Monday, April 27, 2015

Penjelasan Sederhana Tentang Gerakan Literasi

Fauzan A Sandiah, Kurator RBK

Jangan heran mengapa hasil survei PISA mengenai tingkat literasi anak di Indonesia pada tahun 2009 berada pada urutan ke 62 dari 72 negara. Dan pada tahun 2012, Indonesia urutan 64 dari 65 negara yang diteliti.[1] Hasil survei tersebut, memang tidak merefleksikan perkembangan kualitas, tetapi cukup untuk membuat kita berpikir tentang paradigma dan berbagai hal yang dianggap sepele selama ini seperti implikasi dari gerakan literasi. Tidak heran juga ketika beberapa anak muda di Yogyakarta yang fokus pada gerakan literasi dicap kurang transformatif hanya karena mereka mengonsolidasi gerakan melalui membaca, menulis, dan berdiskusi. Apalagi kalau gerakan literasi tersebut bergerak pada varian usia anak-anak atau remaja. Soal lainnya tidak perlu diungkapkan secara serius, tetapi bisa diungkap secara intuitif.

Seorang kenalan pernah berkata “gerakan literasi saja tidak cukup!”. Kami yang biasa hidup dalam gerakan literasi sebenarnya tidak kaget ketika mendengar perkataan itu. Daripada kaget dengan komentar itu, yang lebih menarik adalah kami menangkap suatu informasi penting tentang sejauhmana orang memahami gerakan literasi. Apakah gerakan literasi selalu identik dengan TBM?, apakah gerakan literasi identik dengan membaca buku?. Apalagi jika gerakan literasi dikait-kaitkan dengan urgensi transformasi sosial. Masalah itu menjadi pelik karena proses transformasi sosial erat dengan tindakan-aksi bukan komentar anarkis. Jadi ketika orang menuntut lebih kepada gerakan literasi, pernahkah mereka sendiri mencoba memainkan peran lain?. Jawabannya tentu saja relatif. Model gerakan yang menuntut transformasi sosial pada masa dewasa ini tidak bergerak dengan cara mengkonsolidasi elit-cendekiawan, atau aktivis-mahasiswa melainkan berbasis pada “siapa-saja”, seperti sebuah mantra dari seorang pegiat literasi Yogyakarta Alm. Dauzan Farok “siapa saja bisa menjadi penggerak literasi”. Kesadaran bahwa “diri-politis” dalam konteks gerakan transformatif dewasa ini di Indonesia sangat penting. Artinya pencapaian transformatif hanya terjadi jika masing-masing orang memulai peran-perannya dalam lingkup paling kecil. Tidak ada cara lain.  Begitu juga dengan gerakan literasi.

Tulisan ini akan memberikan beberapa komentar terkait dengan gerakan literasi dan relasi fungsionalnya dalam transformasi sosial.  

Portofolio Subjek yang Berubah

Tidak hanya bagi gerakan literasi, untuk gerakan sosial pada umumnya, satu pertanyaan yang cukup menantang adalah apakah ada alternatif lain untuk membentuk transformasi sosial tanpa berangkat dari pemahaman bahwa kondisi masyarakat yang kian kompleks—maksudnya, berkenaan dengan kapitalisme yang telah memperumit gerakan emansipasi?. Pertanyaan itu, tidak hanya ditutup dengan jawaban melainkan pertanyaan berikutnya yakni, dari mana proses transformasi akan dimulai?, dan bagaimana memformulasikannya?. Berkaitan dengan gerakan literasi, sudah pasti muncul tantangan yang berasal dari sub-eksplanasi berbau genealogis yang menyangsikan posisi strategis gerakan literasi dalam membentuk proses transformasi sosial. Tidak berhenti dalam aras demikian, kesangsian itu juga berasal dari argumen aneh bahwa gerakan literasi, merupakan sub-agenda dari sistem kapitalisme, dan politik hegemonial. Untuk yang terakhir, jawaban historis lebih tepat daripada membawanya ke dalam perdebatan substansial dan a priori.

Bisa jadi, kebanyakan perspektif tersebut melihat gerakan literasi sebagai gerakan pemberantasan buta huruf yang identik dengan agenda membentuk spesifikasi pekerjaan dan membentuk formasi sosial kapitalistik. Argumen tersebut terkesan kritikal, tetapi sangat minim dalam kajian-kajian kontemporer mengenai gerakan literasi. Tentu saja, tidak dapat disebut juga bahwa gerakan literasi diidentikkan dengan model taman baca masyarakat, perpustakaan, atau jenis institusi literasi konvensional lainnya sebagai tidak benar. Hanya saja jangan sampai kenyataan itu mereduksi pekerjaan-pekerjaan literasi yang dilakukan oleh pegiat-pegiat literasi berbasis paradigma yang matang untuk menentukan corak emansipatif dalam gerakan literasinya masing-masing. Dalam tataran itu banyak yang lalai melihat penyebab-penyebab baru dari terbentuknya gerakan-gerakan literasi.
Hal tersebut berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai variasi portofolio subjek-subjek gerakan sosial (Situmorang, 2007). Dalam konteks gerakan literasi, hal yang sama juga terjadi. Variasi portofolio subjek-subjek gerakan literasi tidak hanya terbatas pada aparat-aparat negara (misalnya perpustakaan daerah), atau dari kalangan swasta (kios sewa buku), melainkan juga merambah hingga ke aktivis yang tinggal di desa, akademisi, guru, mahasiswa, “ibu rumah tangga”, dan lain sebagainya. Penting untuk melihat variasi portofolio subjek-subjek gerakan literasi kontemporer di Indonesia sebagai cara untuk memahami betapa kompleksnya implikasi paradigma, model kerja, strategi, dan tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing gerakan literasi. Melupakan variasi portofolio subjek gerakan literasi berarti nyaris menegasikan keadaan terkini dari gerakan-gerakan sosial. Belum lagi diperkaya oleh kenyataan bahwa topik-topik diskursus seperti demokratisasi, ekologi, politik, HAM, kesetaraan jender menjadi konsumsi sebagai akibat dari keterbukaan akses masyarakat terhadap informasi.      

Tentu saja ketika membahas persoalan portofolio subjek gerakan sosial pada umumnya, kebanyakan dari komentator menjelaskan partisipasi individu dalam gerakan sosial menggunakan teori deprivasi (theory of deprivation).[2] Paling tidak sejak tahun 1960-an, deprivasi fraternalistik telah memberikan penjelasan umum mengenai partisipasi subjek-subjek gerakan literasi. Kerangka tersebut juga telah memberikan jawaban yang berkaitan dengan kemunculan aksi-aksi kolektif. Berkaitan dengan perkembangan teori deprivasi, muncul apa yang disebut oleh Foster dan Matheson sebagaigroup consciousness raising, yang menyatakan kebangkitan kesadaran aksi kolektif sebagai bagian dari kesadaran “the personal is political”. Dengan demikian, penjelasan mengenai variasi portofolio subjek gerakan sosial dapat ditinjau berdasarkan dakuan bahwa individu (personal) dan kelompok (political) adalah kesatuan formasi sosial aksi kolektif.

Kembali menyoal tentang gerakan literasi, dan berbagai kecenderungan pesimistik terhadapnya. Gerakan literasi seringkali dilekatkan dengan suatu strategi untuk berinteraksi dengan negara. Dalam konteks ini, gerakan literasi konvensional membangun interaksi melalui timbali-balik peran. Negara menyediakan fasilitas (uang bantuan, program sosialisasi), dan masyarakat mengambil peran sebagai pelaksana dengan misalnya mendirikan TBM, atau perpustakaan desa. Dengan melihat gerakan literasi melalui operasi tersebut akan memberikan kesimpulan-kesimpulan yang menjebak. Konsep gerakan sosial sebagai cara berinteraksi dengan negara tidak dapat digunakan serta-merta untuk melihat perkembangan gerakan literasi di Indonesia. Di Yogyakarta misalnya, berdiri beberapa komunitas literasi yang tidak bergerak dengan mekanisme tersebut. Komunitas-komunitas literasi tersebut tidak bermaksud membangun gerakan literasi sebagai cara berinteraksi dengan negara. Lebih daripada itu, komunitas-komunitas itu dibangun atas perjuangan kultural yang tidak menegasikan peran formal temporal negara sebagai sistem —yang dengan demikian cukup rumit menjelaskan posisi diametralnya dengan negara—tetapi mempertimbangkan aspek ketersediaan basis sosiologis sebagai cara untuk menentukan peran literasinya. 

Manusia-Literasi (literacy-man) sebagai hasil Evolusi Kognitif

Diringer misalnya melihat salah-satu keuntungan dari kehadiran revolusi industri, kolonialisme, ekspansi ekonomi, atau segala pandangan yang dihasilkan berdasarkan europe-centris yang menyatakan alpabet sebagai kunci dari peradaban manusia telah memberikan dampak bagi karya tulis sebagai suatu penemuan manusia (human being).[3] Dalam cara pandang demikian, karya tulis, buku, pamflet, poster, merupakan sesuatu yang ditemukan—tetapi bukan penemuan eksis, melainkan eksistensial yang mewujud dan menemukan pemaknaan kontekstual. Dibedakan dari penemuan historis yang sebenarnya justru telah mengemuka ketika sistem tulisan China, alphabet Platonian, dan empirisme Barat hadir.

Gerakan literasi dengan demikian bisa saja berkaitan secara genealogis-historis dengan perkembangan industri, tetapi itu sepenuhnya tidak sama, dan bahkan gerakan literasi telah bergeser menjadi sesuatu yang berbeda. Kecuali kalau kita memandang bahwa minat literasi itu sendiri merupakan sebuah “temuan” dan bukan merupakan keniscayaan evolutif manusia sendiri. Artinya, dengan menggunakan cara pandang minat literasi sebagai temuan, maka kecurigaan dibalik agenda-agenda peminatan literasi merupakan selubung genealogis-historis dari kategori kemajuan ala europe-centris. Sedangkan dengan menggunakan cara pandang kedua, berarti minat literasi berasal dari disposisi neural. Artinya, minat literasi muncul sebagai kebutuhan dari perkembangan evolutif-kognitif manusia. Sehingga dengan demikian tanpa menyepelekan aspek historis, minat literasi sepenuhnya adalah bukti evolusi kognitif manusia itu sendiri. Argumen ini terlihat pada manusia awal yang menggunakan benda-benda eksternal (batu, kayu, tanah) pada awalnya untuk sesuatu yang berbeda pada 10-7 Juta silam dengan yang terjadi pada manusia sekarang. Akhirnya, kepemilikan tanah sebagai simbol kekuasaan, eksploitasi batu-batuan sebagai simbol pembangunan, dan penggunaan kayu sebagai simbol penguasaan alam. Kertas atau media tulis-baca lainnya seperti tembok-goa, pelepah daun, kertas-papirus juga demikian, pada awalnya merupakan alat mencatat atau kertas yang berfungsi sebagai pamflet propagandis. Sekarang diafirmasi menjadi medium ilmu pengetahuan.

Kalau kita ingat dengan penjelasan pergerakan sejarah manusia yang bergerak menuju rasionalitas atau kemajuan teknologi dan yang oleh karena itu mengubah secara total letak persoalan mendasar masa ini dan masa-masa sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa komentar sosiolog pasca-era perang dingin seperti Giddens yang misalnya mengamati bahwa masalah manusia kontemporer bertambah rumit dengan kehadiran teknologi. Teknologi telah membawa manusia pada satu kondisi yang disebut Giddens sebagai manufactured uncertainty. Berkaitan dengan hal itu, maka secara niscaya manusia membentuk paling tidak empat topik gerakan sosial; gerakan kebebasan berbicara, gerakan buruh, gerakan perdamaian, dan gerakan ekologi. Formasi dari masing-masing topik gerakan sosial itu bisa mewujud dalam berbagai bentuk, dan disublimasi dalam motif yang berbeda-beda. Gerakan literasi termasuk salah-satu dari formasi topik-topik tersebut. Dan dengan demikian, sublimasi motifnya ditentukan oleh pegiatnya (literacy-man).

Apa Yang Kita Tangkap?

Bagaimana kita mempersepsikan gerakan literasi kontemporer?. Persepsi tersebut berpotensi menghasilkan berbagai spektrum yang berbeda tentang fungsi transformatif gerakan literasi. Pertama, kita harus menyadari bahwa gerakan literasi sudah berkembang jauh jika dilakukan penyelidikan kasuistik pasca era reformasi. Dalam konteksnya yang tidak terlalu jauh misalnya masyarakat tidak lagi sekedar melihat perannya melalui pengembangan kegiatan di sektor ekonomi, melainkan juga pendidikan. Meningkatnya jumlah institusi pendidikan yang dikelola oleh swasta (termasuk masyarakat) dapat menjadi cermin yang cukup baik untuk melihat konteks gerakan sosial kontemporer di Indonesia. Paling tidak berdasarkan aras partisipatif masyarakat dalam mengembangkan pendidikan, meskipun tentu saja kita bisa mempertimbangkan itu sebagai produk umum gejala masyarakat urban dan peningkatan kelas menengah. Tetapi yang lebih penting adalah kesadaran untuk mempertimbangkan kembali alat analisa baru untuk melihat bentuk-bentuk partisipatif dalam setiap perilaku masyarakat.

Kedua, paradigma sebagai rule of game memainkan peran penting dalam cara kita menilai dan mengevaluasi gerakan literasi. Karena paradigma yang menentukan apa yang boleh dianggap penting, apa yang dianggap relevan, dan menentukan “sebagai siapa” orang memandang sesuatu, serta “sebagai apa sesuatu itu hadir”. Fungsi paradigma yang terakhir, contohnya adalah “sebagai apakah gerakan literasi muncul?” atau “gerakan literasi sebagai bentuk dari perlawanan keseharian”, atau “sebagai kumpulan peminat buku?”. Cara kita merefleksikan realitas memperlihatkan paradigma. Jadi tantangan gerakan literasi dan relevansinya dalam konteks transformasi sosial bisa saja sangat bergantung dari kemampuan reflektif kita mengenai gerakan literasi, dan basis data untuk menyimpulkannya. Jadi kalau ada yang berkata bahwa “gerakan literasi saja tidak cukup!?” darimana basis kesimpulannya?.


_________________________________________________________________ 
baca juga hasil penelitian Suhendra Yusuf, “Perbedaan Gender dalam Prestasi Literasi Siswa di Indonesia”,

[2] Lih, Jacquelien van Stekelenburg, dan Bert Klandermans, “Individual in Movements; A Social Psychology of Contention”, dalam Conny Roggeband, dan Bert Klandermans, Handbook of Social Movements Accross Discplines, (New York: Springer, 2010), hlm. 157. 

[3] Albertine Gaur, Literacy and Politic of Writings, (UK: Intellect Books, 2000), hlm. 3.

*53% Naskah ini ditulis di tempat Semedi Sunan Kalibedog. :P

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK