Thursday, September 3, 2015

Bukan Bengkel Literasi

David Efendi, Pegiat RBK
Gagasan "sekolah" literasi di RBK lahir bukan didesain untuk teknikalisasi atau fabrikasi komunitas yang rentan dengan proses mekanistik yang tidak apresiatif dengan kreatifitas dan proses evolusi ilmiah. Mendesain dan mempraktikkan model belajar manusiawi--interaksi non-doktriner yang memanusiakan serta menghargai keragaman peserta belajar. Artinya, inklusifisme dalam belajar merupakan keniscayaan yang perlu diciptakan bersama-sama.


Harus diakui, substansi partisipatoris dalam beragam training sering berujung pada dominasi yang laten. Taruhlah contoh, seorang fasilitator yang berubah menjadi penceramah atau seorang yang menyebut dirinya hanya fasilitator ternyata mengendalikan waktu dan jalan kegiatan yang menjadikan peserta kehilangan kenyamanan dalam proses belajar. Metode belajar gaya kyai atau gaya bank hari ini benar benar tak dapat diterima oleh kalangan anak anak muda bahkan anak anak TK. Mempertahankan car belajar demikian menjadi ironi karena kegagalan menjadikan manusia itu punya pengetahuan dan kreatifitas. Fasilitator tahu segalanya, merasa tahu semua hal, dan menjadikan peserta merasa bodoh adalah kegagalan paling berbahaya dalam proses pembelajaran komunitas. Ini belajar gaya militer bagi manusia manusia pendamba kebajikan akal fikiran. Tugas semua orang untuk melakukan pembaharuan cara belajar terus menerus sesuai konteks zaman.
Dari cerita sekolah literasi baik yang saya saksikan, dari WA, dari obrolan dengan fasilitator dan peserta serta refleksi dari teman-teman pegiat ada beberapa catatan yang perlu saya curhatkan di sini; bukan dalam rangka menghakimi tapi menemukan makna makna baru yang menguatkan;.
Pertama, level paradigmatik penyelenggara. Kedua, level konsepsi kurikulum. Ketiga, level interaksi manusiawi dalam proses dan keempat level evaluatif materi, penyajian dan capaian.
Pertama, paradigma sebagai cara memandang diri dan dunia luar merupakan hal sangat mendasar yang secara langsung berpengeruh bagaimana perlakuan seseorang pada dirinya, pada kemampuannya dan juga kepada orang lain atau lingkungan lain. Terlalu inward looking sering terjebak pada superioritas dan terlalu over outword looking akan berakhir pada psimisme yang berakibat tidak PD akan peran yang dilakoni. Nalar apresiatif sangat penting untuk memperkuat posisi secara manusiawi. "Tidak ada yang sempurnah" tapi yang tak sempurna itu sangat bermakna. Inilah brainstorming awal setidaknya yang perlu dimiliki oleh penyelenggara. Keinginan mengubah keadaan secara instan hanya akan melukai optimisme. Paradigma emansipatif, pedagogis, inklusif serta apresiatif sangat penting hari ini untuk memulai memikirkan landasan epistimologis dan aksiologis gerakan.
Kedua, kurikulum adalah kbutuhan peserta setelah melakukan aksesmen di hari pertama atau pra training. Asesmen akan sangat penting membentuk antusiasme warga belajar karena memang materi itu yang diharapkan didambakan peserta. Tanpa asesmen yang tepat suasana pembelajaran dapat dengan mudahnya berubah menjadi suasana sosialisasi. Kurikulum didesainnbareng dengan komitmen hal hal positif yang mesti dijaga selama proses pelatihan ( kontrak belajar). Sangat bagus, jika kontrak belajar tidak berisi larangan larangan tapi hal hal yang menguatkan potensi apresiatif.
Kurikulum yang pas menurut hemat saya adalah materi yang ditargetkan untuk (1) memungkinkan potensi setiap peserta berkembang tanpa mengabaikan salah satu pun dari warga belajar; (2) memantik berbagai gagasan orisinil yang dimiliki peserta; (3) mengembangkan nilai apresiasi sesama ; (4) merawat dan menumbuhkan kepercayaan diri akan eksistensi perannya dalam komunitasnya atau dalam keluarganya; (5) menjadi media interaksi sosial yang dinamis dan kretif; (6) serta menumbuhkan keberanian sikap dan tindakan yang dilandasi pengetahuan; dan sebagainya. Banyak hal positif secara mandiri juga diserap oleh peserta dengan logika dan emosi masing masing.
Ketiga, nuansa interaksi manusia adalah keinginan semua orang. Tak mungkin ada yang menolak suasana humanis dan damai nyaman belajar bersama orang orang baru dikenal. Nilai nilai humanisme secara sederhana dapat dijelaskan dengan metode apresiatif inquary--semua orang punya kekuatan dahsyat yang disadari maupun tidak/kurang diketahui. Dengan penghargaan atas potensi semua orang kekuatan dalam diri memungkinkan tumbuh. Will to improve atau N-ach adalah suatu tendensi umum yang berhak untuk dirawat dan dipelihara. Fasilitator dan peserta yang baik adalah orang yang ingin maju berdaya bersama sama. Tidak keberatan memberikan bantuan dan berbagi sesama. Egoisme dan narsisme adalah dua problem yang harus diwaspadai. Termasuk suasana antar peserta yang saling mengalahkan dan menjebak yang berakibat pihak lain malu adalah interaksi buruk yang harus dihindarkan. Adil harus benar benar sejak dalam pikiran dan sampai perbuatan. Open minded dan terbuka menerima perbaikan adalah jiwa kstaria hebat yang perlu ditumbuhkan.
Untuk belajar secara manusiawi, ada beberapa buku yang perlu untuk dibaca dengan penuh kesungguhan rasa seperti buku buku Paulo Friere politik pendidikan dll, buku sekolah itu candu, buku pendidikan populer karya Mansur Fakih dan masih banyak lagi. Setidaknya pengetahuan tersebut menancapkan filosofi pendididikan dan pembelajaran agar tidak menjadikan ruang belajar sebagai bengkel yang mekanistik dan cenderung dehumanis. Inilah kepentingan kita untuk menghargai proses bukan berlari kencang mengejar hasil semata.

Terakhir adalah keberanian evaluatif sebgai bentuk kepribadian mulia bahwa kita sadar manusia adalah makhluk pembelajar--belajar dari masa lalu dan masa depan untuk memberikan bekal bagi jiwa dan akal kebajikan. Tanpa merasa kurang dan terbuka kritik perbaikan maka kita telah memenjarakan akal kreatif kita untuk mentok pada kepuasan semu. Pujian keberhasilan penyelenggaraan kegiatan bukanlah target dari kegiatan pembelajaran namun sejatinya trget adalah bagaimana tahapan belajar satu menuju tahapan berikutnya dengan antusias dan semangat. Kata plato, pendidikan itu bukan mengisi air dalam bejana tetapi menyalakan lampu penerang bagi kegelapan.

Sangat pas mengutip Yudi Latif, jenis keberpihakan kita yang dibutuhkan negara adalah patriotisme progresif dimana generasi muda tak sibuk mencela, melawan yang tidak disuka tetapi harus menawarkan alternatif perbaikan secara nyata. Saatnya menyalakan lampu bukan mengutuk kegelapan. Semoga manfaat bagi saya dan pembaca


No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK