Tuesday, October 20, 2015

Pelaku Pelaku Pandora

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Pemeritah yang akhir-akhir ini banyak menyerukan mulai terdengar kosong. Kalau itu ibarat sirup merah, mungkin hanya ginju. “Agar kita tidak membosankan, selain banyak bicara, bekerja juga harus bisa.” Begitu kata si Kasmir kepada Bonijan karena kesal dengan seruan pemerintah untuk “menjaga lingkungan” di koran. Kasmir, pria tua yang sehari-hari senang melucu dan bahagia. Pakaiannya hanya tiga pasang; satu untuk keperluan sholat, satu untuk keperluan ke sawah—yang juga merangkap pakaian sehari-hari, dan satunya lagi sebuah kaos pemberian kawannya. Tiga-tiganya sebenarnya tak berbeda. Baju keperluan sholat adalah koko yang diperolehnya dari hadiah seorang sanak yang kebetulan berkunjung sekitar dua tahun lalu. Warna sebenarnya putih polos, tetapi belakangan ini sedikit krem.
Kasmir bukan pria tua yang miskin. Dia sebenarnya punya sedikit tanah, sebenarnya “banyak” kalau tak dirampas untuk keperluan area latihan militer. Musababnya pun dia tak ingat, waktu itu dia cuma dibilang “ini tanah sejak zaman dulu udah dipake untuk kamp tentara pak” oleh seorang anak muda berbadan tegap. Dia tak tahu menahu tentang kemiliteran. Apa pangkatnya, kontribusinya, serta mengapa mereka penting. Dia sama sekali tak tahu. Sepanjang yang dia tahu, militer mengambil tanahnya yang indah mencium ombak karena nyaris tepat di pesisir pantai.
Pasca pengambilan tanah itu, kehidupan Kasmir biasa saja. Meskipun ada perasaan ganjil dalam hati. Coba kalau Salim masih hidup, tentu dia bisa jadi teman curhat pikirnya. Salim, teman Kasmir tiga bulan lalu ke Jakarta bersama rekan-rekan yang lain. Mereka mengadu soal tanah yang dirampas untuk keperluan tambang. Salim adalah warga desa sebelah yang konon menyimpan kekayaan tambang di dasar bumi. Mengingat Salim, air mata Kasmir menetes. Diri periangnya tiba-tiba melankolis. “Oh Salim, coba para preman itu ngak bunuh dirimu. Kowe kuwi orang biasa wae kok dipateni” desah Kasmir. Bonijan yang sedari tadi menemai Kasmir minum kopi melihat air mata menetes dari Kasmir. Rasanya, Bonijan ingin terkekeh, sebab muka Kasmir sama sekali tak pantas untuk air mata. Wajah kotaknya lebih mirip seorang berhati keras.
Salim sebulan yang lalu meregang nyawanya. Si Topik sama Polim, dua preman desa menggebukinya sampai mati. Kasmir tak tahu kenapa dua preman itu bisa demikian kejam. “Wong karo wong kok iso main bunuh-bunuhan, koyok rak bakal mati wae” Lagi-lagi batinnya bergejolak tanya. Bonijan yang tak sabar menunggu Kasmir kelamaan merenung dan bersedih ikut angkat bicara.
“Pak, sebenarnya ini ada masalah apa?”. Kasmir menata Bonijan, pikirannya justru makin melayang pada suatu masa depan yang tak akan indah untuk anak muda seperti Bonijan. Dia berpikir sejenak, meskipun dia bingung akan bicara pesimis atau optimis.
“Ya, nanti juga kamu bakalan sadar, saya sendiri belum tahu ini rasanya gimana”. Kasmir, meneguk kopinya sedikit. Meski panas tak lagi bertuah di air. Kasmir benar-benar seorang tua yang tidak banyak tahu harus bilang apa jika ditanya. Satu-satunya yang disadarinya adalah bahwa, setelah si Salim wafat, beberapa tanah tiba-tiba sudah dipalang oleh tentaran. Anak-anak muda itu, yang berpakai loreng dan bertatap arogan tak mampu dilawannya.
Dia mengingat waktu seorang anak muda berpakaian loreng hijau itu mencoba menggertaknya, “kalau bapak macam-macam kita ngak segan-segan. Ini soal pertahanan negara pak. Negara sekarang sedang gawat.” Kasmir saat itu mengkerutkan dahinya. Entah harus bangga patriotis atau melemah meringgis. Itu tanahnya, kalau untuk kebutuhan negara, mengapa tidak minta baik-baik?. Lagipula, Kasmir tak tahu apa itu negara, yang dia mengerti bahwa ada seseorang yang disebut sebagai presiden, nah dia itu kepala Negara. Selebihnya dia tak merasakan efeknya.
Waktu dia nyaris mati karena terserang DBD, dia hanya minta tolong ke Mira seorang anak tetangga untuk memanggilkan mantri. Dia sulit menentukan mana yang telah menolongnya di masa gawat itu. Mira, atau Negara. Dia tambah bingung. Bonijan menunggu Kasmir lagi. Dan malam yang kian gerah itu seperti menjadi saksi kerumitan. Sebuah pandora yang tak jelas pelakunya.
Bonijan, “Pak, gimana pak?”. Kasmir bingung lagi.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK