Thursday, September 3, 2015

Podjok Literasi

Lutfi Z Kurniawan, Pegiat RBK

Dulu, setiap kali membuat acara senang sekali rasanya kalau diliput media. Merasa bangga, keren, gaul, maqamnya naik karena acara yang dikerjakan mendapat perhatian dari media mainstream. Diliput media mainstream berarti bisa dibaca dan diketahui oleh banyak orang. Harapannya sih bisa menginspirasi banyak orang kemudian ditiru di berbagai tempat.
Kurang afdol rasanya kalau membuat acara tapi tidak masuk media mainstream. Sehingga panitia bekerja keras menyusun acara yang punya nilai berita walaupun terkadang tak terlalu substantif acaranya. Asal rame, meriah, dan gemerlap menyedot perhatian khalayak. Bahkan kalau diingat-ingat keinginan diliput dalam media mainstream itu membuat panitia harus berkompromi diantara mereka sendiri untuk membuat acara yang "jangan berat-berat" karena potensinya untuk mencuri perhatian khalayak itu kecil, sehingga kecil pula kemungkinannya untuk diliput media.
Tentu baik dan tak salah acara itu diliput media. Apalagi penyebaran informasi dari media mainstream menjangkau lebih banyak kalangan. Syukur-syukur kalau liputan yang diturunkan turut menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan atau kegiatan-kegiatan serupa. Menjadikan wacana yang diangkat menyebar lebih masif sehingga diketahui lebih banyak orang. Namun ada jebakan yang dulu tidak saya sadari. Keasyikan memburu supaya acara diliput media membuat saya lupa untuk menuliskan refleksi dengan bahasa dan perspektif saya sendiri tentang kegiatan yang saya terlibat di dalamnya.
Padahal kita sama-sama tahu bahwa ruang yang ada di media mainstream begitu terbatas. Liputan yang dituliskan di sana tentu saja tidak bisa sepanjang refleksi yang kita buat sendiri dengan bahasa dan perspektif kita. Apalagi informasi yang kebanyakan diproduksi oleh media mainstream bukan diproyeksikan untuk memberdayakan, melainkan memperdaya warga supaya giat mengkonsumsi dan menaruh perhatian pada isu-isu yang diagendakan media, yang seringkali menggeser fokus substansinya ke remeh-temeh di seputarannya. Kalau 50 tahun yang lalu sumber persoalan kebudayaan kita adalah ignorance (ketidaktahuan), barangkali sekarang sumber persoalan itu adalah banalitas (kedangkalan/remeh-temeh).
Menuliskan refleksi menggunakan bahasa, perspektif, dan pemaknaan kita sendiri tentu menjadi begitu penting untuk memperkaya makna pada setiap kegiatan yang kita lakukan atau jalani. Menulis refleksi menjadikan kita produsen yang tak sekedar mengkonsumsi informasi. Tapi sekaligus memberikan pemaknaan sesuai konteks kebutuhan kita sendiri.
Menuliskan refleksi membawa kita masuk ke sebuah dunia yang terlihat lain, terdengar lain daripada isi media-media yang setiap hari mengepung kita. Lebih jauh individu atau komunitas atau warga yang menulis refleksi sesungguhnya sedang melawan untuk dikuasai. Karena mereka mampu menciptakan wacana dan membentuk dunia dengan bahasa khas mereka sendiri.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK