Thursday, October 8, 2015

Kota dan ekpresi Manusianya

Oleh Lutfi Zahwar Lupet, pegiat RBK
Kota-kota berulang tahun. Ucapan-ucapan selamat bertebaran di media sosial tak lupa disertai foto-foto romantis keindahan kota yang syahdu. Baru saja Jogja bertambah umur, "sugeng ambal warsa ke 259 Jogjaku tercinta," begitu tulis seorang sahabatku di akun miliknya. Siapa yang pernah ke Jogja pasti akrab dengan ikon kota budaya itu selain Malioboro, Tugu. Foto Tugu Jogja dengan caption ucapan selamat yang paling banyak diunggah. Dan melalui foto, Tugu selalu lebih romantis daripada kenyataannya.
Kota-kota yang berulang tahun selalu penuh dengan perayaan, festival, pawai, dan pesta. Suasana riuh, ramai, gemebyar, dan tak jarang macet selalu mewarnai kota yang merias dirinya di hari ulang tahunnya. Tapi sejauh mana sebetulnya kita bersungguh-sungguh memaknai kota?
Seorang teman dalam sambutan ulang tahun komunitas yang dibesarkannya menyampaikan, ulang tahun adalah momen refleksi untuk menengok kembali ke belakang sambil mempersiapkan diri untuk menyusuri masa depan. Lalu sejauh manakah kita bersungguh-sungguh dengan sejarah?
Enam tahun yang lalu pertama kali menetap di Jogja aku masih ingat, Jogja belum semacet dan sesemrawut sekarang. Kini apa yang tinggal? Jalan-jalan dipenuhi baliho, hotel, dan apartemen di sana-sini mulai berdiri alasannya untuk mendatangkan wisatawan dan menambah pendapatan asli daerah. Pembangunan hotel dan apartemen bukan tanpa masalah, beberapa kali warga mengadakan protes penentangan, protes mereka dianggap angin lalu kalah oleh derap modal yang menderu.
Pembaruan seperti biasa, terutama dalam satu dekade terakhir ini, telah mengambil alih arsitektur dan mengubah wajah kota. Mereka yang baru saja memperoleh kekayaan, merebut tampuk kekuasaan, telah merombak dan membongkar apa yang tak lagi memikat dan dianggap tak modern. Mereka mencari lambang kemajuan, meskipun yang di dapat kekacauan, kekisruhan. Mereka mengejar status tak peduli berapapun ongkos sosial yang perlu dibayar. Kita barangkali adalah masyarakat yang latah, bahwa kemajuan dan kesejahteraan sebuah kota, kita hitung dengan berapa jumlah restoran cepat saji, mall, hotel, yang berdiri.
Orang-orang kaya baru itu begitu menentukan wajah baru sebuah kota. Di bulan April 1978 di Aiglemont, Gouvieux, Prancis sebuah seminar diadakan oleh Aga Khan untuk membahas arsitektur Islam. Dalam seminar itu banyak pembicaraan menyesali "ciri Islam" yang hilang pada kota dan bangunan baru di Timur Tengah kini. Di situ ikut seorang ahli sejarah arsitektur dari Turki, Dogan Kuban, yang menengahi perdebatan itu dengan mengingatkan, bahwa "arsitektur adalah sebuah profesi yang berorientasi pada klien, pada modal." Jika klien di Jogja menyenangi hotel, mall, apartemen yang kerap didaku sebagai simbol kemajuan, kowe mau dan bisa apa?
Terakhir untuk menutup catatan ini, apa yang dikatan Goenawan Mohamad terasa sangat relevan, "kekayaan yang sering mendadak, keleluasaan yang tersedia oleh harta itu, belum lagi bagian dari kepribadian. Kedudukan baru, kemegahan kemarin, masih mencoba-coba pelbagai gaya untuk tampil, untuk status. Belum ada koherensi dalam ekspresi keindahan. Bahkan keindahan itupun masih merupakan kerepotan yang datang belakangan. Dan keindahan yang mereka coba utarakan itu tidak ada sangkut pautnya dengan keindahan lama, apa mau dikata? Barangkali mereka masih gagap. Dalam kota bila yang tercermin adalah khaos, kerancuan norma-norma, mungkin di atas sana ada kebingungan, kegagapan di tengah kekuasaan dan kekayaan."

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK