Tuesday, May 5, 2015

Resensi: Air Mata di Tapal Batas

Resensi:
Novel                       : Air Mata Di tapal batas
Penulis                     : Aguk Irawan MN.
Tebal halaman          : xxii + 366  halaman, 12 x 19 cm
Penerbit                   : Glosaria Media
ISBN                        : 978-602-71777-1-0


oleh Ahmad Sarkawi (Pegiat Rumah baca komunitas)

“Garuda di dada kami”, ucap Nanjan warga Semunying Jaya, Jagoi Babang, suatu malam hampir setahun yang lalu, saat pertama-tama ia kenal dengan pemuda itu, “tetapi harimau di perut kami!” (hal.19)

Cinta butuh pengorbanan begitulah Hermen malik mengawali pengantarnya dalam novel Air Mata di Tapal Batas. Dalam cerita air mata di tapal batas penulis mengajak penikmat kata dalam rangkaian kalimat sastra menjelajah Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Sepakat dengan Farid Mustafa bahwa air mata di tapal batas adalah novel etnografi yang begitu apik, (Baca pada halaman sampul belakang komentar dari Farid Mustafa Dosen Filsafat Universitas Gajah Mada), deskripsi suasana indahnya alam Semunying Jaya, Jagoi Babang dimulai dengan hamparan rumput yang menghijau sampai pada bukit gajah dan yang lebih special adalah pohon-pohon yang tinggi tempat Hamdan menerima telpon dari Siti.

Di awali kegelisahan beberapa pemuda atas nasib yang tak kunjung berubah sebut saja Nanjan, Mamut, Sipet, Ampong, Hamdan, Sukimin dan Parno pemuda berpengaruh di Jagoi babang. Aktivitas yang sejak turun temurun di lakukan oleh warga Jagoi Babang bekerja sebagai buruh perkebunan sawit di Negeri Serawak dan menghabiskannya juga di negeri Serawak tepatnya di pasar Serikin. Kegelisahan sudah memuncak hingga memutuskan untuk mengajak warga Jagoi Babang berpindah kenegeri tetangga tetapi keinginan Nanjan mendapat penolakan dari beberapa warga khususnya kelompok Tua Jagoi Babang, situasi politik Jagoi Babangpun memanas. Pang Ukir adalah tetua atau kepala suku yang di hormati oleh semua warga tidak menolak keinginan dari Nanjan tapi ia hanya menyayangkan siapa yang akan melanjutkan Jagoi Babang kelak.

Kehadiran Iskandar, Cornelius, Herman dan prajurit lainnya merupakan prajurit TNI yang tergabung dalam Batalion Infanteri 642 Bengkayang bertugas untuk menjaga patok perbatasan Indonesia – Malaysia. Iskandar hidup bersama warga Jagoi Babang dan ikut merasakan penderitaan hidup di daerah perbatasan di mulai dengan makan nasik busuk sampai rebusan singkong menjadi makana istimewa karena tidak ada pilihan. kehidupan prajurit di daerah perbatasan sudah menjadi rahasia umum kehidupannya memperihatin gaji yang terkadangkal tidak mencukupi untuk biaya hidup sedangkan tugas sangat berat untuk membela dan menjaga tanah air yang disebut Indonesia.


Karena keterbatasan waktu, komentar lengkap saya silakan datang pada bedah Novel Air mata di tapal batas pada tanggal 2 Mei 2015 di Pesta Buku Wanitatama Yogyakarta, tulisan ini sengaja tidak diselesaikan agar kita mengikuti diskusi bedah novel ini dengan seksama.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK