Tuesday, May 5, 2015

#RembangMelawan (resensi)

Resensi:

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Terdapat tiga faktor penting yang biasanya menjadi rujukan mengapa Indonesia sedang bergerak menuju kemakmuran. Faktor pertama adalah kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia; Kedua, stabilitas politik; Ketiga, penurunan biaya untuk mendapatkan modal. Lembaga investasi seperti Morgan Stanley menggunakan tiga faktor tersebut untuk menunjukkan arah positif besaran makro ekonomi Indonesia.[1] Dan karena kemakmuran itu diasumsikan sebagai bentuk kesejahteraan maka segala upaya menuju pembentukan model kemakmuran ekonomi dilakukan. Pertambangan berkaitan dengan proses industrialisasi dianggap sebagai cara menuju kemakmuran melalui pengelolaan sumber daya alam. Pendapat tersebut pada dasarnya mengandung kerancuan. Diskursus seputar pertambangan sumber daya alam, pada dasarwarsa 90-an di Amerika misalnya menyatakan pendapat tersebut memuat asumsi bahwa sumber daya alam yang belum mengalami proses pengolahan pada dasarnya tidak memiliki nilai. Artinya, sumber daya alam sebagai bentuk dari keadaan material alam dan ketersediaannya bukan merupakan kemakmuran itu sendiri.

Tentu saja perdebatan dalam diskursus tentang kemakmuran dan kesejahteraan tersebut pada realitasnya membawa persoalan lain. Perlawanan yang dilakukan oleh Aliansi Warga Rembang Peduli Pegunungan Kendeng (AWRPPK) yang terdiri atas Joko Prianto, Sukimin, Suyasir, Rutono, Sujono, dan Sulijan, kemudian WALHI, serta LBH Semarang tersebut berhadapan dengan kekuatan besar ekonomi-politik korporasi. Perlawanan tersebut bertambah aneh dan janggal karena negara melalui representasi aparatur keamanan berdiri pada posisi korporasi.[2] Apapun yang menjadi motivasi penolakan warga rembang terhadap ijin pendirian pabrik semen, tidak seharusnya terjadi tindak kekerasan. Apalagi dalam perihal tindak kekerasan, negara secara tidak langsung telah menjadi instrumen korporasi. Dalam hal ini, kemakmuran dan kesejahteraan sebagai protokol formal yang mendasari kebijakan politik negara atas eksistensi niscaya korporasi berhadapan dengan kehendak kelompok yang kontra terhadap usaha mendirikan pabrik semen.

Diskursus tentang kemakmuran dan kesejahteraan memang telah menjadi alat kekuasaan. Begitu juga dengan diskurus tentang kemiskinan yang membantu korporasi melalui negara untuk menemukan legitimasi. Dengan demikian, perlawanan warga dari Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, terhadap usaha pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia memberikan kita dua hal penting untuk dicatat. Pertama, kasus Rembang ini menjadi penting untuk melihat apa yang disebut oleh Hendra Try Ardianto sebagai “darurat ekologi dan agraria”. Berkaitan dengan hal tersebut, perlawanan terhadap narasi-narasi legitimatik atas tambang, pabrik, dan industri tentang efek mikro dan makronya terhadap masyarakat merupakan bagian dari kondisi darurat ekologi dan agraria. Diskursus kemakmuran dan kesejahteraan ketika dihadapkan pada kondisi darurat ekologi dan agraria mendapat tantangan serius.

Kedua, tentang perlawanan yang dikonsolidasi untuk menentang Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 668/1/17 Tahun 2012 atas ijin lingkungan PT Semen Gresik yang sekarang berubah menjadi PT Semen Indonesia (PT SI). SK tersebut ditandatangani Bibit Waluyo tanggal 7 Juni tahun 2012. Perlawanan terhadap SK tersebut dilakukan melalui berbagai upaya konsolidasi massa, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan kritik reflektif terhadap peran intelektual.

Melalui Buku #Rembang Melawan; Melawan Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng, kita dibawa pada tiga aras dokumentatif tentang perlawanan warga rembang terhadap korporasi yang dibantu oleh aktivis, mahasiswa, akademisi, wartawan, dan kelompok-kelompok lain. Pertama adalah aras analisis yang berusaha mendudukkan keterangan-keterangan objektif mengenai Kawasan Karst di Kendeng Utara, Ijin Lingkungan dan validitas data dalam proses pembuatan SK, dan yang paling penting berkaitan dengan mitos kesejahteraan melalui pertambangan. Aras pertama ini hendak membantu perlawanan warga rembang terhadap korporasi melalui pertarungan diskursif pada tataran ilmu pengetahuan.

Analisis geologi, ekologi, ekonomi-politik, hingga hukum merupakan basis-basis argumentasi yang dapat menjadi jembatan kekuasaan. Dua akademisi UGM, Eko Haryono (dosen fakultas geografi) dan Heru Hendrayana (Dosen Teknik Geologi) yang menjadi saksi ahli PT Semen Indonesia dalam persidangan di PTUN memang tidak menjadi satu-satunya faktor mengapa Majelis Hakim PTUN menolak gugatan warga rembang pada sidang tanggal 16 April tahun 2015. Tetapi, kesaksian HH sebagai akademisi dikritik oleh Bosman Batubara melalui tulisannya Benarkah Batu di Rembang Tidak Memiliki Sumber Air?. Apa yang dikritik oleh Batubara terkait dengan klaim objektivitas melalui simbol “saksi ahli” atau “akademisi” dalam menginterpretasikan data. Penggunaan simbol sebagai “saksi ahli” telah menjadi alat legitimasi keakuratan interpretasi. Persoalan klaim dengan “nada pasti” yang berkaitan dengan interpretasi data dari dokumen Amdal oleh HH dikritik oleh Batubara sebagai “tidak lazim” dalam konteks geologi dan hidrologi. Kritik Batubara terhadap HH adalah salah-satu bentuk benturan dalam diskursus ilmu pengetahuan dan perannya sebagai basis logika manusia.

Kedua, adalah aras tentang kritik reflektif atas berbagai perkembangan terbaru seputar gugatan warga Rembang. Ketiga, adalah aras tentang gerakan penolakan pendirian pabrik semen melalui subjek-subjek yang melawan korporasi. Aras kedua, dan ketiga, berisi tentang narasi-narasi perlawanan, dan kekecewaan-kekecewaan.

Keseluruhan aras yang dibahas dalam buku #RembangMelawan memperlihatkan satu topik utama, yakni berkaitan dengan dinamika diskursif yang terjadi selama proses gugatan dan protes warga rembang, WALHI, dan LBH Semarang terhadap pihak PT Semen Indonesia. Dinamika tersebut terjadi dalam tiga sifat kategoris diskursif; (1) analisis ilmu pengetahuan, (2) kritik etis-politis, dan (3) rekaman naratif atas pergerakan melawan PT Semen Indonesia. Maka #RembangMelawan seperti memuat tiga protes sekaligus. Ketika gerakan-gerakan sosial dan mobilisasi massa di Indonesia menghadapi kritik dan basis sosiologis yang terperangkap, gerakan protes warga rembang dapat memberikan kita keterangan-keterangan aktual tentang proses-proses gugatan yang dilakukan di Indonesia menghadapi korporasi yang berlandas pada argumentasi ekologi-agraris. Selamat Membaca!.



[1] A. Prasetyantoko, “Paradoks Ekonomi dan Agenda Kesejahteraan Sosial”, dalam A. Prasetyantoko, Setyo Budiantoro, dan Sugeng Bahagijo (Ed), Pembangunan Inklusi; Prospek dan Tantangan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2012), hlm. 26-27.

[2] Redaksi, “Kronologi Represi Aparat terhadap Ibu-Ibu Penolak Pabrik Semen di Rembang 27 November 2014”, http://selamatkanbumi.com/kronologi-represi-aparat-terhadap-ibu-ibu-penolak-pabrik-semen-di-rembang-27-november-2014/  diakses 2 Mei 2015.

__________________________
Keterangan Buku
Judul                       : #RembangMelawan
Editor                      : Dwicipta dan Try Ardianto
Penerbit                  : LiterasiPress
Tahun Terbit         : Yogyakarta, 2015

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK