Sunday, August 9, 2015

Opini: Mencari Kanan Hijau



David Efendi, Pegiat Literasi di RBK


Warna hijau telah menjadi identitas dan simbol gerakan pro-lingkungan di dunia. Pada tahun 2010,  Ibrahim Abdul-Matin, seorang penulis asal Amerika mempublikasikan buku yang sangat penting dengan judul Green Deen: What Islam teach about protecting the planet. Karya ini lahir di tengah stigma buruk dunia Barat terhadap ummat islam pasca tragedi 9/11 yang menyudutkan dan menteror komunitas muslim khususnya di Amerika. Green Deen (agama hijau) yang dipromosikan penulis buku ini ingin menunjukkan fakta sisi lain Islam di Amerika yang telah berhasil mempraktikkan gaya hidup pro-lingkungan dan pengetahuan yang lengkap bagaimana menjaga keseimbangan alam dengan mendayagunakan pengetahuan yang ada. Bagaimana dengan perhatian ummat islam, atau umat beragama di Indonesia pada umumnya dan wabilkhusus gerakan Islam Modern Muhammadiyah terhadap persoalan lingkungan kontemporer? Artikel ini berusaha mengundang pembaca untuk memulai mendiskusikan bagaimana urusan ekologi seharusnya menjadi bagian pekerjaan rumah organisasi keagamaan. Kurangnya agamawan-aktifis ekologi menjadi persoalan yang butuh perhatian serius dari kalangan organisasi islam.

Pasca milineum baru, dunia dihentakkan dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global. Hal ini juga membangunkan kesadaran ekologis di berbagai kawasan baik dari unsur NGO (non-governmental organization) maupun pemerintahan. Kelompok agama Islam dapat dibilang kurang santer merespon problem ekologis yang melanda. Beberapa agamawan katolik dan budha merespon dengan beragam upaya penyelamatan seperti Tissa Balasuriya di Sri Langka,Mahatma Gandhi,  dan teolog ekologi asal Amerika Robert McAfee Brown dan Albert J Fritsch. Peran pembebasan dan keberpihakan terhadap alam semesta yang mereka lakukan ditambatkan pada kesadaran ideologis agamanya. Hal ini menjadikan gerakan ini jauh lebih kuat secara filosofis dibandingkan dengan kelompok “kiri hijau”—kelompok anti-kapitalis dan pro-komunitas Basis yang memperjuangkan bentuk pengelolaan sumber daya alam lewat moda-moda produksi sosialistis dan ekologis (Aditjondro, 2003).
Jihad konstitusi yang didengungkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan babak baru bagaimana organisasi islam merespon bencana ekologis yang meluas yang diakibatkan oleh salah urus sumber daya alam. Jihad yang dimaknai usaha sungguh-sungguh dengan mendayagunakan kemampuan yang ada untuk menegakkan apa yang diyakini. Dua Undang-Undang yang digugat oleh Muhammadiyah yaitu UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No.6 Tahun 2004 tentang  Sumber Daya Air merupakan manifestasi jihad ekologis yang sangat penting di abad kedua Muhammadiyah. Upaya ini beberapa tahun silam, tepatnya tahun 2005, di Muhammadiyah sudah melaunching buku fiqh air yang kemudian diterbitkan lagi di tahun 2015 sebagai bagian dari upaya pengarusutamaan masalah ekologis di kalangan ummat islam.

Selama ini persoalan ‘external’ politik elektoral lebih dominan menjadi pekerjaan diskursus elit Muhammadiyah terutama pasca reformasi. Sementara secara internal, pada umumnya organisasi islam sendiri telah disibukkan dengan pengelolaan “amal usaha” pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Jihad konstitusi adalah pembaharuan kesadaran baru akan peran-peran kebangsaan dan keberpihakan organisasi Islam modern terhadap masalah-masalah kontemporer lingkungan hidup dengan menjadi ‘pengontrol’/penggugat beragam regulasi yang diciptakan oleh negara. Negara yang dalam banyak hal seringkali menjadi ‘korban’ dari kepentingan kapitalis global dan mafia lingkungan. Ini adalah bagian dari penyegaran gerakan islam yang sangat dibutuhkan oleh dunia sebagia globalisasi ‘gerakan islam berkemajuan’ dengan visi pencerahan.
Peran ekologis organisasi islam  ini dapat dianalisa dari nalar etika utama yang digunakan oleh para teolog pembebasan dan teolog ekologi yaitu sebuah gerakan yang dipusatkan pada tiga argumentasi kunci yang meliputi (1) keadilan distribusi; (2)keadilan-lingkungan; dan (3) pertanggungjawaban kolektif (Aditjondro, 2003).
Pertama, keadilan distributif melarang keras tindakan yang melanggengkan praktik mendapatkan keuntungan di atas penderitaan orang lain (Nelkin, 1984) sehingga juga tidak dibenarkan negara mengambil keuntungan eksploitatif dari kekayaan alam dengan menyakiti masyarakat setempat secara berkepanjangan. Sebagaiman Erich Fromm (1968) dalam buku Revolution of Hope: Toward Humanized technology, logika pembangunan yang tidak manusiawi merupakan kejahatan besar yang harus dilawan. Di dalam nilai-nilai islam di Indonesia juga mendapatkan pembenaran, bahwa mudharat dari pembangunan itu harus lebih utama dihindarkan. Kesadaran etik yang dibalut dengan keyakinan agama merupakan kekuatan penting bagi kubu ‘kanan-hijau’—kelompok agamawan yang mempunyai concern serius membela ‘keseimbangan’ alam karena kayakinan alam semesta adalah titipan tuhan yang harus dijaga.

Kedua, keadilan lingkungan yang merupakan dua sisi mata uang yang sama dari keadilan sosial (distributif) adalah sebuah keniscayaan. Islam madzab Indonesia adalah madzab ekologis yang tercermin dalam teologi islam rahmatan lil alamien—islam yang tidak mengancam bagi keberadaan benda dan makhluk ciptaan tuhan. Dengan demikian, aliran antroposentrisme yang cenderung eksploitatif tidak mendapatkan pembenaran teologis dalam islam sebab fungsi manusia sebagai ‘khalifah’ bukanlah tanpa tanggungjawab etik, profetik, dan kolektif. Semua perbuatan yang merusak akan diminta pertanggungjawaban kelak di hadapan mahkamah tuhan. Karenanya, manusia harus berusaha menerapkan laku adil sejak dalam pikiran karena adil dalam ajaran islam paling dekat dengan taqwa.

Terakhir, pertanggungjawaban kolektif. Ajaran etis universal adalah bahwa setiap kejahatan, penindasan dan praktik ketidakadilan harus dilawan (Frantz Fanon,1986). Nilai-nilai utama organisasi islam memperlihatkan kesesuaian dengan ajaran etika tersebut yaitu amr ma’ruf nahi munkar—menganjurkan perbuatan baik dan mencegak kejahatan dengan titik tekan pada upaya memerangi praktik kejahatan. Dalam jihad melawan korupsi Muhammadiyah ataupun NU sudah tidak diragukan lagi seruan moral-politiknya, sedangkan untuk urusan pencegahan terhadap bencana krisis ekologis: kekeringan, kerusakan hutan akibat illegal logging, kejahatan tambang, pencemaran, penyebaran penyakit, dan sebagainya organisasi berbasis keagamaan perlu memperkuat posisinya dengan lebih banyak menggalang sekutu dan pengorganisasian basis. Infrastruktur organisasi Muhamamdiyah sudah memungkinkan untuk pembangunan berperspektif ekologis mulai dari ranting, cabang, daerah, propinsi sampai pusat secara proporsional. Posisi Muhammadiyah yang sudah dikenal track record di berbagai forum internasional menjadi kekuatan besar untuk turut menyerukan kesadaran ekologi di hadapan masyarakat dunia.

Level organisasi keagamaan pusat dan wilayah akan berperan aktif terhadap advokasi kebijakan/regulasi yang membahayakan keseimbangan ekologis dan manusia (baca: jihad konstitusi), sementara level daerah sampai ranting akan menjadi ujung tombak dari praktik kehidupan yang ramah lingkungan sebagaimana komunitas Islam yang dituliskan oleh Abdul-Matin dalam buku Green Deen di Amerika. Pola hidup bersih, penghematan air, penciptaan tekhnologi tepat guna dan ramah lingkungan bisa dijadikan praktik yang seiring dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Praktik demikian, secara tidak langsung adalah bagian dari praktik tanggung jawab kolektif keummatan yang kemanfaatannya tidak dapat disepelekan. Agama islam yang dianut 1 miliar manusia harusnya menjadi pelopor penyelamatan bumi dan makhluk yang ada di dalamnya. Agama hijau inilah yang sedang dicari kiprahnya oleh ummat manusia.


Sebagai penutup, terwujudnya bentuk tanggungjawab kolektif-keummatan ini telah disinggung oleh Jaspers (1986) bahwa: “di kalangan manusia muncul solidaritas, karena mereka manusia, yang dengan solidaritas itu masing-masing dapat berbagi tanggungjawab atas setiap ketidakadilan dan kesalahan yang dilakukan di dunia.” Karena bumi kita sama, kesadaran bahwa persoalan satu berkaitan dengan persoalan lainnya menjadikan kita merasa penting untuk merawat jagad raya dan menjadikan ummat beragama toleran bagi eksistensi ciptaanNya. Hal ini merupakan kunci untuk menghindarkan kehidupan ummat dari apa yang disebut Garrett Hardin (1968) sebagai “tragedy of the common.”

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK