Tuesday, September 15, 2015

Melawan Angkuhnya Ibu Kota (1)

Gama, relawan PKBI DIY


“Pak, bangun pak, bangun pak, bangun pak!” nada dering  alarm yang kupasang di HPku membangunkan tidurku yang lelap setelah semalam mencoba merangkai kata dan kalimat dalam kotak2 form laporan. Adzan Subuh belum juga berkumandang. Kabut pagi selepas hujan dini hari tadi terasa melengkapi galapnya malam.

 

Dini hari, selepas mandi, aku langsung bergegas berganti baju, mancal sepeda motor lawasku menuju PKBI Badran. Di sana, sudah menunggu mas Narto sopir mobil, bersamaku menjemput  mas Budhi Hermanto dan membawa kami menuju Banyumas. Pagi buta ini, kami akan “sowan” di rumah Ahmad Tohari, seorang tokoh sastra yang cukup lama kukenal lewat buku-buku yang dikoleksi istriku. 


Ahmad Tohari.


Sastrawan yang (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 66 tahun) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk,sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman,Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976). 


Setelah sampai di Kotawinangun, kami berhenti untuk sarapan di warung Asli yang cukup ramai. Di depannya ada 2 orang pedangang sate Ambal yang cukup terkenal. Sambuil menunggu pesenanku tiba, aku menghabiskan waktu di depan warung sambil menikmati lalu lalang kendaraan di Jalan itu. 


Aku sudah merangkai banyak kata dan kalimat Tanya kepada pak Tohari, namun ada satu pertanyaan yang selalu ingin kutanyakan tentang dirinya. Bukan bagaimana dia menulis, namun tentang “mengapa masih “setia” tinggal di rumahnya di Jatilawang Banyumas, sementara sastrawan lain tenggelam dalam hiruk pikuk dan Angkuhnya Ibu Kota. 


Aku bertanya dalam hati, Perlawanan kah? Melawan Jakarta Centris? Atau kekalahan bersaing di sana. Langsung saja teringat lagu lamanya Koes Ploes, “Siapa suruh dating ke Jakarta?” atau sarkasme yang masih saja sering kudengar paska Film Ari Hanggara, “Kejamnya Ibu Tiri tidak SEKEJAM Ibu Kota!”. 


Hemm, semoga ada kesempatan untuk bertanya, gumamku.

Memasuki Kebumen, mataku disuguhi dengan pandangan “khas” produk kebanggan kota itu. Genting Soka. Yang saking terkenalnya, banyak perajin Genting yang “meniru” merknya. Pengalamanku mencari genting karena sedang membangun “gubug” untuk berteduh dari panas dan hujan, aku tahu bahwa sekarang genteng merk SOKA ada beberapa tingkat kualitas, namun yang paling mahal yang “ASLI” Kebumen. 

Dulu aku sering bercanda dengan kawanku dari Kebumen dan saling “umuk” tentang oleh-oleh khas kota kami masing-masing. Aku sering menggodanya selepas kami pulang ke daerah masing2 karena liburan Idul Fitri.


“Whaaa, ini, (sambil menunjuk kawanku yang dari Kebumen), dia paling enak kalo bawa oleh oleh, pasti awet, sampai 10 tahun ya awet!” candaku.


“Lho kok?” Tanya kawan-kawanku.


“Lha nggowo gendheng, sopo sing arep ngrokoti (menggigit}?” kami semua tertawa termasuk kawanku yang dari Kebumen. Ahh, masa itu.


Memasuki kota Banyuman, kami berjalan pelan karena mas Budhi yang sudah pernah ke rumah pak Tohari lupa dengan rumahnya. Meski sudah menelfon dan dikasih petunjuk, kami berhenti beberapa kali untuk bertanya kepada penduduk di pinggir jalan. Karena sangat terkenal, petunjuk yang diberikan memudahkan kami untuk menuju rumah Pak Tohari.


Sejurus kemudian, kami sampai di Jatilawang. Mas Budhi menelfon Pak Tohari dan menyampaikan bahwa kami sebentar lagi sampai rumahnya. Benar, tidak sampai 5 menit, kami sampai. Pak Ahmad Tohari menunggu kami, di pinggir jalan di depan rumahnya. Rumahnya sangat asri, sederhana namun bersahaja. Membuatku enggan pulang. Tanaman dibiarkan tumbuh sesuai dengan keinginan tunas dan pucuk daunnya menggapai sinar mentari. Bibit-bibit tanaman dibiarkan tumbuh memenuhi halaman rumahnya dan “sengaja” dibiarkan.


Kami menyalami dan dipersilakan masuk. Namun, kami memilih untuk bercengkerama di teras rumah. Sejuk, adem, terasa damai. Sebeleum kami duduk, Mas Budhi menyodorkan bingkisan yang kami siapkan untuk Pak Tohari, dalam dialek “Banyumas-an” yang sangat menarik untuk kudengar pagi itu. 


“Walah, kok malah repot-repot gowo oleh-oleh!” ungkap Pak Tohari

“Puniko, sowan Ramane ya bawa oleh-oleh lah, wis suwe ora sowan”, jawab Mas Budhi.


Sang istri tercinta keluar menemui kami dan membawa oleh-oleh ke dalam.


Kami dipersilakan duduk dan memulai perbincangan kami. Pagi itu, kami menyampaikan kepada beliau tentang rancana untuk mengajukan program pertukaran remaja Indonesia – Australia untuk belajar budaya dan sastra dan hasil akhirnya akan dipentaskan di Indonesia dan Australia. Kami “meminta” dukungan Pak Tohari untuk menjadi salah satu mentor dalam produksi karya remaja yang terpilih untuk ikut program tersebut.


Beliau sangat terbuka dan mendukung program tersebut dan bersedia untuk menjadi mentor.  Alhamdulillah.


Kami melanjutkan perbincangan kami. Mulai dari “gugatan” Pak Tohari terhadap situasi nasional, mulai dari Politik, sastra, dan ekonomi Indonesia. Sesekali “mengkritik” penguasa dan sesekali membuai kami dengan “petuah-petuah” yang terkesan sederhana namun sangat dalam. 

Kami larut dalam canda dan “kritik” social budaya ala Ahmad Tohari. 

Tak berapa lama, Sang Istri tercinta keluar menemui kami sambil membawakan 3 cangkir the, kacang rebus, pisang rebus dan tempe mendowan hangat khas Banyumas. 


“Monggo!” Pak Tohari mempersilakan kami menikmatinya.

Tempe mendowannya berbeda dengan yang biasa kumakan di Jogja. Lebih tipis namun rasanya khas. Aku bergumam, “Ohhh, ini tempe mendowan yang sering diceritakan bung Jacky!”


Setelah berboincang ngalor ngidul tentang “situasi Indonesia dan Sastra Indonesia”, kami undur diri. Sebelum kami berpamitan, saya memberanikan diri untuk menyampaikan pertanyaan yang kupendam selama dalam perjalanan.


“Kulo gadah pertanyaan ingkang kulo simpen saking Jogja. Menawi kerso jawab, sembah nuwun”, ungkapku.


“Kok panjenengan taksih “lenggah” wonten mriki, padahal rencang-rencang Sastrawan Besar sanesipun sampun “nglurug” dateng Jakarta? Puniko perlawanan punopo badhe melestarikan Budaya Banyumasan? Kados Rendra lan sanesipun sampun “pindah” wonten Jakarta?’ tanyaku.


“Begini mas, tentu banyak unsur. Tetapi yang paling mendasar, hidup saya ini sangat “terinspirasi” sama hadits Kursi. Yang menceritakan tentang “dialog” antara “Tuhan” dengan “penghuni neraka! Bukan “Penghuni Surga” malahan!” lanjutnya.


“Penghuni Neraka “menggugat”, ya Tuhan, kenapa aku Engkau masukkan neraka? 


Karena kamu tidak menjenguk tetanggamu, tidak menjenguk Aku (Tuhan) ketika “AKU” “sakit”. 


“Bagaimana Tuhan bisa “Sakit”? (Tanya penghuni neraka)


“Itu, tetanggamu yang sakit dan kamu tidak menjenguknya! Maka kamu berada di sini (neraka) sekarang! Ini Ulama-ulama, kyai-kyai ortodoks menerjemahkan secara tekstual, malah skriptual : Kalo ada tetangga yang saget infeksi, sakit kanker ayo kita jenguk! Itu JELAS tidak salah penafsiran seperti itu. Tapi ulama-ulama yang memiliki pandangan lebih luas menafsirkan bahwa sakit itu bisa sakit RAGAWI, sakit EKONOMI, sakit SOSIAL. Itu harus kamu jenguk! Artinya, kamu harus berpihak ke sana, kamu punya komitmen ke sana. Jadi, dalam bahasa saya, alamat-alamat Tuhan, ditulis di punggung-punggung Yatim, fakir miskin…” 


Hahahahahaha, …


“Pun, ketemu, ketemu (jawabannya)” kataku…


“Dadi, Sangkan Paraning dumadi (ingat Asal dan Tujuan Hidup)! 


Jadi hidup itu tidak di Menteng, tidak di Mall, tidak di pesta-pesta itu. Ini tetangga saya ini, penghasilannya Rp. 10.000 per hari per Kapita dan banyak yang kurang dari itu. Ini harus dibenahi ini. Jadi hidup saya ya di sini, di desa!”

“Yang kedua, saya lebih banyak berdialog dengan alam!”…


Ohhh… his words almost killed me…


Jatilawang – Jogja, 26/04/15

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK