Thursday, May 7, 2015

Screening dan Diskusi Film (Reboan)

Merawat Perlawanan Malalui Alkinemokiye

Bantul – Rabu (5/6) setidaknya ada empat titik pemutaran film terkait eksploitasi di bumi pertiwi Indonesia pada hari tersebut, ELKiS dan kampus Sanata Dharma memutarkan Samin Vs Semen, salah satu komunitas di Yogyakarta yang memutarkan film Kala Benoa, dan Rumah Baca Komunitas memutarkan film keempat besutan Watchdog terkait eksploitasi kekeyaan alam Papua, setelah sebelumnya, RBK telah mengadakan pemutaran dan diskusi film Di belakang Hotel, Samin vs Semen dan Kala Benoa. Pemutaran dan diskusi film yang bertempat di Rumah Baca Komunitas (RBK) trsebut dihadiri oleh kurang lebih 20 mahasiswa dari kampus yang berbeda-beda dan juga dari komunitas yang beragam.

Film Alkinemokiye, yang konon adalah salah satu dari dua judul filmyang dilarang penyanganya di kampus Universitas Brawijaya ini, merupakan film  dokumenter yang mengambil setting di Timika, Papua. Menceritakan tentang pekerja-pekerja Freeport yang diberi upah rendah, yakni sekitar 3 juta sekian per bulannya. Selain upah yang rendah, buruh-buruh Freeport yang merupakan penduduk Papua ini tidak mendapat pesangon ketika pensiun, padahal, mereka dijanjikan untuk mendapat pensiunan ketika mengajukan pensiun. Selain itu, film juga mengambil setting demonstrasi pekerja Freeport yang berujung ricuh dimana aparat menembaki rakyat Papua dengan peluru hingga mengakibatkan seorang warga tewas dan beberapa lainnya luka berat akibat hujaman peluru aparat.
OPM juga tak luput dari setting film ini, dimana warga Papua mengadakan upacara memperingati 3 tahun kemerdekaan Papua.

Film yang berdurasi kurang lebih satu jam tersebut nampaknya berhasil membuat kegelisahan penontonnya membuncah, terbukti pada sesi diskusi usai pemutaran film terlihat para peserta saling sahut-menyahut mengemukakan kritik, analisis, asumsi juga keprihatinan yang mendalam terhadap yang mereka saksikan dalam film tersebut. La Ode, misalnya, peserta yang merupakan pegiat aktif RBK ini sampai terharu dan tak bisa menahan tangis, mengingat La Ode pernah benar-benar menjalani hidup di Papua.

Mula-mulanya bang Dolah sekalu moderator memantik teman-teman peserta dengan memberikan sedikit clue perihal pembangunan. Menurutnya, pembangunan selalu dari atas, tetapi tidak pernah melihat dari bawah,ironisnya, kedok dari pembangunan ialah rakyat. Kemudian La Ode melanjutkan tentang sejarah freeport senidri yang telah mulai bercokol sejak 1936 dimana Amerika menjadi pemegang kendalinya, bahkan Kennedy pun turut dibunuh  demi keabadian Freeport.

Analisa terhadap film ini kemudian disampaikan oleh peserta lainnnya, ia menyoroti terdapat empat isu yang diangkatdalam film ini, antara lain: Isu kenaikan upah pekerja, isu keamanan, kondisi pekerja pensiunan dan yang terakhir tentang aksi perlawanan. Film ini cukup mencover segala permasalahan terkait PT. Freeport di Timika, namun sayangnya ia tidak cover both side, seperti juga menyajikan wawancara langsung terhadap pihak Freeport dan pemerintah selaku pihak pro.
Sulit memang untuk menerkan-nerka tentang Freeport, kenapa pemerintah kita melakukan perpanjangan kontrak hingga 2041? Terlebih jika kita harus menawarkan apa solusinya begitu sulit karena mau tidak mau memang yang dilibatkan adalah elit kita sendiri dan korporasi asing seperti pada kasus pemberian upah yang tidak layak juga pesangon yang tidak sesuai janji, Indonesia tidak mungkin mampu membeli saham Freeport, bahkan, tidak ada korporasi manapun juga yang sanggup membeli. “Sementara jika kita ikut turun mendemo belum tentu juga selesai persoalan di akar rumput tersebut. “ Ujar salah satu akademisi UGM.

Kasus Freeport ini menurut Mas Awi, selaku direktur RBK, merupakan kasus pelanggaran HAM, dimana hak-hak hidup dan untuk mendapat kesejahteraan yang layak bagi penduduk Papua benar-benar dikebiri. Namun ada komentar juga bahwa disisi lain jika memframing isu Freeport sebagai isu HAM akan banyak penumpang gelap hadir untuk memanfaatkan kesempatan ini, seperti Australia, Belanda, UK yang telah memberi dukungan sejak lama atas nama kepedulian terhadap HAM, akan tetapi logika yang dibangun oleh negara-negara tersebut yakni Papua harus merdeka (lepas dari Indonesia) seperti Timor Leste.

Meskipun terbilang begitu imajinatif untuk menakhlukkan raksasa Freeport, akan tetapi melalui komunitas-komunitas seperti RBK tersebut kesadaran dapat mulai dibangun. Bahwa diskusi yang banyak orang hanya menganggapnya sebagai akrobat pikiran tersebut juga merupakan bagian dari perjuangan, “saya tahu bahwa jerawat itu jelek, karena melihat iklan-iklan di televisi. Maka seperti itu juga yang harus kita lakukan, menebar lebih banyak kegelisahan semacam ini agar terbangun kesadaran dan keberpihakan khususnya  di kalangan anak-anak muda,” ujar salah satu pegiat RBK.
Bagaimanapun, Papua adalah sayap kiri Garuda Indonesia, jika Timor Leste ibarat ekor yang putus, Jakarta ibarat kepala yang menunduk, Aceh ibarat sayap kanannya. Maka, betapa penting untuk menjaga Papua tetap berada di wilayah Indonesia, tambah La Ode di akhiar sesi.
Pak David, sebagai sesepuh RBK, menganggap hal yang serupa bahwa berdiskusi ialah bagian dari perlawanan itu sendiri, “maka bergeraklah seperti microba” pungkasnya.

Alkinemokiye sendiri adalah kata yang diadopsi dari bahasa asli suku Amungme, yang merupakan suku terbesar di Timika, Papua, berarti “usaha keras demi kehidupan yang lebih baik.” Film ini adalah hasil garapan Dandhy Dwi Laksono yang diproduksi sekitar tahun 2011 lalu. (reported by dew)


No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK