Monday, November 2, 2015

Inconvenient Truth


Iqra Garda Nusantara

Judul ini serius sebagai terma besar yang sedang dibicarakan banyak orang di berbagai forum internasional dan regional. Judul itu mengilustrasikan kebenaran yang tak diinginkan atau fakta yang tak menyenangkan. Tentang apa? Tentang merosotnya kenyamanan planet bumi sebagai tempat hidup 7 miliar manusia. Bencana ekologis mengepung manusia dari segala penjuru mata angin.
Inconvenient truth itu adalah tragedy of the common atau kebenaran yang nyata tentang tragedi semesta raya. Karena tragedi lebih besar dari kekuatan manusia maka fakta ini mencengangkan bagi manusia karena merasa nothing to do untuk menghadang kerusakan. Manusia kebanyakan hanya pasrah: siap qiamat sejak tahun 2012.
Tak hanya di darat. Di laut, di udara, di air tanah, di hutan, di kota, di desa dan di kepala miliaran manusia. Bumi yang kecil ini sedang menghadapi catastrope maha dahsyat. Saya tak perlu menggunakan terma global warming atau climate change tapibisa disaksikan setiap hari alam memperlihatkan superioritasnya. Sering kali manusia dibuat tak berdaya (powerless). Tak mampu melalukan apa apa selain menunggu giliran punah.
Pagi tadi saya berkesempatan mndengar pidato yang sangat berisi dari Dr Surin Pitsuwan, mantan sekjend Asean. Dia jebolan harvard university. Ia merspon anomali ekologis akhir akhir ini yang mengentakkan kesadaran insani di banyak bagian bumi. Termasuk pembakaran hutan terbesar sepanjang zaman di Indonesia bulan pktober ini.
Ada empat point penting yang saya catat dalam kesempatan baik tadi. Pertama, fakta tak terelakkan tentang degradasi lingkungan hidup. Kenyataan bahwa banyak situasi yang menjadikan persoalan ekologis terjadi sebagai dampak dari perilaku manusia. ratusan juta tahun lalu, ada fenomena bencana alam yang murni fenomena alam yang menyebabkan kepunahan makluk hidup. Manusia belum ada di sana. Jadi, pasti bukan disebabkan tangan manusia.
Kedua, keserakahan rezim pertumbuhan (economy growth paradigm). Kenyataannya, orientasi terhadap pertumbuhan ekonomi menjadikan banyak negara khususnya di Asia justru collaps seperti yang terjadi di negara negara Asean pada tahun 1997. Doktrin neolib dan resep IMF itu tak lain tak bukan adalah perusak kedaulatan ekonomi atau meminjam bahasa Parkinson, "economy hit man." Banyak pula yang mengamini bahwa pertumbuhan tak setara dengan kesejahteraan dan kebahagiaan. Sementara kerusakan telah diciptakannya by design. Hal yang seringkali dimarginalisasi oleh rezim pertumbuhan adalah kebebasan sipil yang menurut Amartya Sen adalah unsur sangat penting dalam pembangunan.
Kenapa perlu kebebasan? Dengan kebebasan seseorang dapat menjaga haknya, memaksimalkah daya kreatifnya, memberdayakan potensinya, dan memperjuangkan kehendaknya.
Ketiga, filsafat ekonomi berkecukupan (Sufficient Economy philosophy). Istilah ini merupakan respon Kebudayaan Thailand untuk mengembalikan kekuatan bangsa pasca hentakan krisis moneter yang menerjunkan kurs Baath atas US Dollar. Di Indonesia ekonomi berkecukupan ini senada dengan filosofi jawa yaitu "cukup" sebagai antidote dari hasrat menumpuk kapital. Dalam hal ini juga sesuai dengan nilai nilai koperasi atau ekonomi gotong royong.
Terakhir, kontribusi proporsional untuk melambatkan roda kepunahan penduduk bumi. Masih banyak yang bisa dilakukan oleh manusia untuk memproteksi alam sesuai dengan kemampuan masing2 mulai dari hal kecil. misalnya, mengurangi menebar karbondioksida, mendaur ulang, reuse apa saja sebisa mungkin. Bagi pengambil kebijakan juga bisa menciptakan kebijakan yang pro-hijau, dan seterusnya. Inilah sebenarnya merupakan bagian dari pelaksanaan 2030 agenda PBB untuk sustainable development oleh siapa saja di mana saja di planet bumi.
Untuk mengakhiri tulisan ini saya berkeyakinan, 7 miliar manusia adalah beban bagi bumi secara faktual. Jika ada 1% saja manusia rakus maka bumi tak akan mampu bertahan tanpa kesadaran dan aksi 99% penghuni bumi untuk mencegah dan merawat bumi. Fondasi filosofi manusia yang kuat sebagai penjaga bumi bukan penguasa bumi sangatlah perlu sehingga tak ada lagi situasi negara maju menjadi serigala bagi negara miskin atau berkembang. Tak ada lagi perdagangan eksploitatif yang merusak keseimbangan ekologi, kesetiaan sosial, dan kebudayaan. Manusia milik bumi, bukan bumi milik manusia. Ini salah satu mindset yang perlu diinternalisasikan pada sikap dan perilaku semua anak manusia. Demikian sarapan pagi ini disajikan. Semoga manfaat. Selamat pagi. Syakir IP Umy Lutfi Zanwar Kurniawan Yoga MascuOktaviani zedAbdullah Zed Munabari lisa

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK