Thursday, August 6, 2015

Pasar Ilang Kumandange

Lutfi "Lupet" Zahwar, pegiat literasi di Podjok Batja

“…… kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange ……. “
(sungai kehilangan lubuknya, pasar kehilangan gemanya, wanita kehilangan rasa malunya …..)

Teks di atas merupakan kutipan dalam salah satu karya R.Ng. Ranggawarsita yang berjudul “Jangka Jayabaya”. Pasar ilang kumandange, hilang atau tergerusnya interaksi sosial yang terjadi di pasar barangkali lebih pas menggmbarkan suasana yang terjadi di "pasar modern" daripada "pasar tradisional". Membandingkan keduanya akan segera terlihat adanya ekses dari perbenturan "ide modernisasi" yang percaya pada angka-angka, mantra, dan mukzizat dari hal-hal yang disebut "profesional, efektif dan efisien". Berhadapan dengan "kebijakan hidup lama" yang tak mengenal rumus-rumus seperti itu namun telah terbukti menghidupi masyarakat dan membuat mereka sejahtera.

Dalam mantra-mantra profesional, efektif, dan efisien terkadang hubungan kemanusiaan dan interaksi sosial dikesampingkan, jarak personal makin lebar. Meminjam ungkapan F Budi Hardiman, orang-orang menjadi ahli dalam teknik separasi antara utilitas dan personalitas. Utilitas ingin dinikmati habis tanpa menyentuh personalitas. Mantra profesional, efektif, dan efisien memungkinkan itu. Begitu barang atau jasa dibayar, kontak personal, interaksi sosial, dan hubungan kemanusiaan diminimalkan sampai nol.

Bagi sebagian orang pasar tradisional bukan sekedar tempat mengumpulkan materi dengan kegiatan jual beli. Lebih dari itu pasar tradisional dipercaya sebagai pusaran hidup dengan nilai yang begitu kompleks. Ada semangat, nafas hidup, serta kebijakan-kebijakan kuno masih langgeng terdapat dalam praktek keseharian. Terjalin suasana guyub ketika seorang pedagang tak sungkan saling mengerok atau menggosok minyak angin ketika salah satu temannya sakit atau masuk angin. Dalam keadaan pasar yang tak begitu ramai dikunjungi pembeli tidak jarang pula terlihat mereka saling memijat sambil menceritakan masalah hidup yang mendera sehari-hari.

Gambaran itu bukan saya dapatkan dari cerita orang lain melainkan saya saksikan sendiri ketika mengantarkan ibuk belanja di pasar tradisional ketika saya di Kediri. Sudah menjadi kebiasaannya sejak lama, daripada belanja di supermarket atau swalayan ibuk lebih senang belanja di pasar tradisional. Menurut cerita yang saya dapatkan dari ibuk walaupun pasar tradisional tak sebersih, serapi, dan seharum kondisi pasar modern. Di pasar tradisional lah ibuk bisa mempraktekkan nalurinya sebagai perempuan dalam urusan tawar menawar yang alot. Katanya, itulah seni berbelanja, sebagai pengelola keuangan rumah tangga ibuk harus memastikan dengan anggaran belanja yang sederhana namun bisa menyediakan hidangan yang istimewa.

Semenjak sering membaca teks-teks sosial, kebiasaan mengantarkan ibuk ke pasar menjadi sesuatu yang tak lagi membosankan. Saya menjadi tertarik melihat pola perilaku manusia di dalam pasar. Bagaimana mereka berinteraksi sesama penjual maupun dengan pembeli. Seperti diceritakan Unggul Sujati Prakoso, salah satu pegiat Rumah Baca Komunitas dalam catatannya yang berjudul, Interaksi di Dalam Pasar. Interaksi yang tidak hanya terbatas pada jual beli.

Menurut Bhre Redana, pasar tradisional sebenarnya memang ekspresi kehidupan tradisonal. Pendapat seperti itu barangkali bukanlah sesuatu yang asing bagi yang menggeluti sosiologi. Tak ada persaingan antar pedagang dalam alam pasar tradisional. Persaingan di situ adalah persaingan antara penjual dan pembeli, di mana yang terjadi bukan sekedar transaksi ekonomi tetapi transaksi kejiwaan. Harga hanyalah sebuah simbolisme di mana pedagang dan pembeli memperebutkan hari masing-masing, yang kemudian akan menentukan sebuah dagangan menjadi murah atau mahal.

Gejala itu akan segera digantikan berbagai gejala baru dari pasar modern sepertibyang dirumuskan oleh Cyril S. Belshaw. Kalau dalam pasar tradisional begitu banyak faktor-faktor ekonomis yang mencuat dalam transaksi sedangkan dalam pasar modern yang semata-mata berlaku adalah faktor ekonomi. Persaingan dalam pasar modern adalah persaingan antar pedagang. Harga yang berlaku adalah harga pas, tak perlu lagi tawar-menawar karena itu hanya menghabiskan waktu. Tak efektif, tak efisien, tak sesuai dengan mantra modernisasi.

Dalam perbenturan antara yang "modern" dan yang "tradisional" mungkin kita bisa melihat yang surut bukan hanya relasi sosial dan personal yang terjadi antara penjual dan pembeli tetapi juga komitmen terhadap orang-orang kecil itu yang semakin terjepit oleh pemodal besar.
Kediri 4 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK