Thursday, September 3, 2015

Refleksi Sekolah Literasi (Bagian 1)


Lutfi Zahwar, pegiat Podjok Batca

Sekolah Literasi pertama yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Komunitas (selanjutnya disebut RBK) berakhir senin 31 Agustus 2015 dengan materi Praksis Advokasi Gerakan Literasi Terhadap Kaum Tertindas yang difasilitatori oleh Kang Dwi Cipta dari Gerakan Literasi Literasi menorehkan bekas yang dalam pada diri saya. Bekas yang mendalam itu yang kemudian membuat saya memutuskan untuk membuat refleksi singkat tentang Sekolah Literasi yang saya ikuti di RBK.
Menyesal rasanya tidak bisa mengikuti Sekolah Literasi dari pertemuan pertama tanggal 21 Agustus karena masih berada di Kediri. Tetapi beruntung saya bisa mengikuti kelas kedua sampai kelas terakhir. Sekaligus saya mendapatkan kesempatan yang tidak terduga untuk menjadi salah satu fasilitator di kelas ketiga karena David Efendi yang seharusnya menjadi fasilitator mengikuti konferensi di Davao, Filipina.
Menjadi fasilitator tentu saja memberikan banyak pelajaran bahwa saya masih harus banyak belajar. Untung saja waktu itu ada Ahmad Sarkawiyang membantu menjelaskan dengan cukup detail latar belakang lahirnya RBK serta nilai-nilai apa yang diperjuangkan. Menurut Om Wiek, panggilan Ahmad Sarkawi di RBK lahir karena adanya semangat untuk berbagi. Membuka akses seluas-luasnya bagi siapapun untuk bisa mengakses pengetahuan. Menjadikan buku sebagai kepemilikan pribadi menjadi milik bersama di komunitas. Buku yang sebelumnya privat disosialkan.
Om Wiek juga menjelaskan bahwa dalam perjalanan keberadaan RBK yang saat ini sudah berumur tiga tahun. RBK sempat mengalami beberapa transformasi gerakan untuk menemukan formula gerakan yang lebih pas guna menjadi gerakan literasi yang transformatif. Di periode kedua ketika di Jalan Paris (selanjutnya disebut mahzab paris) RBK mengorientasikan keberpihakannya pada kaum-kaum marjinal yang disisihkan oleh masyarakat. RBK membuka diri seluas-luasnya kepada kelompok-kelompok waria, anak gelandangan, dan pekerja seks komersial untuk mendapatkan bahan bacaan, akses pada ilmu pengetahuan. Sedangkan di saat yang sama perpustakaan negara melakukan diskriminasi terhadap mereka. RBK ingin memperlakukan mereka sebagai layaknya manusia, tidak melakukan diskriminasi.
Kemudian apa yang membedakan RBK dengan taman baca-taman baca pada umumnya. Dalam diskusi di Podjok Batja, Cak Daviid pernah menyinggung bahwa gerakan yang diinisiasi di RBK adalah model gerakan baru yang memberikan nafas baru dalam gerakan literasi. Ia menyebutnya sebagai gerakan post taman baca yang hanya menyediakan buku. RBK dengan mengusung dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan, anti diskriminasi, anti kekerasan, berpihak pada mereka yang tertindas tidak saja menyediakan buku untuk bisa diakses. Namun juga secara rutin mengadakan diskusi rutin dua kali seminggu, Diskusi Reboan dan Diskusi Jumat Sore (DeJure) yang banyak mengangkat isu-isu tentang nilai-nilai yang diusungnya.
Tentang Gerakan Post Taman Baca yang disebut oleh David Efendi.Fauzan Anwar Sandiah dalam kelas kedua dalam Sekolah Literasi yang mengangkat topik Dinamika Gerakan Literasi. Sayang dalam pertemuan itu saya datang terlambat sehingga tidak bisa mengikuti dari awal penjelasan menarik dari Fauzan tentang dinamika gerakan literasi. Namun beruntung malam harinya saya berkesempatan mengulang materi yang disampaikan sambil berbincang santai di kafe. Fauzan membagi dinamika gerakan literasi menjadi tiga bagian penting. Pertama gerakan literasi yang berfokus pada meningkatkan minat baca masyarakat. Kritik Fauzan Anwar Sandiah terhadap gerakan ini selain karena tidak kontekstual dengan realitas sosial yang dihadapi masyarakat, bahkan kerap kali dijadikan lahan basah proyek bagi yang berkuasa untuk mengeruk keuntungan. Kedua, gerakan literasi yang berorientasi pada pengembangan dan peningkatan skill, misal saja pelatihan komputer, membaca dan menyusun laporan keuangan.
Tentu saja gerakan itu bagus apalagi jika sesuai konteks dan kebutuhan masyarakat dalam sistem ekonomi yang berkembang seperti sekarang. Namun lebih penting lagi jika tahap kedua itu dilanjutkan ke tahap ketiga, gerakan literasi kritis transformatif. Sebab kalau tidak gerakan literasi model kedua hanya akan menyediakan tenaga terampil yang akan menjadi penopang sistem kehidupan yang instrumentalistik industrial. Gerakan literasi model ini tidak hanya berorientasi, meminjam istilah Karlina Supelli, memproduksi manusia yang semata-mata mampu survive, beradaptasi dengan lingkungan demi keselamatan diri. Melainkan menumbuhkan pemikiran baru, merangsang pemikiran kritis. Ini adalah kemampuan khas manusia untuk mengkreasi budayanya, menangani realitas, menambahkan hal-hal baru, bahkan mengubahnya.
Sebagai model gerakan literasi post taman baca, RBK ingin menjadi tempat disemainya model pendidikan dan pembelajaran gaya baru. Seperti dikatakan David, gagasan sekolah literasi yang diadakan RBK bukan didesain untuk teknikalisasi atau fabrikasi komunitas yang rentan dengan proses mekanistik yang tidak apresiatif kreatifitas dan proses evolusi ilmiah. Mendesain dan mempraktikkan model belajar manusiawi dengan interaksi non doktriner serta menghargai keragaman peserta belajar. Sekaligus membuat Model gerakan literasi seperti itulah yang dalam pandangan saya akan membuka dan menumbuhkembangkan pemahaman kritis mengenai permasalahan apa yang terjadi, kenapa bisa terjadi, dan bagaimana kemungkinan upaya pemecahan yang bisa dikerjakan dalam dunia ini terus berubah. Sekaligus membuat dunia tempat kita hidup mendapatkan kehadiran seseorang yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya.

Proses seperti ini akan menjadikan gerakan literasi model baru seperti RBK sebagai tempat berdialog dengan realitas, bukan semata-mata pengalihan pengetahuan tentang realitas. Pemahaman dialogis ini juga berarti pelibatan subyek di dalam membentuk sejarahnya sendiri. Melalui proses berdialog dengan realitas, seseorang akan mampu merekonstruksi dan merevisi kepemahamannya mengenai dunia secara terus menerus. Ia akan lahir sebagai mahluk yang terus menerus mencipta diri, atau secara sederhana, mahluk pembelajar seumur hidup. Dari proses inilah lahir subyek otonom yang tidak lepas dari konteks sosial-kulturalnya, dan konteks kehidupan secara menyeluruh.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK