Tuesday, November 24, 2015

Memecahkan Trade-Off

Oleh: David Efendi

Tulisan ini hendak membincang persoalan serius trade-off yang dialami negara dangan uraian sederhana. Soalnya begini kira kira:

Negara A : dengan mengeluarkan uang besar negara punya sdm melimpah, banjir PhD kayak di India dan kelas menengah memggelembung, tapi komitmen sosial rendah.

Negara B: sedikit PhD, sdm tak istimewa, masyarakat punya spirit asosianism, volunterism, komitmen nilai sosial tradisi tinggi.

Pertanyaannya, Negara mana yang punya masa depan lebih baik? Ini pertanyaan serius bukan? Jangan kaget kalau gak dapat jawaban dari tulisan ini.

Kamus bahasa inggris memang dikenal dengan bahasa akademik. Pilihan sulit dalam waktu yang sama diartikan sebagai trade-off. Kata yang simple punya makna besar. Dalam Mariam
webster trade-off diartikan (1) : a situation in which you must choose between or balance two things that are opposite or cannot be had at the same time; (2) something that you do not want but must accept in order to have something that you want.

Secara sederhana, trade-off itu masih sekeluarga dengan "dilema" atau situasi dilematis. Tak sedikit pula trade-off itu bikin galau dan deadlock. Sebagai makluk hidup siapa pun pernah mendapati situasi trade-off. Kita harus memilih mau kuliah pagi tapi melewatkan makan pagi atau makan pagi dulu dan tak bisa masuk kelas atau terlambat. Contoh lain, mau rapat organisasi A atau B di saat jam yang sama. Lulus cepat nganggur atau lulus lama membosankan? Dan masih banyak lagi keadaan trade-off. Bagaimana anda escape dari keadaan keadaan tersebut?

Karena saya bukan Rhenald Kasali, trade-off yang aku bicarakan bukan soal ekonomi atau manajemen korporasi. Tapi saya bicara soal trade-off dalam interaksi dan keterlibatan sosial sehari hari. Trade-off sebagai zoon politicon, zoon sosialis, atau meminjam istilah AbDolah PhD, manusia sebagai homobaikus.

Suatu kesempatan yang baik, beberapa bulan lalu. Saya mendapati undangan rapat piknik di Rt 38 tempat dimana gubuk saya berdiri di kota Yogyakarta. Undangan habis isyak kira kira jam 19.30. Pada saat yang sama, saya mesti support kegiatan RBK di jam yang sama. Waktu itu saya sebagai "pemantik diskusi". Saya butuh penerimaan sosial di kampung tetapi saya juga gak bisa "skip" dari kegiatan komunitas di mana saya sehari hari mengukir mimpi, nilai, makna dan kebahagiaan. Saya tidak berfikir menyepelekah satu di atas yang lainnya. Selama ini saya berfikir jika trade-off, di tempat mana yang saya dianggap paling penting kehadiranku saya akan datangi itu. UpAya lainnya adalah pamit baik baik atas halangan ketidakhadiran.

Itu salah satu contoh nyata social trade-off. Selain seberapa penting kahadiran kita, bisa juga kita berfikir tanggungjawab kita. Kegiatan komunitas yang cair itu memudahkan trade-off dipecahkan. Kesempatan lain, saya lebih gampang skip dari kegiatan RBK. Apakah "skip" itu melukai sesama? Ini adalah soal kesalingpahaman dan penghargaan antar anggota komunitas. Pagiyuban sukarela (voluntary organization) tak berarti tanpa komitmen sosial dan "tanggungjawab" hanya saja asal tanggungjawab yang berbeda. Tanggungjawab pegiat komunitas bukan persoalan menghadapi otoritas lebih tinggi sebagaimana dalam LSM kpd yayasan, atau pekerja kepada majikan. Komitmen pegiat sosial dipahat dari kesadaran dan ketulusan memberikan konstribusi bagi penguatan diri dan kemajuan komunitas.

Hidup itu pilihan, kata-kata populer itu sangat pas menjelaskan situasi hari ini. Beberapa orang memilih hidup di kamar dengan gadget dan urusan pribadinya dan beberapa orang gembira dengan turun ke jalanan, membuka lapak baca gratis atau membersikan sungai dan beragam kegiatan lainnya. Sebuah jalan hidup komunalisme atau sosialisme baru.

Komitmen sosial hemat saya dari pelajaran social trade-off dapat ditelisik menjadi dua macam. Pertama, trade-off yang bersumber dari suprastruktur dimana orang menghadapi pilihan disebabkan konsekuensi hukum dari hubungan kerja atau tanggungjawab pekerjaan. Misalnya, seseorang punya kewajiban kontrak kerja di jam yang sama dan punya keinginan beraktifita di tempat lain. Komitmen ini lebih dipaksa oleh kekuasaan yang tak selalu kooperatif.

Seorang pengurus partai tak dapat bebas memilih kegiatan di saat yang sama punya kegiatan kelembagaan. Itu kadang juga tak mengasikkan bahkan menjadikan bosan tertekan keadaan. Namun demikian, banyak manusia sangat serius menjaga posisi komitmen pekerjaan dan kontrak hukum kerja.

Kedua, adalah trade-off yang dilahirkan dari komitmen sosial (volunterism) di mana trade off ini tak punya konsekuensi hukum dan kerugian materiil. Murni, posisi seseorang sebagai tanggungjawab sosial sebagai manusia, anggota komunitas, atau sebagai bentuk keterlibatan insani.

Walau trade-off kedua ini nampak sepela tapi sebagai manusia sbenarnya beban terberat adalah pembuktian pada diri sendiri apakah kita ini manusia sosial atau asosial. Manusia yang bisa menghargai diri dan sesama ataua manusia yang acuh terhadap kemanusiaan--tak perlu menghargai dan tak butuh diperlakukan manusia. Ini juga trade-off. Tuhan konon kuga memberi trade-off pada manusia untuk memilih jalan setan (keburukan) atau jalan kebaikan.

Seorang yang bisa escape dari trade-off pertama belum tentu bisa melewati trade-off kedua. Konsekuensi trade-off pertama adalah kekuasaan material dan orang enggan memilih kegiatan sosial sementara sedang mengerjakan tanggungjawab kontraktual. Ini yang menyebabkan ilusi kelas menengah di banyak negara. Kelas menengah baru, elsekutif muda yang egois, yang money-oriented. Tak bisa negara membaik dengan keberadaan populasi kelas menengah asosial.

Sekali lagi, "tak bisa negara-bangsa membaik dengan keberadaan kelas menengah yang takut beresiko kehilangan materi(uang) tapi tak takut tecerabut dari akar kemanusiaan, dari hasrat berkomunitas, dari hasrat berbagi secara sukarela.

Adalah Sankaran Krishna, Seorang profesor Politcal Science di UH Manoa psimistik dengan meroketnya jumlah kelas menengah di India dengan agenda tunggal memperbesar GDP akan membawa India menguasai dunia seperti China. Capital oriented dalam skala makro ekonomi akan menggelincirkan india menjadi karakter lain yang tak sesuai dengan "filosofi india" yang bertumpu pada ajaran Hindu "satyagraha, ahimsa, swadesi" atau sufficient economic phillosophy. bukan ambisi akumulasi kapital sebagai prasyarat utama tegaknya sebuah kedaulatan negara-bangsa.

Semoga bermanfaat dan mengundang tulisan tulisan lain yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK