Tuesday, November 24, 2015

Orang-Orang Bekerja Tanpa Sumpah

Oleh: David Efendi

Lahirnya tulisan ini hendak Merespon tulisan reflektif arya dan teman-teman kemarin yang baru aku bacai dini hari tadi. Yapszzz, refleksi singkat padat itu mengingatkan saya tentang buku robert Putnam "making democracy works..." Ihwal bagaimana kelompok voluntary association berkontribusi besar terhadap bekerjanya demokrasi di Amerika pada umumnya dan di beberapa negara lainnya. Kekuatan sukarela juga dianggap membersarkan jepang sampai menjadi negara maju.

Jepang punya keajaiban berkali kali termasuk saat hadapi dual disaster 2011 (tsunami dan nuklir).
Orang melihat jepang seringkali dari aspek teknologi dan kemajuan industri otomotif, tapi lupa membaca infrastuktur kebudayaan dan tradisinya. Membaca jepang lewat novel Mushasi, Twilight Samurai, dll adalah jalan mengerti jagad besar jepang. Saya membaca The Japan Miracle ihwal kekuatan ekonomi jepang yang dibalut kekuatan sosial dan tradisi. Jepang punya hasrat dan praktik kerelaan yang dahsyat.

Kelompok paguyuban yang kecil kecik tapi jumlahnya besar itu betul betul bekerja (its really matter) di mn kelompok ini menjadikan negara tidak mnjadi pelampiasan kemarahan publik karena komunitas telah berusaha memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Pecinta bowling, misalnya, mendapat ruang publik baru di arena bowling dan tak menuntut negara harus begini harus begitu. Masyarakat tidak dibuat tergantung kepada kekuasaan negara, pada program charity pemerintah.
Contoh lain dipaparkan Boyte dalam bukunya everyday politics| connecting citizen...bagaimana orang sipil berkelompok untuk memenuhi keinginannya dan yappss itu bisa dikakukan. Dengan demikian, negara harus kreatif memberikan sesuatu yang berdampak. Negara tak perlu banyak mengatur mungkin negara bisa mendorong, memfasilitasi, menguatkan peran kebaikan publik.

Sepuluh tahun terakhir ada upaya standarisaai pekerja sosial di muka bumi, termasuk di indonesia. Ada syarat kecakapan tertentu sehingga seorang layak disebut pekerja sosial. Tapi itu tak banyak berpengaruh pada "pekerja sosial" dilevel atau aras lain. Banyak kelompok atau individu "pembaharu sosial" atau abdi masyarakat yang banyak tapi tak butuh sertifikat "pekerja sosial". Pengasuh panti asuhan, jompo, anak jalanan atau rumah singgah, dan di panti rehabilitasi. Tapi, ada banyak pembaharu ekologi, ponpes ekologis, kyai ekologi, pemuda pecinta sampah, dsb tak hendak disertifikasi. Tapi ada sertifikasi mubaligh akhir2 ini menimbulkan efek geli.

Saya sedikit punya latar penelitian panti asuhan yang juga soal pekerja sosial anak. Memang iya, ada kebutuhan pembaharuan tata kelola asuhan anak yang perlu diperkuat kebijakan sosial. Ada kecenderungan pengelola panti menjadikan anak2 panti sebagai komoditas yg dibalut religiusitas. Banyak praktik dehumanisasi di lembaga panti. Salah satu upaya intervensi adalah dngan pendekatan apresiatif inquary untuk anak dan pengelola lembaga sosial. Pendekatan ini mencoba memperkuat apa yang telah ada sekaligus mengubah paradigma mengelola manusia yang notabene mereka punya jiwa dan punya emosi fikiran (bukan robot).

Kembali ke pengrajin sosial yang tak ada orientasi ekonomi material. Salah satu pembedah pekerja atau pegiat sosial ini adalah bekerja tidak dibawah sumpah. Pegiat literasi RBK tak punya sumpah jabatan atau SK amanah untuk bekerja paruh waktu part time worker atau sepenuh waktu, fulltime. Bergiat dan bekerja dengan cara dan gaya sendiri, tak ada dorongan dari siapa pun sebagai motive of atau motive for ( saya lupa istilah Max Weber soal motivasi tujuan dan sebab). Passion aktifisnya yang menentukan berbuat apa dan bagaimnana. Selalu mencari penyegeran baru (social innovators).
Berbeda sekali dengan para pekerja di bawah sumpah yang punya konsekuensi atas tidak atau dipenuhinya sebuah komitmen. Kita saksikan hari ini, Banyak organisasi berbasis agama juga kini biasa bekerja di bawah sumpah amanah jabatan. Pertanyannya, Apakah jika tanpa sumpah akan dapat bekerja? MUngkinkah seorang bekerja dgn sumpah jabatan menamakan dirinya sebagai abdi negara? Sebagai relawan sosial?

Contoh, MUI jelas punya sumpah untuk menyumpahi atau menyesatkan. Sama persis petugas front office lion air yang kalau ditanya mana bos atau manegemen atasan selalu bilang "maaf, atasan kami tidak ada ditempat." Seperti mesin yang bunyikan bell atau anda pasti ingat program karyawan ****mart atau ****mart yang disetel ngomong "selamat datang...dan terima kasih" pada para pembeli yang datang-pergi silih berganti.

Apa akhir dari pesan tulisan singkat ini? Tak ada yang istimewa barangkali hanya sedikit membangun kesadaran bahwa derajat kekuatan sosial dalam diri kita sebgai homo socius adalah seberapa daya tahan kita untuk bekerja tidak di bawah sumpah. Itu memperlihatkan komitmen seseorang akan arti kerelaan menjadi manusia yang bermanfaat. Ini bisa menjadi standar moral authentik untuk bekerja bukan karena kekuatan eksternal yang lebih kuat. Taruhlah contoh: menteri bekerja atas kekuatan memaksa sang presiden. Tanpa paksaan dan ancaman kadang kita saksikan para pekerja di bawah sumpah jabatan itu mlempem. Bagaimana kalau menteri dan presiden itu bekerja tanpa sumpah? Hanya tuhan yang tahu tapi perlu refleksi.

Sekian para pegiat, selamat siang semoga produktif berbuat kebaikan.

‪#‎janganbosanmerawatKEBAIKAN‬ ‪#‎pegiatRBK‬

RS Arsy, 22 nop2015

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK