Wednesday, August 19, 2015

Rambut Gondrong dan Ke-Lebay-an Masyarakat

Lalu Bintang Wahyu Putra

"Barang siapa memiliki rambut hendaklah ia memuliakannya. " Muhammad SAW

Pandangan negatif terhadap pemilik rambut gondrong sudah kadung jadi di benak masyarakat. Stigma seperti suka mabukan, nakal, jorok dan segenap perilaku menyimpang lainnya kerap bertengger. Namun mereka bingung- jika tidak mau dikatakan bungkam- ketika ditanya perihal alasan mengapa berpandangan demikian. Mulai dari tukang becak, mahasiswa, ibu-ibu rumah tangga bahkan akademisi intelektual pun beramai-ramai mengamini streotipe negatif tersebut. Yang hingga kini membekas di ingatan saya adalah apa yang dikatakan dosen saya. "Mas orang gondrong suka minum (baca:mabok), kamu begitu ya?". Saya menganga heran bin kaget mendengar ujaran dosen senior di fakultas saya tersebut. Ternyata sudah begitu dalam endapan di benak kolektif masyarakat bahwa pemilik rambut gondrong berprilaku menyimpang dan kerap melanggar norma sosial. Dan sekaliber dosen tersebut pun mengamininya.
Keheranan bin kaget tersebut segera sirna setelah saya sadar bahwa beliau adalah didikan orde baru dan hingga ia menamatkan S2- nya pun tiang Orde Baru masih runcing dan berdiri kokoh.
Sebenarnya sebelum pemerintahan orde baru, tepatnya di masa-masa terakhir rezim Soekarno pelarangan rambut gondrong telah terjadi, bahkan sempat booming di kota-kota besar kala itu. Di bawah kekuasaan Orde Lama negara kita pernah melakukan razia paling konyol dalam sejarah: Razia Rambut Gondrong. Melalui Badan Koordinasi Pencegahan Rambut Gondrong (Bakoperago) yang bekerja sama dengan TNI Soekarno melancarkan razia tersebut.
      Razia rambut gondrong ini bermula dari merebaknya budaya Hippies di Amerika ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kaum Hippies yang berpandangan liberal dan menolak adanya negara jelas merupakan ancaman bagi Indonesia yang masih seumur jagung. Terlebih paham kapitalisme yang identik dengan Amerika menambah kebencian Bung Karno yang menganut paham Marhaenisme dan pancasila sebagai dasar negara.
Berpindahnya kekuasaan ke tangan Orde Baru tidak serta-merta menghilangkan pelarangan rambut gondrong, justru semakin dimassifkan. Jika dulu Soekarno melarang dengan cara repsesif, maka di bawah Soeharto dimasukkan ke dalam sistem pendidikan. Rezim Soeharto menanamkan ke dalam pikiran semua masyarakat (murid dan wali murid) bahwa berambut gondrong adalah perilaku preman, bajingan bahkan teroris. Melalui program pembinaan keluarga Soeharto mewajibkan setiap orang tua untuk melarang anaknya berambut gondrong. Diwajibkan memiliki rambut cepak layaknya ABRI.
Melalui pandangan yang dibangun oleh kedua rezim tersebut dalam puluhan tahun telah berhasil menguasai pikiran masyarakat dewasa ini tanpa harus dikritisi dan deretan peristiwa tersebut terus berkembang hingga kini menjadi sebuah kebenaran mutlak yang tanpa celah secuil pun untuk merubahnya.

Dekonstruksi Pandangan
Dampak dari berjalannya peraturan tersebut bisa menjadi jawaban bagi pemilik rambut gondrong yang cenderung dianggap melanggar norma. Saya dan juga mungkin teman-teman gondrong lainya bertanya-tanya heran ada apa sebenarnya dengan gondrong? Sehingga yang menjadi korban adalah gondrongers yang tidak memiliki dosa masa lalu. Saya pribadi kerap mendapat represi mental dari kampus, seperti ditegur dosen, jadi buah bibir dekan hingga jadi bahan celaan.
Setelah enam puluh tahun lepas dari Orde Lama dan tujuh belas tahun bebas dari Orde Baru sebenarnya merupakan waktu yang sangat cukup untuk melunturkan stigma tersebut. Namun kenyataanya masih bertahan hingga kini.
Masyarakat sudah sepatutnya sadar bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara model rambut dan prilaku seseorang- sejauh ini belum ada saya mendengar penelitian mengatakan seperti itu- karena kedua entitas tersebut merupakan dua hal yang berbeda.
Jika menengok pada masa abad dua puluh ke bawah rambut gondrong banyak dimiliki oleh para filsuf, penyair, politikus dan tokoh-tokoh sain lainya. Yang paling terkenal adalah paman Einstein dengan model rambut kruelnya, Opa Marx dengan gondrong bergelombangnya hingga Plato, Aristoteles dan Socrates semuanya memiliki rambut gondrong. Sir ST. Raffles dalam bukunya The History of Java menggambarkan bahwa dulu para raja di Jawa memiliki rambut panjang sampai pundak bahkan konon Nabi besar kita, Muhammad SAW, panjang rambutnya sampai sebahu.
Di masa kini pun kita punya sosok Hilmar Farid seorang sejarawan dan budayawan, ada juga tokoh masyarakat Emha Ainun Najib alias Cak Nun dan juga Sekjen PPMI nasional, yang mana mereka semua gemar memanjangkan rambutnya.

Artinya, jauh sebelum sekarang rambut gondrong identik dengan tokoh berpengaruh dunia malah menjadi protoipe para cendekia. 

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK