Friday, December 25, 2015

Refleksi Sarasehan Limolasan (1)

Oleh Lutfi Zahwar

Selalu saja ada cerita menarik di balik gelaran Limolasan yang penting dan perlu untuk dijadikan refleksi.
Malam itu, 23 Desember, di Taman Baca Mahanani digelar Limolasan yang kedua. Sebelumnya diadakan dua bulan lalu dengan nama Padhang Mbulan. Pergantian nama Padhang Mbulan menjadi Limolasan tentu saja bukan tanpa alasan. Padhang Mbulan selama ini sudah terlalu lekat dengan Jamaah Maiyah dan Cak Nun. Pergantian nama itu dipilih untuk membedakan supaya tak rancu dan membingungkan. Banyak orang mengira gelaran Padhang Mbulan di Mahanani ada kaitannya dengan agenda kegiatan Jamaah Maiyah, padahal tidak. Kemudian dipilihlah nama Limolasan, sesuai tanggal pelaksanaan. Tanggal lima belas bulan Qomariyah.

Sebagai ruang berkesenian yang baru, sejak mula Limolasan diniatkan menjadi ruang bagi siapa saja untuk mengapresiasi seni dan sastra. Mengingat di Kediri apresiasi seni dan sastra semacam ini masih jadi sesuatu yang langka dan pinggiran. Di Limolasan mereka yang dapat tempat tak harus sastrawan, penyair, seniman yang "sudah jadi", siapapun dapat tempat. Limolasan mengusung semangat bahwa setiap orang adalah seniman dengan ekspresinya masing-masing. Keyakinan bahwa seni dan sastra sebenarnya menjadi bagian penting hidup keseharian yang kemudian melahirkan Limolasan. Bayangkan betapa kering kerontangnya jiwa manusia yang hidup tanpa seni dan sastra. Hidup menjadi sangat mekanis, robotik, serba kalkulatif. Berkesenian dan berkesusastraan dalam bentuk dan eskpresinya masing-masing menjadi pintu bagi manusia untuk keluar sekaligus melampaui realitas formal yang beku, lalu menemukan dunia nilai alternatif. Di situ, daya cipta terpompa dan melahirkan kreativitas. Manusia pun menemukan kebahagiaan kultural yang jauh lebih bernilai daripada kesenangan material.

Di Limolasan, setiap kali pertunjukkan panggung selesai, mereka yang tak buru-buru beranjak dipersilakan untuk mengikuti sarasehan. Siapapun mendapat kesempatan untuk bicara apa saja, urun rembug. Pemain teater, pembaca puisi, pegiat literasi, seniman gravity jalanan, wartawan, guru, mahasiswa yang tak kunjung lulus, mahasiswa DO duduk bersama meriung melingkar di atas karpet mendiskusikan perihal kurangnya ruang-ruang untuk mengekspresikan kesenian di Kediri.

"Tak banyak ruang-ruang bagi kita-kita untuk menampilkan dan menyuguhkan seni khususnya teater kepada masyarakat. Masyarakat belum terlibat dan masih berjarak pada kesenian-kesenian semacam ini. Begitu juga halnya pemerintah, perhatian mereka pada para pekerja seni masih sangat kurang. Untungnya ada Mahanani yang menyediakan ruang itu. Tapi sampai kapan kita harus bergantung terus pada Mahanani? Sampai kapan Mahanani akan menjadi satu-satunya alternatif tempat untuk kita berkarya bersama? Kita tentu saja tidak menginginkan itu, kita harus perbanyak, gandakan ruang-ruang itu." Pada saat itu saya tak sedang memegang pena untuk mencatat apa yang ia sampaikan, kira-kira itu tadi uneg-uneg yang terlontar dari pemain Teater All-Size yang saya lupa namanya.

Pembukaan itu kemudian disambut dengan berbagai komentar dari peserta sarasehan yang lain. Bahwa memang penting diadakannya rembug-rembug semacam ini yang tidak hanya berhenti malam itu saja. Harus ada pertemuan lanjutan. Pertemuan perwakilan beberapa komunitas di Kediri untuk membahas dengan lebih detail poin-poin yang telah disampaikan malam itu. "Saya sudah bosan dengan acara yang diadakan pemerintah, yang ditampilkan itu-itu saja. Selama ini kita tak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah yang difasilitasi itu-itu lagi, itu-itu lagi. Kita harus merebut itu, mengisinya dengan sesuatu yang baru," kata salah satu peserta sarasehan.

Masih banyak hal-hal yang disampaikan oleh teman-teman. Saya tidak mengingat semuanya. Namun ada beberapa poin yang ingin saya refleksikan melalui tulisan ini. Pertama, Pekerjaan kebudayaan tak bisa dilepaskan dari kerja-kerja aksi dan refleksi (diskusi, tukar pikiran, membaca, dan menulis). Pekerjaan kebudayaan selalu membutuhkan aksi dan refleksi. Yang satu tidak bisa meniadakan yang lain. Mengatakan bahwa banyak bicara, banyak membaca, banyak menulis itu tidak penting dalam kerja-kerja kebudayaan, yang penting adalah aksi, saya pikir terlalu berlebihan.

Saya merasa kita sedikit trauma dan antipati dengan kegiatan-kegiatan membaca, berdiskusi, dan menulis. Toh itu tak menyelesaikan permasalahan apapun. Permasalahan yang mendesak diselesaikan dengan aksi bukan dengan membaca dan berdiskusi. Diskusi terus kapan aksinya? Kapan masalah selesai? Sudah seperti politikus saja. Trauma atau antipati itu menjadi beralasan ketika yang mereka lihat adalah politikus-politikus yang suka mengobral janji atau pengamat-pengamat yang sering tampil di televisi.

Kerja-kerja kebudayaan adalah kerja-kerja jangka panjang yang seharusnya dibarengi dengan konsep yang matang. Mengebawahkan refleksi (kerja-kerja membaca, diskusi, dan menulis) atau sebaliknya mengebawahkan aksi tentu saja menjadi kontraproduktif. Aksi tanpa refleksi hanya akan membuahkan sesuatu yang dangkal, riuh, nyaring, ramai tapi kosong. Refleksi tanpa aksi juga tak akan menghasilkan apapun selain angan-angan melayang yang tak menjejak tanah. "Teralienasi dari masyarakat," ungkap salah satu peserta.

Malam itu kita tidak sedang merumuskan model kebudayaan kelontong. Istilah “kebudayaan kelontong” ini saya sitir dari Muhidin M Dahlan yang ia tulis dalam esainya yang berjudul, Jokowi dan Kebudayaan Kelontong. Kelontong merujuk pada warung yang menjual apa saja yang sedang laku, sedang dicari, dan dibeli banyak orang.

Model berpikir kelontong adalah berpikir praktis dan pragmatis. Kedalaman menjadi sesuatu yang asing dan tak lalu. Apapun asal laku, apa yang sedang digemari masyarakat banyak, itu yang kemudian disuguhkan. Kerangka berpikir kelontong jelas, yang tak membawa nilai ekonomi kini dan di sini pasti diabaikan. Dalam kebudayaan kelontong, siapa saja yang tak praktis, tak segera menghasilkan yang kongkrit, segera bisa diaplikasikan pasti terbuang dan tak penting. Dalam kebudayaan kelontong, mereka yang melakukan kerja-kerja reflektif harus siap-siap gigit jari.

Pada awalnya, permasalahan apapun diselesaikan melalui wicara, komunikasi. Banyak orang menyebutnya diskusi, ngobrol, koyah, dan mungkin disebut maido. Wicara adalah sesuatu yang elementer, sesuatu yang mendasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi masalah bersama untuk menciptakan tata hidup lebih baik yang dikehendaki. Dalam kebebasan berekspresi setiap orang sangat mungkin memiliki preferensi yang baik dan yang buruk berbeda-beda. A untuk kelompok ini baik, sedangkan menurut kelompok itu buruk. Hanya melalui wicara, beragam kepentingan tadi dapat dipertemukan untuk menjalin konsensus/kesepakatan preferensi bersama. Tanpa itu tentu saja kepentingan-kepentingan beragam tadi amat sulit dipertemukan. Maka tidak bisa tidak dalam merumuskan kerja-kerja kebudayaan di Kediri dibutuhkan kerja keras bersama melalui dialektika ganda, aksi dan refleksi yang tak pernah selesai.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK