Tuesday, October 20, 2015

Orang-Orang mercusuar

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah, Pegiat RBK
Seperti berteriak di atas mercusuar atau di sudut pasar. Di temani beberapa merpati yang melembut di cakrawala, atau di temani beberapa pendengar setia. Sudamardji menengok di sekelilingnya. Beberapa temannya sudah merantau ke kota. Sudarmadji tahu, melebihi segala yang diketahui oleh perangkat desa di tempatnya membesar—dan mungkin sebentar lagi dia akan dipaksa membusuk. Mereka pergi bukan karena ingin menguji kerasnya kota, melainkan kerasnya tanah di desa tak sanggup untuk air setetes. Sekeras-kerasnya kota, tanah desa yang membatu adalah kepedihan.
Sudarmadji tak bisa lagi berharap bak seorang pengkhotbah di mercusuar. Kawan-kawannya, si Ismail, Yono, dan Faisal berikrar untuk turun gunung. “Jangan kau cegah tekat bulat kami Dji. Pak Yos sudah ikut rapat bareng orang-orang kota itu. Sebentar lagi desa kita cuma sejarah, yang penting jangan lupa untuk cerita ke anak-cucu kita.” Si Faisal menjelaskan.
Matahari sejak pagi dan siang merambat sangat cepat. Panasnya membakar kulit cokelat Sudarmadji. Di antara tanah kering dia mencoba peruntungan. Menanam jagung dan Ubi. Ikhtiar yang sama dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Bantuan air dari pemerintah daerah tiga bulan lalu tak memecahkan persoalan. Itu hanya menghambat tanah meretak di desanya. Ketakutan meracuni pikirannya. Sudarmadji sebenarnya memiliki seorang sahabat bernama Kartubi. Pemuda itu, seorang lulusan SD yang dikenalnya sejak dulu berkoar-koar kepada kepada dukuh untuk menghalangi sebuah pabrik di dekat muara sungai desa.
Kartubi, seorang pemuda pendiam, tak banyak bicara. Bahkan dalam teriakannya pun hanya sayup dan kerongkongan tipis. Kepada para pemuda, termasuk Sudarmadji, Kartubi berulangkali berkata “kalau ada pabrik dekat sungai, nanti airnya jadi kotor”. Sudarmadji mengakui kesimpulan Kartubi saat itu, akan tetapi sembari mengajukan satu pertanyaan. “Ya, tapi mo gimana lagi Kar. Kamu ngak liat di TV kalo menurut seorang peneliti bahaya limbah pabrik itu ngak seberapa?”. Sudarmadji ingat betul saat itu Kartubi terdiam. Sorot matanya tajam menatap sawah di depan jalan. Dia tak mampu berkata. Mungkin saja dia merasa tak mampu menjawab perkataan si peneliti itu. Batin Sudarmadji. Toh, nyali Kartubi sudah menciut saat dirinya dituduh memberontak, seorang komunis hanya karena bicara soal sungai yang akan kotor.
Seolah-olah perangai baik Kartubi tak berkuasa di atas semua tuduhan itu. Seketika ada kelupaan kepada sang muadzin sekaligus imam sholat shubuh itu. Sudarmadji mengenang Kartubi sekali lagi. Ingatannya juga mengenang sahabatnya yang merantau ke kota. Dia merasa tengah berteriak di atas mercusuar. Hanya ditemani beberapa orang yang sekarang pergi. Dan burung yang tak mungkin ada. Serta air yang lupa pada warna beningnya. Kami seperti lelahnya teriakan orang-orang mercusuar.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK