Thursday, December 17, 2015

Ben Anderson: Tidak Ada Duanya


Ariel Heryanto, CNN Indonesia


Benedict Anderson, seorang Indonesianis asal AS, meninggal di Malang, Jawa Timur, Indonesia pada Sabtu malam (12/12). (Dok. Cornell University)
Ariel Heryanto
Canberra, CNN Indonesia -- Menulis tentang orang sehebat Ben Anderson jelas tidak mudah. Untuk memulai pun sulit, karena banyaknya pilihan. Apalagi bagi mereka yang dekat dalam kehidupan dan tahu banyak tentang sepak-terjang beliau. Untunglah saya hanya tahu sedikit tentang almarhum, dan tidak pernah kerja dekat dengannya.
Ben memukau banyak orang. Ia juga menjadi sumber ilham banyak sarjana dari berbagai negara. Tetapi saya menduga tidak banyak yang mampu mengambil pelajaran paling istimewa dari Ben. 
Menurut hemat saya, pesan dan teladan paling istimewa yang diwariskan Ben kepada para mahasiswa dan sarjana di mana pun adalah keberanian menjelajahi wilayah baru. Bukan sekadar mengulang atau meneruskan kebiasaan yang mapan. Ben mendorong anak-didiknya untuk keluar dan menjelajahi wilayah di luar pagar kelaziman. Termasuk memberontak tradisi dalam lingkungan kesarjanaan dan lembaga keilmuan yang mendidik kita sendiri.
Salah satu pendapat Ben yang meninggalkan kesan mendalam pada saya adalah kalimatnya dalam Kata Pengantar untuk bukuStubborn Survivors: Dissenting Essays on Peasants and Third World Development(1984). Buku ini kumpulan tulisan Rex Mortimer, seorang akademikus Australia yang pernah menjadi anggota Partai Komunis. Saya tidak ingat persis kata-kata Ben. Tetapi kira-kira pesannya: Rex merupakan seorang pemikir yang hebat, kreatif dan unik. Cara terbaik untuk mengikuti teladannya adalah dengan tidak semata-mata meniru dan mengekor dia.
Pesan yang sama layak diingatkan terus-menerus kepada ribuan sarjana dan pengagumnya di dunia yang pernah belajar dari Ben secara langsung maupun tidak. Ben sudah kebanjiran pengagum. Sebagian menjadi fans fanatiknya. Tapi sadar atau tidak, sebagian besar berusaha menjadi Ben-Ben kecil yang meniru-niru gaya menulis atau berbicara Ben. Bukan mengambil hikmah dan ilham darinya sebagai cendekiawan yang kreatif dan merdeka dari bayang-bayang orang yang dikagumi.
Di sepanjang kariernya sebagai sarjana, Ben menjalankan sendiri apa yang dipesankan pada orang lain. Sebagai mahasiswa, ia menimba banyak ilmu dari George Kahin, pembimbingnya, dan sekaligus menyimpang dari gaya pemikiran sang mahaguru. Ben seorang profesor paling terkemuka di dunia di bidang ilmu politik atau pemerintahan. Tetapi sebagian besar karyanya di dalam bidang ini menyimpang jauh dari tradisi baku yang secara turun-temurun dikerjakan para ahli ilmu politik di seluruh dunia.
Kebanyakan sarjana ilmu politik (termasuk mereka yang mendidik Ben) meneliti tentang elite politik. Begitulah tradisi baku dalam bidang disiplin ilmu ini. Ben memilih meneliti pemuda dan rakyat jelata di Jawa untuk disertasi doktoralnya. Kebanyakan sarjana ilmu politik suka berakrobatik dengan model-model, bagan serta memusatkan perhatian pada lembaga-lembaga dan prosedur resmi kenegaraan (undang-undang, parlemen, kepresidenan, pemilihan umum). Ben meneliti politik sebagai hubungan kekuasaan dalam pengertian seluas-luasnya. Bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun karyanya bersumber dari praktik berbahasa sehari-hari (termasuk prokem), karya sastra, karikatur, monumen, teater dan produk budaya pop lain yang sering dicemooh oleh para sarjana ilmu politik.
Ketika saya berkuliah di AS sebagai mahasiswa S2, saya berkunjung ke Universitas Cornell (1983). Ben mengundang saya menjadi tamu di kelasnya untuk para mahasiswa S3. Yang bikin kaget, sebelum saya datang ke kelas itu, Ben sudah mengedarkan dan meminta mahasiswanya untuk membaca sebuah karya fiksi yang pernah saya tulis dan tidak pernah diterbitkan. Di kelas itu, karya saya dibahas (baca: dibantai habis-habisan dengan mesra) oleh Ben dan para mahasiswanya.
Itu terjadi di zaman ganasnya rezim militeris Orde Baru. Tidak lama setelah kunjungan itu, saya mendengar bahwa di kelas seminar yang diasuh Ben, para mahasiswa sering diminta membaca dan membahas berbagai selebaran gelap aktivis Indonesia yang beredar di bawah tanah. Dalam karier saya sebagai akademikus selama 30 tahun kemudian, belum pernah saya jumpai gaya dan suasana perkuliahan nyentrik seperti itu.
Berbagai karya Ben yang paling berpengaruh di dunia, termasuk karya agungnya Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), hanya mungkin ditulis oleh orang yang cinta berat mendalami sastra dan bahasa, dan sangat fasih dalam beberapa bahasa sekaligus. Ben tidak sekadar meminjam dan mengutip pendapat para ahli sastra atau bahasa untuk memberi ilustrasi analisisnya tentang politik. 
Ia mendalami dan membahas pelik-pelik sastra dan bahasa, jauh lebih kreatif dan mencerahkan ketimbang sebagian besar ulasan sarjana dan kritikus dalam bidang ini. Dalam langkah berikutnya, wawasan Ben yang segar tentang pelik-pelik sastra dan praktik kebahasaan itu dijadikan landasan (bukan contoh ilustrasi) untuk membangun sebuah teori yang sangat segar dan provokatif tentang politik dalam sejarah moderen.
Ironisnya, sumbangan intelektual yang sangat unik dari Ben Anderson itu seringkali diabaikan atau dilecehkan di kalangan yang sangat menghormatinya. Yang saya maksud adalah berbagai universitas mancanegara. Mereka mengakui perlunya meneliti politik Indonesia, dan menanamkan modal besar untuk mengembangkan kajian politik Indonesia. Tetapi mereka mengurangi atau menutup program perkuliahan baik Bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Yang paling saya ingat dari perjumpaan pertama kali dengan Ben (San Francisco, 1982) adalah siasatnya memahami identitas dan latar belakang saya. Dia tidak bertanya saya berasal dari mana di Indonesia, apalagi agama atau etnisitas saya. Yang ditanyakan: kalau di rumah, saya berbahasa apa? Baginya, informasi ini menjelaskan banyak tentang identitas seseorang. Belum pernah saya jumpai orang lain yang menggunakan siasat sejenis sebagai teknik berkenalan.
Dalam wawancaranya yang terakhir, tiga hari sebelum meninggal, dengan Majalah Loka, Ben mengeluhkan mutu karya-karya tentang Indonesia mutakhir. Katanya, “sepertinya ada kemalasan intelektual, tidak ada konsep baru yang menarik yang lahir tentang masa depan Indonesia seperti pada dekade 1960an.” Ia menduga “ada problem dengan kreativitas”.
Yang merisaukan saya, bukan saja kekhawatiran Ben itu benar. Yang lebih parah, jangan-jangan banyak sarjana yang tidak memahami kegelisahan si mahaguru.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK