Saturday, November 14, 2015

Resensi Buku Bagus

DISKUSI BUKU ICAS: 


“ MENANAM SEBELUM KIAMAT”

bandung.jpgKamis, 6 Desember lalu, Sindikat Mahasiswa Otonom, yang dimotori oleh Hardiansyah Suteja, mahasiswa Program BA ICAS Jakarta semester 5, mengadakan Diskusi atau Bedah Buku Menanam Sebelum Kiamat. Buku tentang ekologi dan gerakan lingkungan hidup dari sudut pandang Islam tersebut adalah buku terbaru terbitan ICAS Jakarta Publishing House.cover-buku-menanam-pohon.jpg
Hadir sekitar 40 mahasiswa pada acara diskusi Buku itu. Acara itu menampilkan dua orang editor dan penulis buku tersebut: Fachruddin Mangunjaya, M.Hum, aktifis Conservation International Indonesia  (CII), dan Ir. Husain Heriyanto, M.Hum, Direktur Departemen Riset ICAS, dan Ahmad Samantho, Manager Divisi Publikasi ICAS Jakarta.  Hardiansyah  bertindak sebagai moderator dalam diskusi buku yang mendapat sambutan hangat antusiasme para peserta itu, terbukti dengan gencarnya pertanyaan dan komentar dari sedikitnya 10 penanya.
Pak Rudi (panggilan akrab Facfruddin Mangunjaya) mengungkapkan bahwa Islam memiliki pandangan yang menyeluruh tentang lingkungan. Nilai-nilai Islam sangat konsern pada isu-isu sosial dan di saat yang sama juga sangat akomodatif terhadap isu lingkungan. Ini adalah system atau tatanan nilai yang tidak ditawarkan oleh teori-teori ekologi yang lain. Pak Rudi mempertegaskannya dengan mengutip ayat al-Quran: ”Dan janganlah berbuat kerusakan di bumi  setelah Allah memperbaikinya”,  Ayat ini, menurutnya, secara eksplisit menegaskan pentingnya menjaga lingkungan. Selanjutnya Rudi memberi contoh bahwa pada masa Rasulullah SAW, sudah ada konsep Hima (kawasan lindung)dan konsep Harim yaitu bahwa pohon atau sumur dalam jarak radius 20 meter harus bebas dari bangunan-bangunan, rumah dan lain sebagainya.
Rudi juga mengajak peserta untuk mendiskusikan berbagai aktifitas yang berhubungan dengan upaya membangun kepedulian terhadap lingkungan dan pelestarian atau konservasi alam melalui ajaran Islam. Ia bercerita tentang kerjasamanya dengan beberapa ulama atau kyai pesantren untuk menyusun sebuah dokumen yang menjadi pedoman fiqh lingkungan hidup (fiqh al-biah).
Dokumen tersebut kemudian digunakannya sebagai alat  untuk pendekatan terhadap berbagai lapisan kepemimpinan: dari para pembuat kebijakan di pemerintahan, sampai pada para imam mesjid, para ustadz dan ulama, begitu juga para pemimpin informal masyarakat dalam berbagai komunitas.  Menurut Rudi, di Indonesia ini tidak ada resistensi atau penolakan berarti dalam upaya memobilisasi kaum Muslim untuk berpartisipasi dalam upaya pelestarian (konservasi) alam dan lingkungan. Dan, lemahnya penolakan terhadap upaya konservasi alam dan lingkungan dari masyarakat pada umumnya adalah berkat peran dan kepedulian para ulama dalam mencegah kerusakan lingkungan.
Rudi yang juga Redaktur Eksekutif Majalah Tropika, secara tegas mengkritik cara pendekatan para aktifis lingkungan yang sekuler dan konvensional dalam menghadapi problem krisis lingkungan di Indonesia. Karena hal itu dinilainya tidak efektif dan kontra produktif.
Dari sudut pandang yang sejalan dengan Rudi, Husain Heriyanto menjelaskan bahwa krisis ekologi saat ini telah menjadi begitu sangat kompleks, sehingga pemecahan masalahnya yang layak pun menjadi sangat kompleks pula. 
Kompleksnya problem lingkungan saat ini tidak lepas dari  faktor politik, hukum dan ekonomi. Misalnya, orang membabat hutan lebih didorong oleh motif ekonomi. Selain itu, karena belum terlihatnya upaya pemerintah dalam menegakkan hukum (law enforcement) terhadap orang yang melakukan pembabatan hutan (Ilegal Lodging)
Ekologi Islam, yang berdasarkan pada pandangan dunia realisme Islam, menurut Husain, merupakan mahzab pemikiran menjanjikan, yang mampu menghadapi krisis global saat ini. Ekology Islami dapat menyediakan pendekatan yang bersifat multidimensional dan multidisipliner untuk mengeksplorasi masalah lingkungan dalam perspektif yang luas mencakup filsafat, kosmologi sakral, tasawuf, etika, fiqh, sains, ekonomi, politik, kebijakan publik, organisasi keagamaan, basis kemasyarakatan dan sumber-sumber material.
Kontribusi yang paling penting dari Ekologi Islam terletak pada karakteristiknya yang dapat mengitegrasikan berbagai dimensi dan perspektif tentang issue lingkungan dalam sebuah kerangka kerja yang terpadu dan menyeluruh. Tidak sebagaimana “Ekologi Dalam” (Deep Ecology) dan Social Ecology, Ekologi Islami dapat secara proporsional mengakomodasi program-program konservasi lingkungan dan wacana pembangunan secara simultan, begitu juga dapat mengakomodasi masalah spiritual dan perubahan sosial. “Ekologi Islam juga dapat menggabungkan dimesi etika dan upaya-upaya ilmiah dalam menghadapi masalah lingkungan.”, papar alumnus Institut pertanian Bogor dan Magister Filsafat UI tersebut.
Sementara Ahmad Samantho, sebagai pembahas pada Diskusi Buku ini menyimpulkan bahwa krisis ekologi dan kerusakan lingkungan hidup adalah bagian dari krisis multidimensional yang berakar pada krisis eksitensial pada pandangan dunia modernisme materialisme-sekuler saat ini. Dengan mengutip pendapat Seyyed Hosein Nasr, Samantho mendeskripsikan bahwa manusia-manusia modern telah menjadi seperti Zombie, mayat berjalan, tanpa ruh kehidupan sejati, yang bekeliaran ke sana kemari sebagai predator yang memangsa sesama dan alam lingkungannya dengan rakus tanpa kesadaran. Intinya adalah karena ia tak mengenal dirinya (krisis eksistensi) maka ia tak mengenal Tuhannya dan alamNya. Akhirnya alam hanya dijadikan objek jarahan dan perkosaan saja.
Berbeda halnya dengan pandangan dunia Islami, yang melihat semua yang ada di alam semesta ini sebagai cerminan dan tanda-tanda (ayat-ayat) kebesaran Tuhan pencipta, sebagai wajah-wajah dan manifestasi Tuhan, di mana diri sejati manusia, yang berkesadaran tinggi adalah sebagai bagian dari ruh Allah (min Ruhillah), maka ia akan melihat alam sebagai bagian dari dirinya sendiri yang hakiki dan Tuhan Allah sebagai pusat eksistensi dan Wujud Mutlak. Terminilogi “Alam” – “Ilmu” dan “Al-Alim” (Tuhan yang Maha Mengetahui) adalah satu akar kata yang terdiri dari huruf Alif Lam Mim.  Dalam pepatah lama Indonesia ada ungkapan “Alam terkembang menjadi guru (ilmu)”.
Dari pengalaman pribadinya sebagai aktifis pecinta alam sejak usia kanak-kanak sampai dewasa kini, yang terbiasa dengan aktifitas di alam bebas, dan  didikan ayahnya yang sarjana dan peneliti pertanian-perkebunan, ia menemukan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Tuhan  yang Maha Pencipta Alam Raya, pada setiap makhluk yang nampak di alam semesta, Kenang Ahmad Samantho.
Beberapa mahasiswa seperti Khumeidi, Syukron, Rahmi dan Fathi, mengungkapkan ketidaksabaranya untuk segera berbuat dan menerapkan action plan dalam mengahadapi krisis lingkungan ini. Dengan semangat mudanya mereka begitu bergairah untuk berbuat menyelamatkan lingkungan dan kesal terhadap para perusak lingkungan hidup. Reno Azwir misalnya berkata: “Seharusnya yang diwajibkan ikut diskusi buku dan seminar lingkungan seperti ini adalah para pejabat pemerintahan dan para pengusaha kapitalis global. Merekalah penyebab utama kerusakan lingkungan dan krisis ekologi seperti Global Climate Change akibat Global Warming sebagai efek industrialisasi tanpa kendali saat ini. Seperti Amerika yang sampai aat ini tak mau menandatangani Protokol Kyoto.”
Sebagian mahasiswa tidak sabar untuk berlama-lama berwacana dan berteori dalam forum diskusi.  Menurut mereka yang penting adalah bergerak dan berbuat segera.Menanggapi semangat yang menggebu tersebut, Husain Heriyanto menghargainya sebagai semangat pemuda yang rindu perubahan, namun Husein pun mengingatkan kembali bahwa krisis ekologis saat ini sangat kompleks, maka pemecahannya juga kompleks. Tidak cukup beraksi tanpa basis ilmu pengetahuan teoritis dan kajian ilmiah sebelumnya. Fachruddin menambahkan: “Bahkan di Conservation International, NGO tempat saya berkhidmat pun, para aktifis lingkungan di CII hampir semua berbasis pendidikan minimal S-2, dan kebanyakan adalah Ph.D dari berbagai disiplin ilmu. Karena mengatasi krisis lingkungan, tidak semudah membalikkan telapak tangan.”  Dalam bahasa Husein, karena krisis lingkungan itu penyebab utamanya adalah pandangan dunia: filsafat materialisme-modernisme-sekular, maka untuk menghentikan penyebab utama ini harus dihadapi dengan pandangan dunia juga yang bersifat filosofis Islami yang holistic-integratif. Atau dalam ungkapan Ahmad Samantho: “Gerakan revolusioner tidak mungkin tumbuh dan berkembang secara substantive tanpa dimulai dan dibarengi dengan revolusi pemikiran dan kebudayaan, termasuk kajian-kajian teoritis.”  *** AyS.
Kiriman :
Ahmad Y. Samantho
ICAS Public Relation Dept.
0062-21-7651534
0062-817 89 7739
email: ay_samantho@yahoo.com
http//:www.ahmadsamantho.wordpress.com

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK