarakat?
 Pertama, buku harus ditempatkan sebagai sumber pengetahuan yang kebenarannya dapat didialogkan dan dinamis. Kedua, buku adalah produk yang tidak pernah 100 persen terlepas dari subjektifitas sehingga harus mencari alternatif bacaan guna melengkapi pengetahuan. Ketiga, tradisi membaca dan menulis harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat ilmu yang

Catatan Penutup
Bahwa sebuah masyarakat akan bergerak maju apabila ilmu pengetahuan menjadi bagian hidup dan terrefleksikan dalam kegiatan sehari-hari. Masyarakat ilmu yang dicita-citakan adalah masyarakat ilmu yang terintegariskan dalam ruang privat sebagai kebenaran dialogis dan tidak menjadikan masyarakat jumud dan terkungkung oleh keyakinan akan kebenarans semu (false consciousness). 
Masyarakat ilmu yang dilandasi oleh nilai-nilai keadilan dan keyakina n pentingnya memanusikan manusia. Hal ini berarti, ilmu dan agama tidak konfrontasi dan justru damai dalam satu kebaikan umum

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK