Friday, December 25, 2015

Refleksi Limolasan (2 habis)

Oleh : Lutfi Zahwar Lupet

Kedua, malam itu muncul kegelisahan bahwa pemerintah Kota maupun Kabupaten Kediri selama ini dirasa kurang memberikan dukungan dan kurang menyediakan ruang dalam kerja-kerja kebudayaan. Pemerintah melalui dinas-dinas terkait kurang memberi perhatian pada keberadaan komunitas-komunitas yang aktif bergiat di kerja-kerja kebudayaan. Mereka jarang sekali melibatkan komunitas-komunitas di acara-acara kebudayaan yang diadakan pemerintah. Tidak menjadi tuan rumah di rumah sendiri. 
Dalam pertemuan kedua Sekolah Literasi Podjok Batja, Fauzan Anwar Sandiah secara garis besar membagi gerakan literasi menjadi tiga model: model literasi-preneurship, model literasi formal (state minded), dan model literasi organik. Saya hanya akan menyinggung dua model terakhir yang cukup relevan dalam percakapan sarasehan malam itu. Melalui peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 23 tahun 2015 tentang budi pekerti menjadi afirmasi baru dalam soal definisi dan praktik formal gerakan literasi. Melalui kepala Badan Bahasa Kemendikbud istilah gerakan literasi berarti, ”kegiatan membaca buku selama 15 menit sebelum belajar…[serta] kegiatan menulis. Dalam arti ini, gerakan literasi merupakan aktivitas membaca dan menulis di lembaga pendidikan.
Model gerakan literasi formal atau ala negara ini merupakan salah satu wujud dari pemaknaan umum mengenai literasi sebagai aktivitas membaca dan menulis. Narasi soal gerakan literasi juga dekat dengan proyek pemberantasan buta huruf, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta konsekuensi lanjut dari proyek pembangunanisme global yang dianut PBB. Tampaknya gerakan literasi bagi negara adalah bagian tanggung-jawab atas tuntutan eksternal dalam isu-isu pembangunan global yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Proyek-proyek semacam Literacy Initiative for Empowerment, Education for Sustainable Development, atau 21st Century Skill. 
Segera terlihat bahwa negara yang diwakili oleh pemerintah atau birokrasi memiliki kepentingan-kepentingan atau agenda-agenda yang sangat mungkin berlainan dengan idealisme komunitas-komunitas akar rumput. Tidak terlibatnya negara di satu sisi memberikan keuntungan bagi komunitas akar rumput untuk memperjuangkan agenda sesuai dengan idealismenya. Mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh negara. Memunculkan wacana tandingan negara yang begitu dominan berkiblat pada idealisme pasar, pembangunanisme. Ruang-ruang kosong ini, yang tidak digarap negara yang seharusnya digarap oleh komunitas-komunitas akar rumput. Agenda-agenda tentang lokalitas, agenda pro lingkungan, dan pendidikan kritis, menjadi sedikit dari banyak hal yang bisa dikerjakan komunitas-komunitas akar rumput. Tidak menutup kemungkinan dukungan dari negara disertai dengan beberapa syarat yang mengharuskan komunitas-komunitas akar rumput menyesuaikan agenda mereka dengan agenda negara.
Tidak bisa dipungkiri di satu sisi bantuan dari negara memunculkan relasi problematis antara negara dengan komunitas-komunitas akar rumput. Negara memang tidak secara langsung ikut mengendalikan, menguasai, atau menjadi memiliki komunitas yang didukungnya. Meskipun harus dicatat bahwa pemilikan atau penguasaan tidak selalu ditandai dengan kepemilikan dan penguasaan secara administratif struktural. Namun mempengaruhi model berpikir dan cara kerja komunitas akar rumput. Pengaruh itu bisa saja menjadikan komunitas akar rumput bersifat atomistik, administratif, dan birokratis. Bahwa dalam mengadakan kegiatan yang terpenting dan paling utama adalah laporan pertanggung-jawaban. Sehingga ruang gerak komunitas akar rumput menjadi relatif tidak sebebas sebelumnya. 
Menurut Jauhari atau yang biasa dikenal dengan sebutan Penthul, “mengadakan kegiatan bersama itu bukan sekedar pentas kemudian selesai kita pulang. Tetapi bersama-sama mempersiapkan dari awal. Bareng-bareng mempersiapkan dekor, pencahayaan, panggung, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Menggodog ide bersama-sama, tidak datang hanya ketika semuanya sudah siap. Kerja bersama itu mengandaikan semuanya terlibat.” Ditambahkan oleh Hanif, “saya membayangkan acara Limolasan bukan hanya menjadi milik Mahanani, tetapi menjadi milik banyak orang, banyak komunitas.”
Apa yang disampaikan oleh Jauharun atau Penthul dan Ha Nifmerepresentasikan kesadaran model organik. Menurut Fauzan, “kesadaran organik dapat digambarkan sebagai rasionalitas yang melekat atau sejalan dengan proses tumbuh kembang antara pegiatnya dengan komunitas. Komunitas yang menganut model ini pada umumnya dicirikan atas apresiasi yang besar terhadap proses pencarian makna dalam aktivitas manusia-manusianya.” Kesadaran organik berangkat dari kebebasan orang-orang di dalam komunitas dalam mencipta gerak, pola pikir, dan orientasinya menurut apa yang dianggapnya sebagai sesuatu yang baik. Dalam model organik perumusan gerak dan orientasinya tidak sedang diintervensi maupun didikte oleh pihak yang memiliki kekuasaan atau kekuatan yang lebih tinggi. Model ini mengandaikan relasi setara, egaliter antar orang-orang yang terlibat. Keputusan ditentukan bersama melalui wicara.
Tentang ruang-ruang pementasan yang terbatas, barangkali impian Jauharun untuk membawa Limolasan dan acara-acara semacamnya ke ruang-ruang publik patut dan perlu dicoba.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK