Friday, April 24, 2015

Mastodon & Burung Kondor : Sastra, perlawanan dalam lingkaran Kuasa





By : Gus Ind (Pegiat RBK)



Rendra memang paham betul bagaimana kebebasan itu sebaiknya direbut, sementara teman-teman sebangku semakin tenggelam dalam pusaran gerakan revolusi yang diiming-imingi ampuh oleh para aktivis era yang genting itu.
  

Ia selalu asyik sendiri dalam dunia teater, senang memunculkan ekspresi yang mencengangkan para pendengar dan penonton. ini sungguh beda, bukan perkara ia mencoba untuk menjadi shakespeare saat mementaskan hamlet dengan versi nya sendiri, tetapi nyatanya sejak ia dianggap pemberi kejutan yang ulung dengan karya sastra-sastra nya yang semakin berkarakter, ia terlihat lepas terbang kesana kemari, seperti kondor liar yang tak ingin sayap besarnya itu dikekang dalam sarang, liar memang. 

“Mastodon & Burung Kondor” bukan hanya sekedar judul pementasan teater, seperti yang biasa kita temui di Taman Ismail marzuki (TIM) atau teater  sastra umumnya. Tidak aneh memang untuk sekelompok anak yang badung, kali ini bengkel teater harus kucing-kucingan dengan petugas keamanan agar semuanya tak berujung buruk dengan cekalan atau bisa saja culikan, apa saja bisa terjadi untuk mereka yang dianggap subversif. Maka itu semua harus disimbolkan dengan lembut, bahkan untuk kebebasan manusia sekalipun.

Hidup seekor burung memang keras, Rendra memaklumi itu, apalagi untuk seekor kondor yang terbiasa bertengger dipuncak batu. lingkungan kampus-kampus masa itu tak pernah kondusif untuk siapapun tuk keluarkan cakar panjang. arakan ini itu selalu dihadang mundur, birokrasi disana sudah dililit oleh ekor panjang mastodon yang menyusun cara aman dari mahasiswa radikal atau geliatnya para extremis.

Jose karosta pada penokohannya dan rendra sendiri memang sama-sama memimpikan kebebasan yang dibangun lewat ratapan-ratapan di atas panggung teater, berbeda dengan juan frederico yang lebih terlihat garang memobilisasi kelompok radikal,  menghimpun kesadaran dan dukungan secara terang-terangan. Apa yang dilalui kedua nya jelas berbeda alasannya, terang saja baik Jose dan Rendra menganggap pendekatan persuasif melalui budaya sastra lebih bisa menjemput perubahan, yang menurutnya dimana perubahan itu bukan hanya ibarat  ganti baju. Kematangan mental juga kesiapan akan menjemput revolusi itu lebih dahulu penting sebelum memulai, yang tak mudah dibentuk dengan hal instan. tentu saja ini membuat mereka lebih memilih untuk menjadi burung kondor, dibandingkan sang matador  yang mengundang banyak resiko didepan, jika tak dapat dihindari sang banteng bisa saja menjadi mastodon baru. 

Mastodon & burung kondor memang memicu perbincangan sejak diluncurkannya, bukan hanya tercatat sebagai kritik sastra panggung terhadap gerakan semu yang marak, tetapi jauh daripada itu tentang rezim yang totaliter mengarahkan peran instusi dalam memfilter resitansi berlawanan dengan kekuasaan pemerintah, juga cara pandang kita tentang perubahan. Jelas saja bengkel teater menjadi saksi sejak pentas ini diluncurkannya pada nov 1973 di hall kridosono yogyakarta, sempat mendapatkan cekalan karena dianggap kontroversial karena menyinggung pemerintah saat itu, tatapi akibat jaminan dan pertimbangan akhirnya pementasan pun dilakukan. Rendra memang dinilai lihai dan cerdik, sungguh bukti kemenangan sastra mampu meloloskan diri dari sangkar rezim menuju kearah Revolusi/Perubahan, sebagaimana harusnya berjalan Ampuh tidak instan.



Nb : Tulisan ini ialah catatan singkat tentang hasil diskusi Dejure edisi bedah karya sastra Naskah drama :  “Mastodon dan Burung Kondor” karya : W.S. Rendra, bersama pembedah: Lutfi Zanwar (Podjok batca, pegiat RBK) pada Jumat 17 April 2015 lalu.
  

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK