Tuesday, October 20, 2015

Nyanyi Sunyi 50 Tahun Pasca 1965

Terlepas dari kontroversialnya data yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa G-30-S, suatu urgensi lain mengemuka. Pasca runtuhnya rezim orde baru, hal apa yang seharusnya kembali dimaknai oleh rakyat Indonesia?. Hal itu yang mendorong saya dan kawan-kawan di Rumah Baca Komunitas untuk membicarakan tentang Gerakan 30 September sebagai dalih pembunuhan massal. Salah-satu alasan utama mengapa pembicaraan mengenai pembunuhan massal tidak dapat disepelekan ini berkaitan dengan proses rekonstruksi identitas kebangsaan. Meskipun begitu, suatu hal yang seringkali menguras tenaga adalah soal apakah dengan membahas pembunuhan massal 1965 seseorang termasuk dalam kategori Pro-PKI atau Anti-PKI (John Roosa, 2008).
Sebelum memulai pembicaraan yang reflektif, ada baiknya diungkapkan beberapa alasan mendasar mengapa penting untuk membahas peristiwa G-30-S. Alasan pertama, G-30-S bukan satu-satunya sejarah pemberontakan di Indonesia. Konteks historis mengenai perpolitikan di Indonesia menyatakan bahwa G-30-S bukan suatu peristiwa politik tunggal. Alasan kedua, ketika membahas mengenai G-30-S tidak serta merta menunjukkan posisi politis dan ideologis. Kajian yang melatarbelakang G-30-S digerakkan oleh sebuah pencarian identitas bangsa. Persis pada momen ini, kajian yang jujur terhadap G-30-S, meskipun tidak merupakan satu-satunya topik, tetapi menjadi salah-satu tangga penting untuk merekonstruksi identitas baru. Alasan ketiga, secara umum, model otoritarian yang laten dimiliki oleh PKI tidak dapat diterima menurut pertimbangan rasional, tetapi itu tidak serta menjadi dalih untuk membenarkan proses pembunuhan massal. Alasan keempat, generasi baru Indonesia, yang telah tercerabut dari sejarah bangsanya sendiri, penting untuk mengetahui tentang kebenaran tak tunggal dari informasi historis mengenai G-30-S.
Alasan kelima, sebagai sesuatu yang tidak kurang penting adalah mengetahui motif ekonomi politik di balik peristiwa pembunuhan massal. Dalih kudeta dan peristiwa misterius di balik kematian Dewan Jenderal apakah dapat diterima sembari kontroversi terhadap data baik di persidangan Mahmilub tahun 1970an atau dokumen sejarah Indonesia tidak dapat dijelaskan?. Lima alasan ini tidak berkaitan sama sekali dengan sikap politik atau ideologis untuk Pro-PKI atau Anti-PKI. Tetapi sebagai cara generasi baru untuk berdialog dengan sejarah bangsanya sendiri. Tentu saja, perkembangan diskursus, dan transformasi sosial tertentu telah menciptakan suatu ruang dialektika yang berbeda.
Menyanyi Sunyi Kembali?
Harapan bagi bangsa yang jujur dengan sejarahnya sendiri adalah kemampuannya dalam menciptakan kemungkinan terbaik bagi kemanusiaan. Pasca pembungkaman terhadap narasi sejarah misalnya diikuti oleh kontrol politik terhadap ruang dialektika, seperti pelarangan penerbitan buku Marxisme yang tetap bertahan hingga keruntuhan orde baru. Kematian petani yang mempertahankan tanahnya, perlakuan militer yang melangkahi batas kemanusiaan serta reproduksi kebencian terhadap kelompok marjinal apakah sebuah bentuk orkestra sunyi yang hendak dipertunjukkan kembali?. Terdapat lima topik yang berkembang selama kami berdiskusi di RBK dalam rangka merefleksikan pertanyaan itu.
Pertama, soal historiografi Indonesia. Topik diskusi yang pertama ini lebih banyak berkaitan dengan konteks bagaimana literatur sejarah Indonesia versi rezim membentuk kesadaran tertentu mengenai apa yang sebenarnya disebut sebagai “masyarakat baik” dan “masyarakat buruk”. Separasi antara dua kategori masyarakat ini banyak berasal dari bagaimana narasi sejarah membentuk kesadaran seorang warga negara dalam proses peleburan identitas diri dengan narasi sejarah. Apa yang terjadi hari ini merefleksikan bagaimana masyarakat memaknai sejarah yang melatarbelakangi proses kehidupan masyarakat lampau.
Kedua, soal menggali kembali nilai-nilai dan identitas bangsa. Topik ini sebenarnya banyak berkembang dari tesis besar Max Lane bahwa proses pembentukan identitas bangsa Indonesia belum selesai (Max Lane, 2014). Proses pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa tidak dimonopoli oleh satu pihak. Proses pembentukan Indonesia dilakukan oleh aksi massa yang dilatarbelakangi oleh sikap antikolonialisme. Partisipasi rakyat di dalam proses pembentukan bangsa merupakan informasi sejarah yang tidak dapat diabaikan.
Ketiga, mempertanyakan secara kritis proses pembentukan identitas bangsa yang berubah sejak tahun 1965. Menurut Roosa, salah-satu hal penting yang tidak dapat dilupakan dari peristwa 1965 adalah pergeseran identitas bangsa. Roosa menyatakan sebelum tahun 1965, identitas bangsa Indonesia banyak dibentuk oleh sikap antikolonialisme. Bersamaan dengan itu, sikap anti neoliberalisme ekonomi menguat, dan pergerakan mendukung land reform di Indonesia berjalan massif. Peristiwa 1965, secara taktis dan misterius menjadi jalan untuk melenyapkan sikap anti neoliberalisme dalam kebijakan ekonomi serta proses gerakan land reform.
Keempat, mendorong ekonomi politik berkelanjutan sebagai tanggungjawab historis. Lenyapnya sikap anti neoliberalisme dalam diskursus ekonomi politik di Indonesia membawa dampak buruk tidak saja bagi perubahan struktur sosial. Melainkan juga membawa dampak langsung terhadap kerusakan alam. Industrialisasi yang telah merusak kualitas ekologis beberapa tempat Indonesia telah menjadi jembatan untuk mengawali eksploitasi kekayaan ekologis Indonesia di Papua. Hal ini disebabkan oleh sifat eksploitatif industri yang memandang alam sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan manusia ekonomi.
Kelima, mencari model perdamaian partisipatoris. Rekonsiliasi adalah simbol dari kejujuran dalam menimbang masa depan bangsa. Rekonsiliasi merupakan salah-satu tangga untuk membuka kesempatan berbagai orang untuk mendeskripsikan dirinya secara bebas, adil, dan merdeka. Meskipun bukan satu-satunya persoalan kekerasan yang harus segera ditangani, rekonsiliasi terhadap korban 1965 akan mengubah cara pandang Indonesia terhadap masa depannya. Tentu saja ini tidak berurusan dengan soal “mari lupakan masa lalu, kita menatap masa depan saja”. Melainkan berurusan dengan, kenyataan bahwa proses kekerasan yang terjadi hari ini direproduksi terus-menerus melalui suatu kebencian terhadap label “komunis” atau “pemberontak”. Apakah dengan mengatakan “lupakan kekhilafan rezim masa lalu” dengan serta merta menutup mata bagaimana rakyat kecil menjadi tersangka atas proses penuntutan haknya sendiri?.
*Tulisan ini merupakan rangkuman Diskusi Jum’at Sore (DeJure) Rumah Baca Komunitas tanggal 2 Oktober 2015.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK