Thursday, October 8, 2015

Memaknai HUT Jogjakarta

Abdullah Zed Munabari, Pegiat RBK

Saya pun merasakan hal yg sama saat satu hari full kemarin. Saat kebanyakan orang mengupdate status socmed nya utk mengucapkan selamat HUT Jogja (pendatang atau warga asli)..saya sama sekali tdk merasakan getaran apa" yg memicu saya utk ikut mengucapkan itu. Barangkali benar apa yg dikatakan lupet, ini tentang pemaknaan terhadap sebuah satuan wilayah (kota dlm konteks ini). Begitu banyak aspek yang bisa menjadi indikator sebuah kota itu layak tinggal dan lebih jauh lagi dicintai dan dipuja puja (jogja dlm konteks ini). Jujur saya sempat agak geli saat orang" mengupload foto tokoh" yg berkomentar tentang jogja seperti najwa, sujiwo tedjo, anies baswedan dll. Geli kenapa? Karena komentar itu diupload dan dimaknai sebagai sebuah romantisme yg membuat kita lupa pada apa dan bagaimana sesungguhnya kondisi Jogja sekarang.

Provinsi dimana terjadi banyak konflik agraria dan perebuatan ruang kota (baliho/ruang udara dan apartemen hotel/ruang daratan). Ditambah lagi pemimpin provinsi yang sibuk mencari cara mempertahankan kekuasaan nya dgn upaya merubah adat/kesepakatan lama agar anaknya yang perempuan bisa meneruskan kekuasaan nya. Lalu adik dan keluarganya yang menolak dgn dalih itu merusak tatanan budaya dan agama walau disisi lain dgn analisa politik tentu kita tau bahwa setelah sultan yang sekarang selesai maka penerusnya adalah adiknya (karena sultan tak punya anak lelaki). Dimana diskursus dan perdebatan tentang ruang kota dan masalah ground/tanah jogja? Perdebatan di keraton tentang perebutan kekuasaan di blow up sedemikian rupa hingga melupakan hal-hal yang lebih substansial.

Belum lagi perjuangan rakyat jogja (elit dan kelompok masyarakat) untuk membuat Jogja menjadi daerah istimewa yang berujung pada digolontorkan nya Dana Istimewa yang dalam implementasi nya belum berhasil mengangkat kesejahteraan rakyat. Lagi-lagi uang Danais terserap sebagian besar untuk kegiatan-kegiatan kebudayaan (saya masih bingung sebenarnya apa itu budaya) seperti jatilan dll. Pulang melakukan kegiatan kebudayaan tetap saja yang miskin tetap miskin, keluarga berkelahi karena ekonomi, angka kriminalitas tdk turun, yang mencuri juga tetap mencuri. Saya benar-benar muak dgn argumen-argumen "Kita sudah lepas dari akar kebudayaan kita, kita lupa pada budaya kita, kita telah dijejali budaya barat, kita kehilangan identitas kita karena kita meninggalkan budaya kita". Saya cukup muak menjumpai istilah budaya dipakai untuk hal seperti ini. 

Apa itu budaya? Apa itu budaya lokal? Apa korelasinya dengan identitas kita? Apa suatu adat lama itu selalu menjamin kebaikan? Apa budaya hanya sekadar tarian, nyanyian, dan lukisan?

Yaahh apa mau dikata, prosesi ulang taun sekarang bagi individu-individu atau komunitas/organisasi (jogja dlm konteks ini) telah ter-distorsi menjadi sebuah prosesi pesta pora menghamburkan uang, ajang selfie, ajang pengkonfirmasian status sosial dgn hadir ke acara ulang taun dgn style se hits dan sekece mungkin. Inilah bencana terbesar dari sebuah prosesi ulang taun. Jadi masuk akal kenapa kelompok agama puritan yang menolak merayakan ulang taun. Ternyata ada benarnya juga mereka.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK