Monday, September 28, 2015

Antropologi Dompet (1)

David Efendi

Pada awalnya ini catatan ihwal sabuk dan dompet bermula dari obrolan di perjalanan dari kediri menuju mandiun dan dilanjutkan lagi dari madiun menuju kota Yogyakarta. Perjalanan ini merupakan bagian dari piknik literasi keluarga RBK yang menghadiri pernikahan salah satu sahabat pegiat literasi, Azaki Khoiruddin, yang melangsungkan akad dan walimah di kampung Siman, Ponorogo pada 12 September 2015. Acara diadakan pada malam hari. Dingin dan penuh subtansi tausyiyah dan doa. Acara model kampung ini sama persis dengan apa yang ada di kampung saya, di Lamongan. Betul mungkin karena sama-sama jawa timur sehingga tak ada perbedaan kebudayaan dan adat istiadat. Seusai resepsi, kami pun berenam malaju menuju kediri nan sejuk—menuju rumah kediaman pegiat RBK, om Lupet. Tentu dia sangat gembira kita membersamainya ke kampung halaman.

Karena sudah terencana, saya pun asik juga. Sejak tiba di madiun sudah dijamu oleh keluarga Dolah dengan makanan middle east dan beragam buah. Itu pun ditambah acara berenang di hotel yang terletak di samping rumahnya. Perjalanan yang sangat asik bagi saya bareng anak-anak muda yang penuh visi dan kesungguhan dalam berkiprah dalam masing-masing dunianya. Ada yang aktif di dunia gerakan mahasiswa, gerakan pelajar, gerakan literasi, komunitas, peneliti dan sebagainya. Ini merupakan kesempatan langka dalam hidup saya. Aku pun gembira dalam berinteraksi selama ini. Apresiasi merupakan kunci utama untuk mendambah bahagia lahir bathin. Setelah ini nampaknya perlu kita straight forward untuk ngomongin perihal dompet dan sabuk.     
Pada mulanya tak terpikirkan untuk bicara ‘serius’ soal sabuk dan dompet. Reflek saja gara-gara dolah ‘kehilangan’ dompet dan hal serupa sebenarnya menimpah banyak orang. Bukan hilang, tapi terlalu sering lupa menaruh. Panik acapkali menjadi ekpresi paling masuk akal. Yapp. Itu belum lama menimpah dolah dan aku menyaksikan sendiri dia pegang kepala dan sumpah aku bersaksi: dolah seperti orang yang ditolak lamaran kerjanya atau menyerupai orang yang putus cinta.  Lah ini benar-benar menjadikan saya ingin membincang dan memotret bagaimana orang-orang mempersepsikan dompet, makna, dan bagaimana interaksi dengan ‘barang kulit’ ini pada kehidupan kontemporer. Ya, sekedar membunuh waktu di perjalanan dengan mencoba menjadikan percakapan bertenaga. Tak ada yang tak punya komentar perihal dompet maupun sabuk. Ini point penting. Semua orang punya ‘pengalaman’ dengan dompet dan beserta cerita-cerita kecil yang unik. Topik yang punya detail ini menjadikan sangat ‘dahsyat’ apabila ditilik dari antropologi. Semua orang di mobil menjawi pewawancara dan sekaligus menjadi narasumber bagi lainnya. Ini bukan FGD tetapi ini lebih pada informal talk laiknya di kedai kopi di Sumatra atau angkringan kucing di Yogyakarta.   
“dompet itu pada awal kukenal lebih bersifat akseseris dari pada substantif”
“dompet warna hitam atau gelap itu maskulin....”
“saya kenal dompet sejak SD...”
“memilih dompet polos itu agar tak terkesan aksesoris.”
“dompet itu barang yang selalu melekat di saku celana...”
“satu jam saja taruh dompet di saku celana dah gatal rasanya. Lebih nyaman taruh dompet di saku tas.”
“...uang di dompet harus rapi.”
“ saya mengurutkan besaran nominal uang di dalam dompet.”
“saya menaruh uang receh di dompet.”
“di dompet khusus uang kertas. Receh ditaruh di luar dompet.”

Nah itu sepenggalan obrolan malam itu yang tercatat. Saya awalnya tidak berfikir warna hitam itu maskulin sebagaimana warna sabuk yang diakui oleh teman saya. Mungkin bagi orang tertentu ini aneh karena warna dompet ditandai dengan urusan maskulinitas atau fiminim. Tapi, inilah persepsi dan hasil konstruksi rezim ‘buntu’ yang memang merabah dalam kegalapan. Artinya, saya sendiri mengakui saya tak tahu dari mana arahnya pikiran ini mengapa dompet hitam atau gelap itu saya lebeli ini maskulin. Bisa saja, aku bukan sendirian dalam korban ketidaktahuana ini. Ini artinya juga, konsep diri dan kedirian belum cukup berdaya merespon sekeliling pikiran dan lingkungan. Tapi aku sendiri tak punya otoritas ngobrolin ini. Om sarkawi pasti bisa membantu asal muasl kontruksi salah kaprah ini? Dolah seringkali menyebut istilah false consciusness. Kejahatan filosofis atau kesesasatan epistimologis. Ya ini kejadian yang dapat dijadikan disertasi jika mau. Beneran. Ini bisa jadi disertasi. Kalau tak percaya ya saya memang tak bisa memaksakan cerita ini. Usulanku, ketika sampai pada halaman ini silakan temui om Sarkawi yang teman-teman RBK dah mengakui kedahsyatannya.
Kembali ke jalan yang rusak, eh ke jalan yang lurus. Ini agak ilmiah. Dompet secara garis besar dapat dibagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi aksesoris dan fungsi subtantif. Fungsi aksesoris tak perlu dibedah terlalu panjang lebar.  Namanya aksesoris, kehadirannya lebih pada atributif, fashhion, trendy, mengikuti perkembangan zaman dan yang penting juga keren. Hal ini terbukti salah satunya adalah ada pengakuan dari narasumber yang membeli dompet itu perlu ikut trend. Misalnya, dompet dengan begel tengkorak atau rantai yang menghubungkan dompet dan sabuk.
Fungsi subtantif meliputi sekuritas dan organizer. Kedua fungsi utama ini lebih dapat dilihat sebagai fungsi yang memberikan kemudahan bagi pemilik untuk menjadikan mudah dalam berurusan traksaksi dan administrasi.
Ini bukan hanya tentang saya, urusan dompet ini tentang banyak orang. Dari obrolan ringan dan panjang didapatkan banyak informasi. Salah satunya adalah mengenai usia berapa orang mengenal dompet. Ada yang di saat akhir semester kuliah baru memakai dompet yang sebenarnya, ada yang pada saat SMA dan ada yang sejak SD. Saya sendiri pada saat SMA yang tinggal tidak bersama orang tua. Anak saya yang pertama, sudah minta dompet saat TK dan menyimpan uangnya di dompet yang disembunyikannya sendiri. Yapp. Ada pergeseran generasi mengenai makna dompet dan bagaimana anak-anak berinteraksi dengan uang. Saya melihat anak-anak lebih awal mengenal uang bisa disebabkan karena kesibukan orang tua yang tak bisa melakukan transaksi terus menerus di dekat anaknya. Anak-anak sejak usia TK sekolah di tempat yang berbeda dengan orang tua sehingga secara otomatis anak-anak akan dibekali dengan uang jajan. Untuk alasan keamanan, dompet kemudian menjadi pilihan. Ada juga sekolah sekolah yang uang murid dipegang oleh guru atau fasilitatornya.
  
Seiring perkembangannya.tidka berbeda dengan dompet, Sabuk sendiri menjadi alat sekuritas atau alat pertahanan diri. Termasuk bagaimana dompet digunakan sebagai senjata untuk perkelaian. Trend sabuk dengan begel besar seperti besi, gear, dan beragam kepala sabuk yang mengerikan apabila digunakan menyakiti orang dalam festival pertempuran jalanan.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK