Friday, December 25, 2015

Apresiasi Kerja Butet Manurung

Oleh Lutfi Zahwar

                                                        "Apa artinya manusia tanpa refleksi? Pasti serba teknis. Robotik. Mekanis. Kering.   Klise. Miskin budaya. Tidak bahagia.

                                                      Refleksi pintu bagi manusia untuk keluar sekaligus melampaui realitas formal yang beku, lalu menemukan dunia nilai alternatif. Di situ, daya cipta terpompa dan melahirkan kreativitas. Manusia pun menemukan kebahagiaan kultural yang jauh lebih bernilai daripada kesenangan material."

Seorang teman dalam catatan facebooknya menuliskan, "meninggalkan respon setelah membaca tukisan bagus adalah adil. Bagi diri sendiri, bagi si penulis sebagai bentuk penghargaan, dan bagi maksud-maksud kemanusiaan yang ditujunya." Teman saya itu, Fauzan Anwar Sandiahmemilih menulis untuk meninggalkan kesannya yang mendalam ketika membaca tulisan Butet Manurung, Apa Yang Salah Dengan Volunter? Ia menangkap apa yang ditulis Butet setidaknya tiga mantra yang menguatkan. Ia mempunyai alasan tersendiri kenapa menyebutnya dengan mantra, barangkali dipengaruhi pengalaman personalnya terlibat di komunitas. "Kenapa saya sebut mantra? Alasannya sederhana, karena diperlukan ritual khusus antara praktik dan refleksi untuk memahaminya. Hanya bisa diresapi lewat dua hal itu." Fauzan benar, tak sebatas untuk menghargai penulis, respon itu menguatkan diri-sendiri.
Membaca ulang tulisan Butet Manurung di Harian Kompas itu memberi kita kekuatan untuk tak gampang patah. Khususnya mereka yang selama ini terlibat, membenamkan dirinya di kerja-kerja kerelawanan. Bagi siapapun tulisan itu membuka mata siapa saja bahwa hidup itu tak selalu berarti mengejar kepentingan diri. Kisah Butet Manurung, lulusan Australia yang memilih masuk hutan untuk mengajar anak-anak Rimba di sana adalah kisah pengorbanan yang radikal. Tentu saja ia bisa memilih posisi yang lebih "nyaman" untuk dirinya. Tapi Butet mengartikan kenyamanan itu lain, berbeda dari kebanyakan orang. 
Dalam kisah pewayangan, kita banyak disuguhkan epos tentang pengorbanan. Tokoh Bhisma dalam Mahabharata juga sebuah tauladan pengorbanan. Sebagai putra mahkota ia berjanji tak akan naik takhta, juga tak akan kawin dan punya anak, demi kebaikan ayahnya. Kita segera tahu Bhisma mengorbankan dirinya, masa depannya untuk seorang yang sedarah, orang tuanya. Butet Manurung lain, ia berikan hidupnya, pengetahuannya, cinta kasihnya untuk keselamatan dan kebahagiaan makhluk lain yang tak ia kenal. 
Apa yang dilakukan oleh Butet Manurung memasuki hutan, mendirikan sekolah untuk anak-anak rimba membuat rasa kemanusiaan kita tersentuh. Bukan karena apa yang dilakukan Butet itu sama sekali baru. Di dunia ini banyak kisah lain yang juga menyentuh. Kisah-kisah itu menjadi menyentuh karena apa yang Butet dan relawan-relawan lain lakukan tak dianjurkan dalam materi pendidikan di bangku sekolah atau kuliah, dan tak diatur hukum. Justru ia melampaui hukum, melebihi moralitas, dan teori-teori di sekolahan. Butet mampu mencapai apa yang disebut Goenawan Mohamad sebagai dasar yang etikal, yakni semacam kebaikan budi atau cinta kasih, yang memberikan segalanya, menanggungkan segalanya demi liyan: bagi yang bukan bagian diriku, bukan kaumku, melainkan ia yang terpuruk di luar pintuku, yang tak kukenal, yang tak akan memberikan apapun kepadaku, tapi terancam ketakutan, tertindas, dan menderita. 
Barangkali tak terlalu tepat jika laku Butet itu disebut laku pengorbanan. Baginya itu adalah sebuah laku kemerdekaan. "Sulit digambarkan perasaan saya ketika mendengar kata pertama yang berhasil dibaca oleh murid saya, lalu di lain waktu melihatnya membantu orangtuanya di pasar menghitung hasil penjualan produk hutannya. Bantuan kecil kita bisa jadi besar maknanya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Saya merasa dibutuhkan. Butuh dan dibutuhkan menghasilkan perasaan yang berbeda. Letaknya jauh di kedalaman hati, membuat kita merasa berharga, menghargai hidup dan akhirnya bersyukur. Bekerja, apa pun itu, termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri sendiri, menghormati hidup kita sendiri. Bahwa kita begitu berharga, bermanfaat, dan berarti, sehingga kita ingin membagikan anugerah yang kita punya kepada orang lain melalui segala daya dan kreativitas. Melalui penghargaan kepada diri sendiri, kita akan menemukan banyak hal menarik dan berguna yang bisa dilakukan. Ini memang terlihat seperti pengabdian terhadap orang lain. Tapi tidak, karena sebenarnya kita mengabdi kepada kemanusiaan yang sejati."
Butet tak bertolak sebagai "aku" yang merumuskan solusi dan tahu segalanya, bagaimana menyelesaikan persoalan di sana. "Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung. Langsung itu artinya dari luar layar monitor HP, tablet, atau laptop-mu! Ada banyak hal yang tak berada di tempatnya. Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati. Rendah hati artinya kita datang dengan pertanyaan, bukan jawaban. Sekalipun ada perasaan dibutuhkan, kita datang bukan untuk jadi pahlawan, bukan untuk menggurui, tapi mempelajari, mengenali, sambil mencari apa yang bisa kita bantu. Lalu biarkan hatimu mengatakan apa yang harus kamu lakukan."
Melalui tulisan Butet kita menjadi tahu bahwa lakunya tak digerakkan kalkulasi pahala dan dosa seperti yang sering difatwakan orang yang mengaku taat beragama. "Bayangkan jika suatu hari, di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan baru tersadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita."

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK