Friday, September 4, 2015

Refleksi Sekolah Literasi (Bagian 2)

Oleh: Lutfi Zanwar Kurniawan
Pegiat RBK


Memasuki ruang kelas sekolah tidak selalu berarti mengalami kegiatan pembelajaran. Orang bisa saja hanya duduk, masuk ke dalam kelas, mendengar dan mengikuti uraian yang disampaikan sambil sesekali memainkan gadget, tetapi ia tidak pernah mengalami proses pembelajaran. Mengalami sesuatu seperti kita tahu berbeda dengan mengikuti. Meminjam istilah Nirwan Ahmad Arsuka, mengalami adalah membuka diri bertaut ke dalam bagian-bagian dari alam sesuatu itu, segaja atau tidak. Keseluruhan diri-tubuh kita yang mengalami itu terjun dan tercelup ke dalam apa yang dialami. Kita seakan-akan mengarungi dan menampung berbagai sifat alami sesuatu itu, beberapa diantaranya tertinggal, menetap, lalu perlahan-lahan tenggelam menjadi bagian dari bawah sadar. Pada saat-saat yang istimewa apa yang mengendap di alam bawah sadar hidup kembali memperkaya khazanah kehidupan kita.

Berbagai materi yang saya terima dari fasilitator dan peserta Sekolah Literasi yang diadakan oleh Rumah Baca Komunitas harus saya akui memberikan pengalaman mengalami proses pembelajaran. Walaupun saya sendiri belum berani mendaku bahwa materi yang disampaikan di Sekolah Literasi mewujud dalam kesadaran diri saya. Tetapi berada di kelas itu, mendengarkan uraian, mencatat, bertanya, dan menanggapi saya merasa turut larut, tercelup, berimajinasi terpaut pada suatu suasana, sebuah ruang waktu yang lain. Ada sesuatu yang meruah dan menjadi lebih intensif dalam diri saya. Bahwa apa yang mereka sampaikan di kelas itu bukanlah sesuatu yang mengawang-awang tetapi suatu yang kongkret yang dekat dan tak berjarak.

Konsep literasi yang sebelumnya kabur atau saya pahami sebatas kegiatan membaca dan menulis ternyata tak sekabur dan sesederhana itu. Melalui diskusi yang panjang dan pertemuan beberapa kali di sekolah literasi saya menjadi lebih memahami letak kekuatan gerakan literasi. Di satu sisi ini memperkaya wawasan saya tentang gerakan literasi, kedua memperkuat keyakinan saya ikut terlibat di gerakan ini. Dwi Cipta dari Literasi Press dengan penjelasan sederhananya mampu menjelaskan di mana letak kekuatan gerakan literasi. Pada pertemuan terakhir yang mengangkat topik Praksis Advokasi Gerakan Literasi mengatakan, “Gerakan Literasi Indonesia terinspirasi dari gerakan yang digagas oleh Hugo Chaves yang berjuang mengajari buruh-buruh tambang di Venezuela untuk membaca kontrak-kontrak kerja yang dibuat oleh majikan. Selama ini buruh-buruh itu banyak dirugikan dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena mereka tidak memahami isi kontrak yang mereka sepakati bersama majikan dikarenakan mereka tidak bisa membaca. Dengan kemampuan membaca, buruh-buruh tadi menjadi tahu bahwa mereka selama ini mendapat perlakuan tidak adil. Berawal dari membaca kemudian mereka melawan penindasan dan ketidakadilan.” Di sini membaca lalu memberi kita sebentuk keberanian untuk melawan terhadap segala macam kekuasaan yang hendak menindas dan berlaku tidak adil.

Cerita tentang Hugo Chaves menerbangkan ingatan saya pada tulisan Sindhunata yang berjudul, Ambil dan Bacalah. Terutama fragmen tulisannya yang bercerita tentang kegilaan membaca Don Quixote. Siang malam Don Quixote membaca novellas de caballeria, kisah-kisah kepahlawanan para satria. Malam tak membuatnya berhenti membaca. Ia menanti pagi dengan membaca, dan dengan begitu pagi tiba ia masih terus membaca. Demikian rajin ia membaca, sampai-sampai apa yang dibacanya menjadi kenyataan. Kisah peperangan, perselisihan, luka-luka, hinaan, pujian, penghargaan, dan cinta yang dialami satria dalam buku yang dibacanya menjadi kisahnya sendiri. Karena membaca, ia menjadi seperti satria yang berperang, berselisih, menderita luka dan hina, menerima pujian serta penghargaan, dan menikmati cinta.

Karena membaca, ia menghendaki fantasinya menjadi kebenaran. Bukan realitas yang memaksanya bertindak, tetapi suatu perasaan dan imagi magis yang ia peroleh dari bacaan. Seharusnya realitas yang bisa melawan dan menggugurkan pikiran. Tetapi pada Don Quixote yang terjadi justru sebaliknya: realitas yang harus tunduk pada bacaannya. Menurut realitas ia kehialngan akal. Menurut bacaan dan karena membaca, ia justru memperoleh akal dan kepercayaan. Ini sepertinya anggapan dan angan-angan idiot. Barangkali memang terdengar konyol dan idiot tetapi dari sanalah dapat dilihat betapa dahsyatnya daya suatu bacaan. Memang, kita ingin mengubah dunia. Upaya itu harus kita mulai dengan mengubah pikiran kita sendiri. Bagaimana kita mengubah pikiran kita, jika kita tidak membaca? Itulah pesan kisah Don Quixote, karikatur seorang yang gila baca.

Turun Ke Bawah
Kalau mayoritas masyarakat Indonesia sudah terbebas dari buta huruf lalu apa yang bisa dikerjakan oleh gerakan literasi? Menurutnya gerakan literasi harus menemukan konteks di dalam masyarakatnya. Mayoritas masyarakat Indonesia saat ini sudah terbebas dari buta huruf, namun mereka kerap buta dan tidak menyadari bahwa mereka kerap mendapat perlakuan tidak adil dan penindasan entah itu dari negara atau sistem sosial yang berjalan saat itu. ditopang oleh kegiatan, membaca, menulis, diskusi, riset, dan aksi gerakan literasi saat ini harus mampu membuat masyarakat mampu membaca dan menyadari kondisi realitas sosial atau permasalahan di sekitarnya.

Dwi Cipta menambahkan, “masalah yang kini dihadapi oleh intelektual atau orang-orang kita adalah keengganan mereka bekerja turun ke bawah bersama masyarakat.” Gerakan Literasi Indonesia bersama teman-teman lintas komunitas ketika kerja bahu-membahu bersama warga rembang menolak didirikannya pabrik semen. Saat itu wacana yang santer beredar di masyarakat bahwa dengan adanya pabrik semen akan memberikan dampak keuntungan ekonomi kepada masyarakat sekitar pabrik. Mengurangi pengangguran, dana CSR sebesar tiga milyar akan digelontorkan oleh perusahaan.

Diperlukan kajian akademis untuk membuktikan bahwa wacana itu salah. Mereka riset langsung ke lapangan untuk menghitung angka potensi ekonomi yang dihasilkan oleh lahan yang akan didirikan pabrik. Hasilnya ternyata apa yang dijanjikan oleh pabrik semen masih lebih kecil. Berpijak pada membaca, menulis, dan riset mereka mereka mengembangkan gerakan, praksis advokasi.

Dengan begini jelas kiranya betapa konstruktif arti dari gerakan literasi yang ditopang oleh kegiatan membaca, menulis, dan riset dalam melakukan kerja-kerja advokasi. Kerja advokasi tentu menjadi kurang berarti dan memiliki taji jika orang-orang yang terlibat tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai akan masalah. Di titik ini pengertian konvensional kita tentang gerakan literasi sebagai gerakan meningkatkan minat baca tidak lagi memadai.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK