Monday, April 27, 2015

Peran Engels dan Agenda Rekonstruksi Marxisme Kontemporer (Resensi)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator Rumah Baca Komunitas

Pertama-tama, tulisan ini hendak membahas bagaimana buku Di Balik Marx; Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels (2015)—selanjutnya disingkat DBM—mengemukakan peranan Engels dalam pengembangan Marxisme dan kontribusinya bagi ilmu pengetahuan. Tulisan ini akan fokus pada dua aras peran Engels yang dibahas dalam DBM menyangkut; pertama, apa sumbangsih filosofis Engels dalam Marxisme dan filsafat secara umum?. Kedua, bagaimana sumbangsih filosofis tersebut memberikan implikasi dalam cara memandang manusia, dan masyarakat terutama dalam disiplin ilmu-ilmu sosial?.

Secara umum, pengaruh Marx dan Engels dalam disiplin ekonomi politik yang tentu saja berkaitan dengan sosiologi, adalah pada bagaimana menerapkan materialisme dalam proses dialektika sejarah manusia. Tentu saja, materialisme yang dipahami Marx dan Engels bukan merupakan materialisme klasik ala Feurbach yang menyatakan bahwa realitas, semata-mata merupakan hal ikhwal yang muncul dari objek. Bagi Marx maupun Engels, objek dalam materialisme dapat dipahami juga sebagai aktivitas subjektif. Materialisme demikian disebut ‘materialisme subjektif’[1] yakni bahwa realitas adalah hal-ikhwal yang berasal dari keberadaan objek sekaligus aktivitas subjektif. Dengan demikian, secara ontologis, materialisme ala Marx dan Engels berarti segala yang semesta fisik sekaligus bertopang pada semesta fisik.

Dalam kerangka materialisme baru tersebut, peran Engels sangat besar, terutama dalam membantu melengkapi proyek-proyek intelektual Marx untuk mengembangkan analisa materialisme mutakhir. Berkaitan dengan hal itu, Marx dan Engels memang bukan pencipta istilah dialektika materialisme, istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan pandangan dunia ala Marxis oleh Menshevik Georgy Plekanov tahun 1891. Sedangkan Engels sendiri juga tidak mengacu pada istilah materialisme historis, melainkan “pandangan materialis terhadap sejarah” (the materialist view of history). Kerjasama intelektual yang begitu penting tersebut diakui oleh Marx dalam surat yang ditulisnya untuk Engels yakni, “without you, I would never had been able to bring the work to a conclusion...”.  Peran Engels menurut Hollander, misalnya berkaitan kritik ekonomi politik, nilai dan distribusi, ketidakstabilan makroekonomi, proses industrialisasi, kondisi klas pekerja di Inggris (menyangkut pendapatan, pekerjaan, dan perkembangan populasi), dan lain sebagainya.

Peran-peran Engels tentu saja sangat luas bagi Marxisme. Kontributor-kontributor buku DBM mencoba mengetengahkan jawabannya melalui topik-topik seperti; Rekonstruksi Filsafat Engelsian, Historiografi Popular, Teori Negara, dan lain sebagainya. Pemilihan topik-topik ini dalam beberapa hal hendak membuka kemungkinan kembali bagaimana cara membahas Marxisme yang taat dengan refleksi dan konteks kontemporer perkembangan diskursus realitas sosial dalam ilmu pengetahuan. Dan yang paling penting bagaimana mengemukakan kembali Marxisme sebagai yang benar-benar berbeda dalam perihal kajian-kajian sosial berbasis analisis Marxian.

Upaya dan usaha yang dilakukan atau sedang dirintis oleh misalnya kelompok Marxisme ala Indoprogress dalam buku DBM ini, atau dalam istilah Surjaya dengan ‘mahzab’ Marxisme Kontemporer adalah melakukan pengkajian yang kontributif bagi persoalan-persoalan masyarakat kontemporer. Upaya kontributif yang dimaksud tentu saja adalah bagaimana memanfaatkan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai metode ilmiah.
Secara umum, sebenarnya pemanfaatan cara pandang Marxisme, dalam kajian-kajian ilmu pengetahuan sosial di Indonesia sedang dirintis, misalnya Eric Hiariej (2006) yang mengkaji kejatuhan rezim Soeharto dengan kerangka Materialisme Historis. Dalam bidang filsafat oleh Martin Suryajaya (2012), serta karangannya yang membahas asal usul kekayaan (2013). Sedangkan dalam percobaan teoritis dalam bidang antropologi misalnya Dede Mulyanto (2011). Di luar pekerjaan-pekerjaan akademisi Indonesia tersebut, pemanfaatan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai metode ilmiah sudah ramai dilakukan di ruang-ruang akademisi Amerika atau Eropa hingga Asia, misalnya dalam bidang hubungan luarnegeri oleh Rupert dan Smith tahun 2002 yang mencoba menganalisis globalisasi dengan konsepsi materialisme historis.[2] Kemudian mengenai internal dinamis dari mode produksi dalam bidang ekonomi politik oleh Jairus Banadi melalui kumpulan esainya.[3]

Dalam beberapa hal, pembaca yang kenal dengan kajian-kajian dalam literatur-literatur yang ditulis oleh akademisi Amerika, Australia, atau Eropa tentu akan melihat kembali secara afirmatif beberapa topik di dalam buku DBM seperti bentuk formal kajian akademik Marxian, namun dengan konteks upaya akademisi Indonesia untuk memanfaatkan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai metode ilmiah. Dan dalam beberapa tingkatan tertentu, ada dua upaya yang cukup meyakinkan ditampilkan oleh Dede Mulyanto melalui tulisan Prakondisi Anatomis kerja, serta Martin Suryajaya dengan Naturalisme Ontologis yang patut diapresiasi. Upaya Mulyanto secara umum adalah memperkenalkan penggunaan materialisme dialektika dan materialisme historis dalam kajian-kajian kontemporer. Sedangkan Suryajaya merintis berbagai teks yang diperlukan bagi pembentukan pemahaman-pemahaman Marxisme.

Terbitnya DBM, yang khusus mengkaji pemikiran Engels dalam Marxisme tentu merupakan suatu fase penting untuk meluruskan bagaimana dilema-dilema berpikir ilmiah, atau berpikir objektif setelah argumen-argumen post-modernisme yang menyatakan proses berpikir objektif dan evolutif sebagai sesuatu yang telah menegasikan keberadaan manusia. Kritik-kritik terhadap objektivitas dan penjelasan evolutif dalam ilmu pengetahuan sosial secara tidak langsung telah menyerang naturalisasi ilmu sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan Mulyanto tentang Prakondisi Anatomis Kerja dan Suryajaya tentang Naturalisme Ontologis menjadi penting untuk diperhatikan.

Berakhirnya Otonomi Filsafat

Dalam Ideologi Jerman, Marx dan Engels menyatakan bahwa “ketika spekulasi berakhir...ilmu yang (akan mengambil bagian untuk) menguraikan aktivitas praktis, proses praktis dari kehidupan manusia. Frase-frase kosong tentang kesadaran kemudian berahir...”.  Filsafat yang berkisah tentang spekulasi mengenai kesadaran manusia harusnya mengakui keterbatasannya. Engels maupun Marx, dalam hal ini menunjukkan bahwa lambat laun, penggambaran mengenai manusia harus melalui penyelidikan yang ilmiah. Melalui ilmu pengetahuan, rahasia di balik aktivitas manusia dapat diungkap. Sedangkan filsafat yang berpegang pada analisa spekulatif tidak akan bertahan. Yang dimaksud oleh Engels maupun Marx adalah perihal filsafat yang ‘memadai diri’ sebagai penjelas realitas. Filsafat yang memadai dirinya sebagai alat untuk mengungkap realitas berarti filsafat yang secara semena-mena mengambil otoritas dan otonomi dalam bidang penyelidikan tertentu. Dengan demikian, berdasarkan otoritas dan otonomi tersebut, filsafat seakan tidak ingin diganggu oleh temuan ilmu pengetahuan.  Padahal, otonomi itu sudah seharusnya diperiksa lagi.

Berkaitan dengan berakhirnya otonomi filsafat, salah-satu tulisan dalam DBM oleh Suryajaya hendak membahas naturalisasi ontologis. Tulisan Suryajaya mengungkapkan suatu proses rekonstruksi naturalisme ontologis melalui penyusunan kembali relasi antara Tesis Naturalisme Ontologis (TNO), Teorema Fundamental Dialektika (TFD) dan materialisme historis. Proyek penyusunan filsafat alam tersebut dilakukan melalui rekonstruksi naturalisme ontologis adalah dengan merumuskan definisi tentang “Ada”, “Asas Penjelasan”, “Parafrase disposisional”, dan “Tiga Hukum Dialektika”. Proses rekonstruksi yang dilakukan oleh Suryajaya berkaitan dengan proses pembuktian Tesis Materialisme Historis.

Materialisme historis berasal dari penerimaan Engels terhadap “Tiga Hukum Dialektika” Hegel dengan syarat rejeksi esensialisme dan fisikalime-Cartesian Hegel.[4] Tiga hukum dialektika Hegel direvisi tentu saja dengan beberapa catatan, merupakan bagian dari pengaruh Origin karya Darwin bagi Engels dan Marx. Menurut Marx, ketika mengomentari Origin karya Darwin kepada Engels sebagai “berisi keterangan mengenai basis sejarah alam” (natual history). Origin karya Darwin, membawa Engels pada kesimpulan bahwa Hegel telah berbohong dengan menyelipkan pembahasan alam dan sejarah, meskipun yang dilakukan Hegel sebenarnya adalah penyeledikan mengenai sejarah hukum pemikiran. Menurut Engels, Hegel hanya membahas mengenai sejarah dan ide, dan bukan eksplanasi tentang derivasinya dari sejarah alam itu sendiri.

Meskipun demikian, di Indonesia, rekonstruksi filsafat Marxisme, atau dalam hal ini Engelsian adalah soal bagaimana memecahkan persoalan klasik yang muncul dari dikotomi antara semesta fisik dan semesta mental. Persoalan klasik tersebut adalah seputar mana yang independen, mendeterminasi, atau pola relasional antara keduanya. Berkaitan dengan berakhirnya otonomi filsafat sebagai pembahasan umum, sebenarnya yang hendak dilakukan secara spesifik adalah bagaimana menunjukkan persoalan ini dalam perdebatan antara fisikalisme dan dualisme. Berhubungan dengan hal itu, buku DBM memaparkan kembali beberapa persoalan penting soal memecahkan persengketaan filosofis antara fisikalisme dan dualisme. Suryajaya misalnya menunjukkan pemecahan ini dengan memperlihatkan rekonstruksi filsafat alam Engelsian melalui model analitik terhadap tiga hukum dialektika.

Sebenarnya, Suryajaya dalam salah-satu artikelnya tentang Intensionalitas Fisik[5] membahas suatu cara pembuktian bahwa intensionalitas terdapat dalam semesta mental karena intensionalitas terdapat semesta fisik melalui rekonstruksi Tesis Umum Intensionalitas yang dibangunnya dari Martin Molnar. Sedangkan model pemecahannya dalam konteks ilmu sosial secara implisit muncul dari tulisan Iqra Anugrah dalam DBM yang membahas tentang historiografi Engelsian dengan menyatakan bahwa Engels sepenuhnya dalam kajian Perang Tani di Jerman tidak mereduksi aspek-aspek ideasional sebagai bagian dari kajian semesta mental yang seringkali dianggap abstraksi belaka sebagai bentuk kritik terhadap kajian Perang Tani Zimmermann.

Materialisme dan Ilmu Pengetahuan

Apa yang masih tersisa dari analisis Marxian atau Engelsian bagi perkembangan ilmu pengetahuan?. Pertanyaan ini menjadi salah-satu pembahasan yang menarik. Berkenaan dengan hal tersebut, dua pandangan umum mengemuka, pertama analisa Marxian masih dapat diterima sejauh analisa tersebut diletakkan untuk menjelaskan proses proses-proses perlawanan kelas,[6] emansipasi buruh[7], dialektika globalisasi, Nasionalisme, atau rekonstruski teori Negara. Kedua, adalah pendapat yang mempertanyakan analisa Marxian untuk menganalisis ekonomi, di mana, kenyataan bahwa kapitalisme merupakan dilema baru yang telah mewujud ke dalam perkembangan mutakhir.

Banyak kajian berkembang berkaitan dengan sejauh mana relevansi analisa Materialisme Historis pasca Perang Dingin. Komentator yang bergelut dalam ilmu-ilmu sosial beranggapan bahwa kejatuhan Soviet dan proyek politik tahun 1989 merupakan awal dari kejatuhan analisis Materialisme Marxis yang menyebabkan intelektual mulai tidak tertarik lagi untuk menggunakannya. Intelektual yang menganalisis proses-proses globalisasi dan privatisasi misalnya menganggap bahwa Materialisme Historis sebagai alat analisis tidak cukup baik untuk mengkaji persoalan senjata nuklir, kontrol militer, atau tentang bagaimana kekuatan finansial memainkan peranan besar pada masa sekarang.[8] Tentu saja, perkembangan mutakhir yang mewujud dalam problem-problem tersebut merupakan tantangan bagi penulisan-penulisan lanjut pasca buku DBM.

Kejatuhan peristiwa politik komunisme tidak serta merta membuktikan dua hal; pertama, bahwa materialisme dialektika-historis tidak dapat dicapai sebagai keniscayaan yang-ada. Sehingga dengan demikian merupakan suatu yang utopis dan tak relevan lagi dengan narasi-narasi emansipatif apapun. Kedua, karena relevansi materialisme dialektika-historis tidak dapat dicapai melalui manifestasi politik-ekonomi, maka materialisme dialektika-historis sepenuhnya utopis. Dua kritik tersebut pada aras yang pertama masih dapat diperdebatkan. Sedangkan untuk aras yang kedua, tidak dapat disangkal bahwa suatu penjelasan fundamental materialisme bahwa matter sebagai pembentuk esensi, atau bahwa dalam kasus pikiran sebagai yang diturunkan dari otak, masih terus dikaji dalam lapangan sains hingga hari ini.

Khusus dalam kajian perilaku, otak dan evolusi[9], hingga hari ini menunjukkan bahwa satu dari dua bagian isi dialektika materialisme yakni; entitas immaterial diturunkan secara niscaya melalui segala yang material berada dalam kajian serius sains. Perdebatan dalam lapangan sains yang menyangkut manusia dan alam semesta terus terjadi, yang pada satu sisi menunjukkan dasar asumsi dari pendapat Engels bahwa penjelasan-penjelasan (filosofis) yang tercerabut dari temuan ilmu pengetahuan berarti hendak membangun orientasi-orientasi utopis.

Salah-satu sumbangan besar Engels terhadap marxisme dan filsafat pada umumnya adalah program naturalisasi filsafat yang berkaitan dengan bagaimana aras kesadaran dan semesta fisik berkelindan. Lebih daripada itu, sumbangan naturalisasi filsafat memberikan kejelasan tentang posisi pemikiran ilmiah yang dilekatkan dengan sosialisme dan implikasinya terhadap perjuangan-perjuangan emansipatif. Melalui naturalisasi filsafat, perspektif Engels dapat digunakan untuk memberikan semacam panduan untuk menghindari terjebaknya perjuangan-perjuangan emansipatif ke dalam fiksi-fiksi kesetaraan. Artinya, alih-alih membebaskan manusia dan ekspersi-eksperisinya, yang terjadi justru terjebaknya gerakan-gerakan tersebut ke dalam agenda-agenda kapitalisme. Dan tentu saja yang lebih memalukan lagi, munculnya sikap anti ilmu pengetahuan sebagai basis dari perjuangan emansipatif. 

Dengan demikian, sumbangan penting Engels bagi ilmu pengetahuan dapat dilihat dengan dua cara. Pertama, berkaitan dengan peran Engels, misalnya dalam temuan-temuan filsafat alam tentang kosmogoni, fisika, kimia, dunia organik, dialektika dan lain sebagainya. Topik-topik tersebut dapat kita baca dalam salah-satu karya penting Engels, Anti-Duhring. Ulasan-ulasan Engels tentang sejarah alam semesta dalam Anti-Duhring paling tidak memperlihatkan kapasitas intelektual yang tidak main-main, yang pada beberapa sisi (dalam salah-satu pembahasan Anti-Duhring) mengingatkan kita pada kajian alam semesta Stephen Hawking dalam The Theory of Everything. Sumbangan pertama meniscayakan sumbangan kedua, yakni mengenai penjelasan-penjelasan mutakhir tentang ekonomi dan politik serta masyarakat, hingga manusia itu sendiri. Sumbangan-sumbangan Engels tersebut, beberapa telah disinggung dalam buku DBM, yang oleh karena itu, sumbangan kompleks Engels dalam satu sisi yang paling menarik adalah, bagaimana ia akan membantu rekonstruksi Marxisme kontemporer di Indonesia, karena melalui buku DBM ini kita diajak untuk memikirkan kembali segala cara pandangan teoritikal tentang manusia, masyarakat, dan alam semesta.

*tulisan ini dibahas dalam agenda DeJure Rumah Baca Komunitas, 10 April 2015

[1] Soal ‘materialisme subjektif’ lih, Martin Suryajaya, “Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis”,  

[2] Mark Rupert, dan Hazel Smith, Historical Materialism and Globalization, (London: Routledge, 2002).

[3] Jairus Banaji, Theory as History; Essays on Modes of Production and Exploitation, (Leiden: Brill, 2010).

[4] Ernst Mayr, “Roots of Dialectical Materialism”, http://www.ihst.ru/projects/sohist/books/naperelome/1/12-18.pdf diakses 12 April 2015.

[5] Martin Suryajaya, “Intensionalitas Fisik: Argumen Untuk Fisikalisme Non-Reduktif”, Jurnal Indoprogress, Vol. II, Agustus 2014.

[6] Misalnya, Peter Burnham, “Class, states and global circuits of capital” dalam Mark Rupert and Hazel Smith (eds), Historical Materialism and International Relations (London; Routledge, 2002).

[7] Kees Van Der Pijl, “Nomads, Empires and State” dalam Mark Rupert and Hazel Smith (eds), Historical Materialism and International Relations (London; Routledge, 2002)

[8] Michael Cox, “The Search for Relevance: Historical Materialism After Cold War”, dalam Mark Rupert and Hazel Smith (eds), Historical Materialism and International Relations, (London; Routledge, 2002)

[9] Misalnya, Gerarld E. Schneider, Brain Structure and Its Origin: in Development and in Evolution of Behavior and the Mind, (The MIT Press, 2014).

______________________________________________________________________________
Keterangan Buku

Judul Buku      : Di Balik Marx; Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels
Pengarang        : Dede Mulyanto (ed), Martin Suryajaya, Iqra Anugrah, Coen H. Pontoh, Mohammad Z Hussein, Stanley Khu.
Penerbit           : Marjin Kiri dan Indoprogress, 2015
Kota Terbit      : Serpong, Tangerang Selatan
Tebal               : 186 hlm. 

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK