Tuesday, May 19, 2015

Dari Max Lane, Generasi Sekarang, dan Buku Kiri: Sedikit Jawaban Untuk Pertanyaan Papa

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Lane dalam Unfinished Nation (2014) memberi sedikit inspirasi untuk membaca apa yang terjadi pada generasi manusia Indonesia pasca tahun 1990.  Tesis utama Lane dalam bukunya tersebut memang membicarakan sebab-musabab kejatuhan Soeharto bukan oleh kontradiksi oligarki, atau semacam krisis Asia tahun 1997, melainkan apa yang disebut Lane dengan “Kepeloporan Politik”. Namun ada beberapa pembahasan dengan maksud reflektif, dan proyektif Lane memberikan beberapa inspirasi yang menarik. Misalnya seputar analisis mengapa ide-ide progresif kelompok massa yang meruntuhkan rezim Soeharto tidak berlanjut. Dan yang paling penting adalah membaca kondisi generasi sekarang sebagai kelanjutan dari proses historis yang panjang.

Konsep kepeloporan politik sempat beberapa kali menjadi perbincangan. Termasuk dalam massa Mahasiswa di kampus-kampus misalnya dalam demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tetapi, konsep kepoleporan dan basis massa yang masif jarang terjadi. Amien Rais pernah menganalisis bahwa fenomena itu menunjukkan ketidakmampuan mahasiswa atau aktor intelektual untuk mengemas isu, dan yang paling utama adalah objektivikasi isu. Mahasiswa gagal menyadarkan masyarakat tentang proses-proses kapitalisme yang berjalan dalam kehidupan pasca reformasi. Lane juga tidak memungkiri hal tersebut, tetapi dengan nada optimis dia menyebut ini sebagai “Periode Baru Mobilisasi” (hlm.472).

Satu hal yang juga menarik, Lane menulis begini, “Saya sudah menjelaskan bahwa tak ada unsur-unsur yang tersisa dari aksi massa berideologi kiri 1900-1965, selain sentimen populis yang dicerminkan oleh kata rakyat dan Soekarno” (hlm. 489). Rezim Soeharto sudah berupaya mati-matian untuk menghapuskan kata “buruh” karena berkonotasi dengan perjuangan kelas dan menggantinya dengan “pekerja” atau “karyawan” serta menghapuskan ideologi dari percaturan diskursus. Hal itu bagi Lane menjadi jembatan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada hari ini. Termasuk apa yang terjadi pasca reformasi tahun 1998.  

Satu hal yang jelas bahwa di era pasca reformasi, perilaku sewenang-wenang, pemiskinan, semakin kasat mata, dan dengan demikian tidak dibutuhkan alat bantu apapun untuk melihatnya. Tetapi mengapa populasi generasi muda tidak sadar dengan proses tersebut? atau mengapa justru generasi muda dengan tangan terbuka siap menjadi buruh dengan gaji berapapun asal bisa membeli gadget, menikmati liburan, dan seakan tanpa malu berfoto ria di kedai atau pusat perbelanjaan yang dibangun atas darah masyarakat lokal? Dan merasa telah berjuang bagi bangsa Indonesia karena demo menolak SPP naik atau karena melakukan kuliah kerja nyata di pedesaan, atau karena telah menjadi voluntir mengajar di daerah kumuh? Dan setelahnya kehabisan napas untuk berusaha kontemplatif?.

Generasi itu, generasi yang memuja komoditas olahan dan memuja “nilai tambah” barang daripada mempelajarinya atau memproteksinya sebab ekses masa depan yang menghancurkan. Maka kehadiran generasi muda lain yang sedang belajar untuk memahami realitas, mencoba upaya-upaya untuk diskusi, membaca buku, sebenarnya sedang menjalankan proyek yang paling tidak, sedikit mengerem kerusakan akut.

Anarkisme sangat kecil hidup dari generasi-generasi ini hanya karena mereka membaca buku kiri atau karena terlibat dalam aksi-aksi protes dengan petani rembang misalnya. Hanya karena tekun dengan Das Capital Karl Marx atau Anti-Duhrin Engels mereka tidak akan menjadi seorang anarkis, pemberontak, atau malas kuliah serta menolak menjadi karyawan. Lebih daripada itu, mereka menjadi generasi yang mencoba secara epistemologis menuju realitas melalui cara-cara yang variatif. Ide-ide tentang kesuksesan atau tentang kegagalan bagi generasi adalah soal hidup sebagai manusia, dan manusiawi.

Buku-buku itu bahkan mengantarkan mereka untuk membebaskan diri dari jerat pesimisme akut, dan memulai optimisme dari kehidupan-kehidupan kecil di sekitar mereka. Generasi itu terpanggil karena sekelompok ibu-ibu dipaksa kalah oleh penguasa. Beberapa mahasiswa yang menjadi pegiat di salah-satu rumah baca bahkan seringkalli saya temui berkelakar bahagia tentang mimpi membangun desa. Generasi itu belum membuktikan, tapi kita patut berharap.

Generasi itu beberapa ada yang senang ikut pengajian, aktif di organisasi keagamaan, dan hidup sebagaimana kehidupan formal publik dibentuk, mereka tentu saja masih senang berburu kuliner ke pelosok kidul atau lor kota. Sebagian menjadi dosen, karyawan, birokrat, pengajar, penjaga warnet, pengusaha, dan lain sebagainya. Sebab membaca buku-buku secara variatif, terbentuk kesadaran tentang transformasi sosial kecil-kecilan dan minim kontradiksi. Generasi itu tidak bersedih hanya karena kegiatan diskusi minim peserta, atau kejar-kejaran dengan tugas pokok.

Bagi generasi pembaca ini, kejadian di masa lalu adalah bagian dari sejarah, baik yang terjadi pada pihak kanan atau pihak kiri. Semua tidak dapat diacuhkan. Dengan membaca sejarah, mereka berusaha menemukan jalan keluar atas konflik-konflik di masa lalu. Dan mungkin saja menganalisisnya untuk kebutuhan di masa mendatang terkait dengan kegagalan dan harapan.

***

Pagi tadi lewat komentar di media sosial, Papa memberikan pertanyaan begini kepada saya: “Akhir-akhir ini buku literatur berbau pikiran komunis semakin merambak pasar dunia maya, apa ini sebagai indikator bangkitnya revolusi mental dan pikir era baru komunis di Indonesia? Entahlah kita tunggu gejala selanjutnya.”

Pertanyaan itu berkaitan dengan peningkatan jumlah penerbitan buku-buku tema “kiri” di Indonesia beberapa tahun terakhir. Buku-buku “kiri” itu termasuk naskah-naskah yang ditulis seputar penelitian sejarah, dan rekonstruksi teori-teori sosial. Beberapa tahun sebelumnya memang ada buku-buku yang dapat dikatakan sebagai kelanjutan kembali penerbitan buku-buku tersebut sama seperti sebelum tahun 1965. Naskah-naskah lain misalnya adalah terkait dengan objek-objek penelitian sengketa antara korporasi dan masyarakat. Bidang hukum, antropologi, dan sosiologi adalah beberapa bidang yang secara kritis membahas misalnya korporasi tambang versus masyarakat.

Memang cenderung sulit untuk memisahkan antara buku “kiri” dan buku dengan basis analisis kritis yang berpijak pada pertentangan kelas, intervensi ekonomi, dan kerusakan ekologi akibat ketidakmampuan fungsional korporasi. Sebagian kalangan memang memandang dua jenis buku tersebut terpisah. Beberapa kalangan mungkin akan senang hati membaca buku yang menggunakan analisis pertentangan kelas daripada membeli buku yang membahas ideologi kiri atau sejarah pemikiran tokoh Marxisme. Walau berbeda, dua buku tersebut sulit dipisahkan. Hal tersebut memang sudah wajar adanya. Bagi kelompok intelektual atau peneliti, buku pertama membantunya menganalisis realitas sosial menggunakan tesis radikal. Sedangkan buku kedua seringkali dianggap sebagai bahan bacaan saja.

Jenis buku lain, yang tidak masuk kategori “kiri” dan oleh penulisnya sendiri diingkari memuat bau Marxisme seringkali dianggap identik. Novel-novel karangan Pramoedya Ananta Toer misalnya akan digolongkan sebagai bacaan kategori kiri karena secara historis sang penulis berafiliasi dengan Lekra. Padahal sang penulis mengaku sama sekali tidak mengenal dan tidak akrab dengan teks-teks Marx. Bagaimana juga dengan buku-buku teori sosial baru semacam Giddens dan Bryan Turner?. Ide-ide komunal yang banyak bertebaran sekarang juga kerap dianggap dekat kategori kiri hanya karena diidentifikasi menyebut nama Marx, Lenin, atau Stalin, meskipun secara epistemologi sama sekali berlainan.

Berkaitan dengan soal generasi sekarang, merebaknya buku-buku kategori “kiri” mungkin dapat dimaknai sebagai rangka belajar. Generasi sekarang mau tidak mau tergugah hendak membaca buku-buku yang sebagian berkategori kiri sebab mereka kehilangan kontak dengan sejarah bangsanya sendiri. Dan era sekarang siapapun sekehendak hatinya dapat muncul di pasar perbukuan Indonesia. Misalnya kelompok penulis sastra relijius berbasis kelas menengah juga dapat menulis novel, atau kelompok penulis demokrat-liberal dengan hegemoni dunia perbukuan sejak tahun 1980-an. Meskipun kelompok penulis yang terakhir ini mulai kehilangan elanvitalnya sebab diskursus yang minim keberpihakan. Sedangkan kelompok pertama justru menemukan momentumnya seiring dengan gejala peningkatan kelas menengah.

Maka generasi sekarang pada beberapa sisi menyerap berbagai ide-ide yang nyaris sama tetapi berasal dari basis epistemologis berbeda. Misalnaya sebagian memaknai kata “berjuang untuk rakyat” melalui kegiatan berfoto bersama mbah-mbah yang membawa bakul di pasar. Sebagian memaknai kata “berjuang untuk rakyat” secara simbolis melalui kampanye kebebasan berpendapat. Sebagian yang lain memaknainya lewat kampanye-kampanye politik. sebagian yang lain menulis, membaca buku, belajar tekun, membangun bisnis, ikut rapat RT/RW, ikut kerja bakti, dan lain-lain. Generasi ini tidak akan anti dengan musik barat hanya karena mengagumi Marx atau Tan Malaka. Sebagian dari mereka tetap berkunjung ke rumah makan waralaba, dan berbahagia karena itu.

Generasi sekarang tengah menikmati proses belajar dari orang tua, filsafat, pemuka agama, ilmu pengetahuan, kejadian sehari-hari, dan buku. Sama seperti generasi-generasi sebelumnya. Hanya saja berbeda dalam dua hal, pertama, mereka berpotensi menjadi objek produksi atau konsumsi. Misalnya, secara politis generasi ini masih dianggap sebagai pelengkap primer kekuatan pemenang pemilu atau objek pasar produk, dan tentu saja sebagai objek yang diperjualbelikan. Kedua, sekuensi evolutif pada generasi sekarang sebagai proses yang alami dari perkembangan manusia.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK