Wednesday, December 2, 2015

Catatan Penghuni RBK

Lupet

Bangunan Rumah Baca Komunitas yang sering kita sebut dengan Rumahnya Manusia, seperti kita bersama tahu bukanlah bangunan megah dengan fasilitas serba lengkap. Tak ada air conditioner ataupun lemari es. Ruang penyimpanan buku sekaligus ruang berdiskusi nampak sederhana, apalagi dapur dan kamar mandinya tak mengkilap, tak dipenuhi dengan berbagai peralatan memasak masa kini. Arsitekturnya biasa saja, tak menyolok, terletak di ujung gang buntu, dan di sekitarnya rumah-rumah masyarakat yang juga sederhana. Hanya saja lantainya bersih, kebun tanaman di halamannya terawat dengan baik, koleksi bukunya ribuan, dan terpenting ia mempersilahka dan menerima dengan hangat siapa saja yang datang, tanpa membeda-bedakan.



Barangkali ia bukan tipe bangunan yang layak dipotret untuk dijadikan contoh orang-orang yang ingin membangun rumah. Kecuali bagi mereka yang tahu sejarahnya yang berharga. Bahkan di musim penghujan,  air masih bisa menerobos atapnya yang berlubang di sana-sini. Air hujan yang melewati celah atapnya ditampung di ember yang ditaruh persis di bawah tempat jatuhnya air. Setiap datang  pagi ia disapu, halaman depannya yang penuh dengan tanaman disirami pakai air bekas wudhu atau bekas cuci peralatan dapur. Tentang ini, diilhami oleh filosofi bahwa konsep menghemat bukan hanya menghemat komoditas.



Bangunan itu dikontrak dengan harga yang tak terlalu mahal untuk ukuran bangunan yang tak terlalu kecil dan dipelihara juga dengan ongkos yang murah. Dengan demikian terbebas dari ketergantungan pada penyumbang-penyumbang kakap. Ia bisa terus hidup tanpa diperhatikan pejabat-pejabat kakap. Sampai saat ini ia tak pernah berniat untuk mengajukan bantuan. Ia dihidupi dengan iuran pegiatnya atau siapapun yang bersimpati padanya.




Rumah Baca Komunitas bukan tipe-tipe gerakan literasi yang berharap banyak pada proposal ke perusahaan dan negara. Ia tak berniat menghimpun banyak dana, karena dikawatirkan akan merusak nilai-nilai kerelawanan yang sedang dan telah diperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Kurang dari sebulan saya tinggal di sana, bukan bangunan dan fasilitas fisik yang jadi perhatian utama. Karena ia berdiri tak bertujuan untuk kasih unjuk apapun selain "membangun" manusia.

Pada awalnya saya tidak terpikir untuk pulang selama ini, sudah hampir tiga minggu di Kediri. Karena sakit yang tak kunjung sembuh menyebabkan rindu ibuk di rumah akhirnya memutuskan untuk pulang. Rencana awal sekitar seminggu, balik ke Jogja setelah acara pernikahan sepupu. Tak ada niat meninggalkan Rumahnya Manusia sampai berminggu-minggu.



Baru sebulan tinggal di Rumahnya Manusia, saya merasa belajar banyak hal tentang kesederhanaan hidup yang selama ini tak saya dapat di tempat lain. Contoh kecil, tentang air bekas wudhu ataupun bekas cucian perkakas dapur yang selalu dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. Jika selama ini saya diajar tentang menghemat sesuatu adalah menghemat komoditas, dan air kran bukan bagian dari komoditas maka air itu tak perlu dihemat. Lalu tentang hasrat untuk membeli atau mengkonsumsi, selama tinggal di RBK, saya merasa hasrat-hasrat itu ditekan kuat. Bukan oleh alasan-alasan moral kesalehan yang lebih sering terdengar klise dan normatif. Tapi melalui praktik hidup keseharian.



Selama ini ketika haus, lapar, ataupun ingin ngemil, dengan segera pergi ke alfamart, indomaret, warung burjo, ataupun angkringan. Beli es teh, nasi telor, teh botol kemasan atau merk minuman lain yang dengan mudah kita dapatkan dengan mengeluarkan sejumlah uang.



Di RBK saya belajar untuk memenuhi kebutuhan itu sendiri. Saya pemalas untuk terlibat di urusan dapur. Daripada ribet membuat teh, lebih praktis saya pergi saja ke angkringan, burjo atau alfamart indomaret, tak ribet dan beres urusan. Di sana banyak pilihan dan kerap lebih nikmat daripada buatan sendiri. Tapi ada beberapa hal yang tak saya sadari, sebagai individu saya semakin tergantung dan tak berdaulat dalam memenuhi kebutuhan.



Dalam hidup tak mungkin kita bisa sendiri, selalu butuh kehadiran yang lain. Tapi tak lantas semua kebutuhan kita gantungkan pada yang lain. Di RBK saya belajar bahwa berdaulat itu bisa dimulai dari hal kecil, untuk minum kita bisa memproduksi sendiri tanpa harus beli air kemasan. Ketika menginginkan teh, kopi, saya belajar membuatnya sendiri di dapur RBK. Tentu tak semuanya bisa saya penuhi sendiri, setidaknya di RBK saya belajar memulai untuk memenuhi kebutuhan dengan mau repot-repot. Menyeduh teh sendiri, merebus air untuk minum. Barangkali kecil, tapi hal kecil itu membentuk kesadaran bahwa hidup berdaulat, tidak tergantung itu, dimulai dengan kemauan untuk repot dan hidup yang tak praktis.



Lalu apa hubungannya dengan pulang lama? Saya sedang menikmati dengan perasaan yang bahagia menerapkan apa-apa yang saya peroleh di RBK. Bahkan Ibuk terkaget-kaget melihat perubahan anak lelakinya yang tak seperti biasanya. Saya jadi terbiasa terlibat di urusan dapur, mengulek sambal, mengupas bawang merah, bawang putih, mencuci piring bekas makan.  Membuat kopi dan teh sendiri, padahal biasanya saya langsung ngacir ke toko, tinggal beli yang diinginkan. Di rumah saya tak lagi minum air kemasan, merebus air sendiri. Menungguinya sampai dingin kemudian baru memasukkannya ke cerek tempat minum. Hal-hal kecil itu, yang  tak seberapa itu, yang barangkali bagi orang lain sepele, tapi dari sana saya belajar mandiri dan berdaulat. Dan saya ingin sanggup repot-repot memasak.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK