Monday, April 27, 2015

Suatu Latar Belakang untuk Konsep LiteraPreneurship (Bag1)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Secara historis, budaya literasi berarti suatu model transformasi sosial. Hal ini tentu saja paradoksal dengan amatan satir Benedict Anderson mengenai tidak berjumpanya hasil-hasil kerja literasi seperti karya-karya sastra antara negara-negara di ASEAN (Ronny Agustinus, 2014). Padahal hasil kerja literasi dapat menjadi jembatan perjumpaan emansipatif antara tiap kelompok dalam membangun kekuatan massa. Temuan satir Anderson itu memberikan informasi tentang bagaimana kerja literasi kita selama ini seakan tidak berikat pada satu perjuangan berbasis geografis dan narasi-narasi kemanusiaan kita sebagai subjek sosiologis. Meskipun demikian, dalam konteks lokal, hasil-hasil kerja literasi berupa pembentukan komunitas literasi seperti rumah baca, taman baca, gubug baca, dan lain sebagainya merupakan contoh dari literasi sebagai model transformasi sosial. Dengan demikian, literasi bukan sekedar kemampuan membaca dan menulis, atau sekedar menjadikan hasil kerja literasi sebagai komoditas, melainkan juga harus menjadi kemampuan untuk memulai transformasi sosial melalui aktivitas membaca dan menulis.

Literasi-preneurship adalah model untuk membentuk gerakan transformasi sosial melalui aktivitas literasi. Literasi-preneurship sama seperti konsep entrepreneurship, berangkat dari dua aspek sebagaimana yang diungkapkan oleh Gartner (1985) ataupun Kirzner (2009); pertama, berkaitan dengan what we like atau what we want. Kedua, berkaitan dengan what we do atau what we act. Aspek yang pertama berkaitan dengan keminatan terhadap aktivitas literasi—yang mendorong munculnya aspek kedua, yakni; kemampuan realisasi menuju sekuensi perilaku atau aksi.

Membaca dan menulis sebagai aktivitas literasi memiliki daya pengubah sosial. Komunitas membaca, penulis buku, ataupun pegiat rumah baca, juga merupakan bagian penting dalam pembentukan, penemuan, dan penentu masa depan bangsa. Literasi-preneurship sebagai model transformasi sosial mengimajinasikan bahwa aktivitas literasi dapat bergeser dari kebutuhan individual menjadi daya gerak yang berimplikasi bagi perubahan sosial. Jika aktivitasi literasi selama ini bertumpu atas motif kebutuhan pribadi, maka sudah saatnya untuk menggerakkannya menuju ranah sosial, itulah yang dimaksud dengan literasi-preneurship.

Maka literasi-preneurship mendekonstruksi konsep literasi sebagai kebutuhan individual menjadi perekat sosial yang berfungsi untuk mengemansipasi dan mengadvokasi kepentingan semua klas sosial. Literasi-preneurship melihat bahwa kemampuan membaca dan menulis adalah hak yang harus diperoleh oleh setiap orang. Kemampuan tersebut sebagai hak dasar, berarti membutuhkan dukungan. Dalam model literasi-preneurship, keberadaan komunitas literasi membantu terlaksananya misi tersebut. komunitas literasi merupakan bagian dari aspek literasi-preneurship yang diungkap oleh Gartner ataupun Kirtzner dengan what we do.

Model literasi-preneurship menggeser (shifting) membaca dan menulis sebagai “produk” bagi diri sendiri menjadi “produk” bagi kepentingan sosial. Literasi-preneurship mendorong tindakan membaca dan menulis menjadi cara untuk membangun relasi kemanusiaan. Proses literasi-preneurship seperti demikian terjadi misalnya dengan membentuk komunitas epistemik, menggagas gerakan sosial seperti komunitas literasi, atau menulis buku, artikel, opini di koran sebagai cara untuk memberi warna pada upaya pembentukan realitas yang emansipatif bagi siapa saja.

Literasi-preneurship berkaitan dengan cara mengolah minat literasi dalam ranah sosial, dan membaginya menjadi tindakan yang dapat membantu terbentuknya nilai-nilai hidup yang emansipatif, dan adil bagi siapa saja. Dengan demikian, literasi-preneurship secara historis muncul sebagai keniscayaan sejarah karena kebudayaan dan peradaban dibentuk berdasarkan pada cara mengelola minat individu agar berfungsi sebagai daya bagi kekuatan sosial.

Kekuatan sosial yang dihasilkan melalui literasi-preneurship adalah kesadaran mengenai realitas yang terjadi dalam pergolakan sejarah pada abad 21. Dalam hal pembentukan diskursus, literasi-preneurship merupakan cara untuk menyusun kembali gerakan sosial menjadi ranah pergerakan sosial yang berbasiskan pada ilmu pengetahuan melalui aktivitas literasi. Literasi-preneurship memfasilitasi ilmu pengetahuan sebagai disposisi wajib dalam tindakan-tindakan sosial. Hal ini misalnya terjadi dalam banyak kasus-kasus gerakan sosial anti rekayasa genetika, misalnya di India, Afrika Selatan, dan Brazil. Suatu kasus lain misalnya, gerakan pendidikan politik ala Freirian yang memanfaatkan pendekatan literasi melalui model pendidikan kritis sebagai cara untuk membentuk program-program gerakan sosial, atau model naturalisasi perjuangan revolusioner ala Marxian.

Di Indonesia, gerakan-gerakan sosial, termasuk gerakan sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, meletakkan basis perjuangan kemampuan literasi untuk bersikap menghadapi kolonialisme, korporatisme, dan libertaniamisme. Begitu pula dengan gerakan-gerakan sosial yang dalam istilah Benedict Anderson menggunakan jalur print-capitalism untuk membangun imajinasi perjuangan identitas bangsa, meskipun dalam pengertian yang digunakan bertumpu pada pemanfaatan medium tulisan untuk membentuk wacana dan diskursus khas. Dalam konteks demikian, aktivitas literasi kelompok kapitalis menghasilkan pertukaran gagasan melalui medium koran, atau pamflet-pamflet.

Salah-satu tantangan sosiologis Indonesia yang berkaitan dengan literas-preneurship adalah apa yang disebut embourgoisement oleh Veblen (1934), yakni satu kecenderungan kondisi social envy dalam masyararakat yang mewujud dari sikap imitasi klas bawah terhadap aspek sosial klas di atasnya. Hal ini memperlihat wujudnya dalam dimensi prestise, privilese, dan kekuasaan. Dalam kondisi tersebut, kehidupan sosial terstratifikasi secara rumit, dan memperlihatkan semakin jauhnya model komunalisme dalam masyarakat. Fenomena tersebut, tentu saja tidak hanya terlihat dalam masyarakat dengan basis budaya urban saja, melainkan juga masyarakat dengan sistem agraria namun dekat dengan imbas dari kebijakan developmentalisme.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK